Selasa, 28 Juni 2016

PARENT’S STORIES: MEMBESARKAN ANAK YANG BERDAYA






Banyak dari kita pernah mendapatkan informasi seputar parenting yang berseliweran di media sosial. Kita dengan mudah membacanya bahkan tidak sedikit di antara kita yang menyimpan informasi itu sebagai arsip di smartphone. