Sabtu, 07 Mei 2016

THE OLD MAN AND THE SEA




Intinya, hidup adalah perjuangan. Maaf sudah saya simpulkan secara sepihak mengenai keseluruhan makna dalam The Old Man and The Sea. Sebagian besar orang, boleh jadi telah membaca karya fenomenal Ernest Hemingway ini. Mari mengulik sejenak isi karyanya yang berhasil meraih Pulitzer Prize di tahun 1952 serta Nobel Prize di bidang sastra di tahun 1954.

Terkisahlah seorang nelayan tua bernama Santiago yang menjadi tokoh utama cerita. Tidak seberapa persis berapa usianya. Hanya saja fisiknya digambarkan memiliki ekspresi wajah yang suram dan dipenuhi bintik-bintik kecokelatan yang berarti juga kanker kulit jinak. Ia kurus dan apapun yang berkaitan dengannya terkesan tua, kecuali matanya. Mata seorang nelayan yang jernih dan siaga selayaknya seekor elang. Ia hidup seorang diri di gubuk tuanya setelah istrinya meninggal tetapi seorang bocah lelaki sering datang untuk mengurusnya maupun menemaninya berlayar.

Kiprahnya sebagai nelayan kawakan tengah diuji karena selama delapan puluh empat hari berturut-turut mencari ikan, ia pulang dengan tangan kosong. Sampai-sampai Santiago dijuluki sebagai salao, yaitu bentuk terburuk dari ketidakberuntungan. Walaupun diam-diam banyak orang membicarakannya dan mengasihaninya, Ia mengetahuinya dan tahu apa yang harusnya dilakukan. Baginya, eksistensi sebagai nelayan tidak melulu pada keberuntungan nasib. Benaknya menguat, “memang lebih baik kalau beruntung. Tapi aku lebih suka menjadi tepat. Sehingga saat keberuntungan datang, kau sudah siap” (h…). Matanya adalah satu-satunya bukti bahwa ia bergairah dalam menjalani hidup.

Ia yakin di hari ke-85 akan ada perubahan. Keyakianan serupa mungkin selalu muncul di hari-hari sebelumnya hingga ia terus bertahan. Jangan bayangkan nelayan-nelayan saat itu menggunakan teknik menangkap ikan yang praktis. Mereka menggunakan jala, pancing, dan alat tradisional yang ramah pada biota laut. Kesabaran dan ketekunan seperti telah menyatu dalam diri mereka. Ditambah lagi kehidupan lelaki tua yang pas-pasan. Sekadar kopi hangat di pagi hari adalah asupannya hingga siang dan sebotol air untuk makan siangnya. “Sudah sekian lama makan ia merasa bosan karena itulah ia tak pernah membawa bekal makan siang. Ia punya sebotol air di haluan sampannya, itu sudah cukup untuknya seharian” (h.34).

Di hari ke delapan puluh lima, Santiago berlayar sendiri dan menolak tawaran bocah lelaki untuk ikut bersamanya. Semalam sebelumnya, sepotong percakapan dengan bocah menggambarkan karakter lelaki tua. “Aku mungkin tak sekuat dugaanku,” ucap si lelaki tua. “Tapi aku tahu banyak trik dan aku juga punya tekad yang besar” (h.28). Pagi harinya, dengan berbekal perlengkapan memancing yang cukup, Santiago menuju laut. Mulai dari sini, episode-episode yang paling memberikan makna tentang kehidupan seorang nelayan dituliskan penulis hingga lembaran akhir buku. Tentang bagaimana lelaki tua memancing, bagaimana ia bertahan hidup berhari-hari di laut tanpa bekal, bagaimana ia berdialog batin dengan konfliknya di tengah laut. Bagian ini menjadi penguat mengapa karya ini layak mendapat apresiasi positif oleh banyak orang.

Singkat cerita, di siang harinya, umpannya dimakan oleh ikan berukuran besar. Seekor ikan marlin yang ukurannya hampir-hampir sepanjang perahunya. Namun karena ikan itu teramat besar, ia tak mampu menarik tali kailnya, bahkan ia dan perahu kecilnya yang tertarik oleh gerakan ikan tersebut. Perahu Santiago dinahkodai oleh ikan itu dan bersama-sama mengarungi lautan yang semakin jauh dari jangkauan nelayan pada umumnya. Selama tiga hari, ia harus menahan kail yang tersangkut di mulut marlin dan menunggu saat yang tepat. Hingga akhirnya, marlin berulang kali melompat ke udara, semakin mendekati perahu sehingga lelaki tua siap menombak sisi sampingnya. Sulitnya bukan main! Lelaki tua bertaruh nyawa bersama angin laut yang tak henti menghembuskan keputus-asaan. Namun demikian, ia memilih untuk menang. Saat-saat seperti inilah, penulis menggambarkan kodrat manusia yang sangat pasrah memohon bantuan Tuhan agar ia diselamatkan.

Setelah pertarungannya dengan marlin selesai, ada begitu banyak pekerjaan berat yang harus dilakukan. Ia bahagia dan kembali berpikiran jernih karena ia mendapatkan ikan yang beratnya sekitar lebih dari seribu lima ratus pound. Hampir-hampir ia tak bisa menghitung berapa banyak uang yang akan ia dapatkan setelah menjual tangkapannya. Marlin kemudian diikatkan di samping luar perahu dari haluan hingga buritan. Saat itu tengah hari dan diperkirakan akan sampai daratan pada larut malam.

Bau anyir dan tumpahan darah marlin di sepanjang laut adalah aroma terlezat yang dapat memancing para hiu untuk mendekat. Pertarungan kembali dimulai. Dua ekor hiu di periode pertama berhasil lelaki tua tewaskan dengan tombaknya tetapi ia harus rela marlin kehilangan ekornya. Di periode kedua, jumlah hiu yang mendekat lebih banyak dan lebih bengis. Tanpa malu, mereka menggigiti sisi marlin hingga tulang tengahnya terlihat. Bukan lelaki tua jika ia harus menyerah. Para hiu akhirnya tewas di tangan keberanian pak tua. Periode ketiga dan keempat, hiu yang lain mendekatinya. Pertarungan terjadi kembali hingga akhirnya tak tersisa sedikit pun daging marlin yang teramat besar itu.

“Seharusnya aku tak pergi terlalu jauh, wahai ikan,” ia berkata. “Maafkan aku, oh ikan.” (h.141).
“Aku benar-benar ingin membelinya jika ada tempat yang menjual keberuntungan,” ia berkata (h.150).
Lelaki tua sampai daratan tepat tengah malam dan ia bersusah payah menuju gubuknya untuk tidur. Keesokan paginya, semua orang berbincang tentang betapa besarnya kerangka ikan yang terikat pada perahunya. Mereka juga menjadi prihatin karena lelaki tua tak mampu mempertahankan tangkapannya. Mereka menganggap betapa tidak beruntungnya hidup si lelaki tua. Di sisi lain, lelaki tua yang mengalami kepahitan itu, kembali menjalani hidup seperti biasanya. Meperbincangkan klub bisbol kesukaannya, makan bersama bocah lelaki, maupun kembali tidur dengan mimpi-mimpinya. Tidurnya nyenyak seolah menyimpan energy untuk berlayar kembali esok hari.

Kehidupan dan karakter lelaki tua penyuka bisbol ini cukup memberikan pelajaran untuk kita. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah suatu label yang bebas kita pikirkan dan dapatkan dari orang lain. Namun demikian, kita tak tahu persis apakah label yang sebenarnya kita dapatkan. Sebab hidup adalah ketidakpastian. Keberuntungan yang pasti dalam Al-Qur’an adalah saat kita meraih kemenangan yang besar berupa surga di akhirat.

Judul Buku      : The Old Man and The Sea
Penulis             : Ernest Hemingway
Penerbit           : NARASI, Yogyakarta
Jumlah Hal.     : 163
Tahun Terbit    : 2015
Peresume         : Novi Trilisiana


35 Kisah Shahabiyah





Islam hadir mengangkat kedudukan wanita menjadi sangat terhormat. Adanya bahasan khusus tentang wanita dalam Al-Qur’an surat An-Nisa menjadi bukti bahwa wanita memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Islam memandang wanita sebagai belahan jiwa laki-laki, berbakti kepada ibu lebih utama daripada kepada ayah, dimulaikan baik sebagai istri maupun sebagai anak. Jika di resume beberapa hari lalu ada yang menampilkan sosok wanita yang karena karirnya sampai lupa akan kodratnya, maka dalam resume kali ini saya mengajak muslimah sekalian untuk belajar dari sejarah bahwa muslimah layak berkiprah dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya dengan tidak menyesampingkan peran utamanya sebagai ibu ataupun istri. Semoga mampu menumbuhkan kerinduan kita terhadap sosok-sosok wanita teladan, ideal, dan taat kepada Allah dan Rasulnya. Selanjutnya menjadikan mereka sebagai suri tauladan.

Ada banyak kisah shabiyah teladan di dalam buku ini. Membuat saya merasa begitu kecil, jauuuh sekali dari teladan apalagi ideal. Bahkan di beberapa kisah mampu membuat saya nangis bombay. Sedih membayangkan perjuangan mereka dan sedih karena saya masih jauh dari sosok mereka. Zaman telah berubah dan setiap zaman pasti punya tantangan masing-masing.

Adalah Asma binti Abu Bakar, dengan latar belakang keluarga yang penuh berkah wajar jika ia tumbuh mewarisi keistimewaan ayahnya, Abu Bakar. Asma masuk dalam golongan orang yang pertama masuk Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Taubah: 100. Ayah dan suami Asma (Zubair bin Awwam) termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Beberapa keistimewaan Asma antara lain adalah istri yang sholihah. Zubair adalah lelaki miskin, saat menikah dengan Asma harta yang dimilikinya hanyalah seekor kuda. Karena tidak mampu membayar budak, Asma melakukan pekerjaan rumah sendiri. Asma terbiasa membawa kurma sendiri di atas kepalanya dari kebun Zubair hasil pemberian Rasulullah yang berjarak 3,4 km dengan berjalan kaki. Padahal sebelum menikah Asma tidak pernah melakukan pekerjaan2 itu.

Asma dikenal sebagi wanita pemilik dua selendang (dzaatun nithaaqain) atas keberaniannya mengantarkan makanan kepada Rasulullah yang sedang bersembunyi di gua Tsur. Yang menjadi istimewa adalah karena kondisi Asma saat itu sedang hamil, medan yang harus ditempuh sangat terjal dan jauh, seorang diri, dan orang-orang kafir mengintai di mana-mana. Taruhan Asma adalah nyawa. Asma memakai ikat pinggangnya yang dibelah menjadi dua untuk menutup wadah makanan tersebut, sehingga Rasulullah berkata kepada Asma “Semoga Allah mengganti selendangmu dengan dua selendang di surga”. Asma juga dikenal sangat dermawan, seperti ayahnya. Kemiskinan tak menghalangi Asma untuk bersedekah. Jika memiliki sesuatu, Asma tidak menyimpannya sampai besok, namun langsung membagikan semuanya. Bahkan Asma pernah jatuh sakit, lalu ia memerdekakan seluruh budak yang diberikan oleh ayahnya. Asma dikenal sebagai wanita yang cerdas, bijak, dan ahli ibadah. Saat Abdullah bin Zubair (anak Asma) menjabat sebagai khalifah, Asma tampil sebagai penasehat. Kala itu Abdullah menghadapi Al Hajjaj yang meminta Abdullah menyerahkan wilayah kekuasaannya dengan imbalan harta. Asma menguatkan Abdullah bahwa pilihan terbaik adalah melawan meski pasukan Abdullah sangat sedikit. Demi Allah kata Asma, aku tidak ingin mati kecuali setelah melihat kepastian nasibmu (Abdullah) antara dua hal, engkau dibunuh sehingga aku bersabar dan menyerahkan kesedihanku kepada Allah atau engkau menang sehingga hatiku menjadi tenag. Dan Abdullah-pun syahid disalib oleh Al-Hajjaj.

Kisah kedua, adalah Ummu Sulaim, ibu dari Anas bin Malik yang menjadi pelayan Rasulullah dan meriwayatkan banyak hadits. Saat Islam pertama kali hadir, Ummu Sulaim langsung menerima dengan sepenuh hati meskipun tidak direstui suaminya yang masih kafir.  Saat suaminya terbunuh, Ummu Sulaim bertekad untuk membesarkan anaknya dan tidak menikah lagi sampai Anas mengijinkan. Beberapa keteladan dari Ummu Sulaim adalah ketika menikah dengan Abu Thalhah dengan mas kawinnya adalah keislaman Abu Thalhah. Mas kawin yang lebih mulai dari apapun. Abu Thalhahpun mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh, kelak ia menjadi salah satu pejuang Islam. Ummu Sulaim dan Abu Thalhah dikelan sebagai orang yang lebih suka mengutamakan orang lain meski mereka juga membutuhkan. Sebagaimana kisah saat ada seorang lelaki bertamu, Rasulullah menawarkan kepada para sahabat siapa yang bersedia menjamu tamu tersebut. Saat itu sedang musim paceklik. Seorang laki-laki Anshar berdiri bersedia menjamu tamu tersebut. Saat tamu datang, si istri berkata “demi Allah kita hanya punya makanan untuk si kecil”. Suaminya berkata kalau begitu jika si kecil lapar, tidurkanlah ia dan matikan lampu ruang tamu” maksudnya mereka berpura-pura ikut makan padahal hanya tamu yang makan. Dan suami istri itu adalah Ummu Sulaim dan Abu Thalhah.

Ummu Sulaim adalah istri yang sangat sabar, saat suaminya pergi untuk suatu urusan dan anaknya sakit hingga meninggal, ia bersabar melayani terlebih dahulu suaminya yang baru pulang dan baru mengabarkan bahwa anaknya meninggal. Abu Thalhal pun marah dan melaporkan kepada Rasulullah, namun Rasulullah justeru memuji perbuatan Ummu Sulaim. Ummu Sulaim dikenal dalam sejarah sebagai wanita mulia dan turut dalam berbagai peperangan seperti perang Uhud dan perang Hunain. Ia bertugas menyiapkan makanan, mengobati yang terluka, bahkan tak segan untuk mengangkat senjata. Ummu Sulaim, sebagaimana sabda Rasulullah, merupakan salah satu shahabiyah yang dijamin masuk surga.

Sungguh Allah yang maha membolak-balikan hati. Hidayah bukan berasal dari orang tua atau keluarga, sebagaimana iman tak dapat dibeli. Shahabiyah ini pernah melewati separoh hidupnya dengan memendam benci terhadap Rasulullah. Ia rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk menghalangi dakwah Islam. Bahkan dalam perang Uhud, ia dengan keji merusak tubuh prajurit muslim yang syahid, salah satunya adalah Hamzah (yang konon katanya sampai dimakan jantungnya) sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayah, paman, dan saudaranya dalam perang Badar. Dialah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Orang terbaik masa Jahiliyah yang juga menjadi orang terbaik setelah masuk Islam. Saat penaklukan kota Makkah oleh kaum muslimin, Hindun dan suaminya masuk Islam. Salah satu jasa besar setelah masuk Islam adalah dalam perang Yarmuk. Hindun bersama kaum wanita lain menjadi pembakar semangat pasukan muslim, termasuk suaminya, yang hampir mundur untuk kembali ke medan perang. Hindun-pun tak ragu untuk turut mengangkat senjata dan membunuh tentara kafir.

Dan masih banyak shahabiyah lain yang patut menjadi tauladan kita. Seperti Ummu Aiman, sang pengasuh Rasulullah. Ummu Umarah, mujahidah yang melindungi Rasulullah di perang Uhud. Ketika pasukan muslim tercerai berai meninggalkan Rasulullah, Ummu Umarah dan anaknya justru mendekat melindungi Rasulullah. Ia tak mundur meski 13 luka sabetan pedang memenuhi tubuhnya. Selain perang Uhud, Ummu Umarah juga dikenal dalam perang Khaibar, Hunain, Baiat Aqabah, perjanjian Hudaibiyah, dan penaklukan kota Mekkah. Ummu Kabsyah Binti Rafi’ dengan kematin putra-putranya di medan perang yang mengguncang Arsy di langit. Al-Khansa yang merelakan kematian empat putranya dalam perang Qadisiyah, dan masih banyak lagi.

Semoga Allah memberikan pahala terbaik atas jasa besar mereka. Inilah bukti peran wanita dalam membangun peradaban Islam. Mereka adalah anak, istri, dan ibu yang mampu memaikan setiap perannya dengan sangat baik. Jika dahulu umat Islam dihadapkan pada perang qital (perang senjata), maka kini umat Islam dihadapkan para perang fiqr, yang mungkin lebih berat karena kasat mata. Kiprah muslimah pun menyesuaikan tantangan zaman masa kini. Namun tetap perlu ada kesamaan, yakni semangat, nilai-nilai yang diperjuangkan, dan iman. Wallau’alam bishawab.

Judul Buku         : 35 Siroh Shahabiyah
Penulis                 : Mahmud Al Mishri
Penerbit              : Al-I’tishom
Page                      : 352 halaman

Yogyakarta, Mei 2016
-THW-


Born to Belive (Gen Iman dalam Otak)


Buku ini termasuk dalam genre buku sains, lebih tepatnya neurosains. Neurosains adalah ilmu yang mempelajari tentang otak dan sistem saraf. Aktivitas otak dan sistem saraf  diyakini penulis sebagai bagian tubuh yang bertanggung jawab penuh terhadap munculnya keyakinan spritual atau keimanan terhadap Tuhan. Keyakinan tentang hal ini didasarkan atas kajian ilmiah yang mendalam. Selama puluhan tahun, para penulis (khususnya penulis utama; Newberg) bekerja di bidang Radiologi dan Psikiatri, dan secara intens terlibat dalah kajian maupun penelitian tentang spiritualitas. Oleh karena itu, tidak heran jika di dalam buku yang terdiri dari  484 halaman ini, pembaca akan menemukan segudang penjelasan ilmiah berdasarkan tinjauan neurosains tentang terbentuknya keyakinan maupun ketidakyakinan terhadap Tuhan.
Perspektif neurosains terhadap keyakinan seseorang tentang Tuhan, diulas secara bertahap. Bagian pertama memuat cara otak mencipta realitas. Bagian kedua menguraikan tentang perkembangan pada masa kecil dan moralitas. Hubungan antara otak dan realitas menjadi bagian paling akhir yang dijelaskan. Akan tetapi, saya akan membatasi resume ini hanya pada bagian pertama buku ini khususnya pada bab awal yang mengkaji tentang cara terbentuknya sebuah keyakinan pada diri seseorang.
Keyakinan dapat diartikan sebagai suatu perasaan bahwa sesuatu itu ada atau benar, pendapat yang dipegang teguh, yang dipercayai atau keimanan. Secara khusus dalam neurosains, keyakinan diartikan sebagain persepsi, kognisi, atau emosi apapun yang dianggap benar oleh otak, dengan sadar maupun tidak sadar. Keyakinan digambarkan sebagai sebuah peta internal yang dibentuk oleh lebih dari 100 miliyar neuron di otak. Dengan adanya peta ini, kita diarahkan ke arah tertentu yang kita percaya merupakan tujuan.  Proses terbentuknya keyakinan seseorang dapat terjadi karena empat hal yaitu; persepsi, kognisi, nilai emosional, dan konsensus sosial. Persepsi diartikan sebagai semua informasi yang diterima oleh indera, tentang diri maupun lingkungan sekitar. Kognisi merupakan proses kompleks yang terjadi di otak melibatkan “fungsi luhur” otak seperti pemikiran, memori dan kesadaran. Emosi merupakan pengalaman afektif yang dirasakan sehingga menambah nilai dan intensitas bagi kedua proses sebelumnya. Sedangkan konsensus sosial adalah masukan yang diterima seseorang dari anggota masyarakat. Keempat hal ini digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang saling mempengaruhi, diistilahkan dengan “kendali identitas”. Semakin tinggi intensitas dari keempat faktor ini, maka semakin nyata dan terpercaya sebuah keyakinan.
Contoh berlakunya konsep ini dalam kehidupan adalah bahwa seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berpegang teguh terhadap nilai-nilai agama (persepsi dan konsensus sosial), maka anak akan cenderung untuk memiliki keyakinan terhadap Tuhan sesuai agama yang diyakini (meskipun persepsi dan kognisinya masih belum sempurna), demikian juga sebaliknya. Jika di telaah, banyak kisah para Nabi dan Rasul dalam mencari keberadaan Allah, bermula dengan persepsi, kognisi dan emosi. Intensitas ketiga proses ini sangat kuat sehingga keyakinan para Nabi dan Rasul terhadap Allah sangat nyata dan teguh. Walaupun secara konsensus sosial, apa yang mereka yakini bertentangan dengan keyakinan yang berlaku di lingkungan hidup mereka.
Dalam menjelaskan konsep ini, penulis menjelaskannya dengan menggunakan banyak istilah medis dan neurosains, dilengkapi dengan penjelasan tentang sirkuit saraf yang cukup detail dan rumit. Hal ini menjadi kelebihan, sekaligus kekurangan buku ini. Kelebihan karena ilmiah (empiris dan rasional) dan kekurangan karena segmen pembaca sempit (neurosaintis atau mereka yang benar-benar tertarik dengan neurosains dan filsafat). Meskipun kebanyakan riset yang dilakukan menggunakan subjek penganut agama Kristen dan Budha, penulis dapat sampai pada titik bahwa keimanan akan Tuhan akan menjadikan hidup menjadi lebih bermakna.
Akhirnya, berbagai konsep keyakinan yang disajikan dalam buku ini ditulis dengan brilian dan hati-hati. Membacanya membuat saya sangat bersyukur kepada Allah karena dilahirkan dalam keluarga muslim. Sangat menjanjikan untuk dibaca mereka yang ingin menelusuri dan memperteguh keyakinan tentang keberIslamanya dengan jalan yang berbeda.

Penulis : Andrew Newberg dan Mark Waldman
Penerbit : Mizan
Tebal : 484 halaman



Barakallahu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta.






“Harapan tanpa iman adalah kekecewaan yang menunggu waktu. Kebahagiaan tanpa barakah bagai bayang-bayang tanpa cahaya.”
***
Buku ini menjelaskan tentang bahagianya merayakan cinta dalam pelabuhan hidup berumah tangga. Secara gamblang dan mendetail panduan kehidupan berumah tangga dipaparkan dalam buku ini. Dari awal perayaan hidup berumah tangga yang berisikan persiapan hidup berumah tangga dengan parameter persiapannya, mendesain walimah yang barakah, pelaminan  yang mendebarkan, hingga saat suami istri saling menjadi pakaian diantara keduanya. Pun pada akhirnya suami istri harus saling mendekap lebih erat manakala badai menghadang dalam kehidupan.
Poin penting yang diangkat dalam buku ini adalah secara garis besar hidup ini berisi hal yang kita suka dan hal yang tidak kita suka. Dan yang pasti kedua-duanya ada. Kadang seiring, ada kala bergantian, dan berselang-seling. Dalam pernikahan pun demikian. Ada saat, ada waktu, ada kala, ada kondisi, ada hal, ada keadaan, semuanya bisa dalam konteks disukai atau dibenci, menyenangkan atau memprihatinkan, melahirkan tawa ataupun isak, apapun itu, senantiasa berharap ada barakah.
Apa itu barakah?
Barakah adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi waktu.
Barakah adalah keajaiban yang terjadi pada orang yang beriman.
Barakah, dalam kata Ibnul Qayyim adalah semakin dekatnya kita pada Rabb, semakin akrabnya kita dengan Allah.

Dalam pernikahan, barakah menjawab, barakah menjelaskan, menenangkan, dan menyemangati. Dan disaat apapun barakah itu membawa kebahagiaan. Barakah membari suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah dalam rumah tangga. Barakah membawa senyum meski air mata menitik. Barakah itu menyergap rindu ditengah kejengkelan. Barakah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut disaat dada kita sesak oleh masalah.

Barakah itu mengubah kalimat, “Ini salahmu...!” menjadi “Maafkan aku, Cinta...”
Ia mengganti diksi, dari “Kok bisa-bisanya sih kamu...?” menjadi “Aku mengerti, Sayang, sabar ya...”
Barakah juga melafazkan, “Kamu kemana saja sih...?”  agar terdengar, “Aku disini menantimu dalam rindu yang menyesak...”
Dan ia membahasakan, “Aku tuh sebenarnya ingin, kamu...!” agar berbunyi, “Cinta, makasih ya, kau membuatku...”
Subhanallah, bahasa barakah. Logatnya logat cinta.

Sungguh begitu banyak jalan yang menawarkan kebahagiaan, maka utamakanlah memilih perioritas barakah.

Barakallahu laka, agar terciptakan bahagia dalam merayakan cinta. Mengasah kepekaan cinta dalam pernikahan, menghadirkan cita rasa surga, dan melukiskan warna-warna barakah. Karena disaat apapun, barakah selalu membawa kebahagiaan...

Judul buku: Barakallahu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta
Penulis: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro-U Media
Diresume oleh: Amrina Anggrarini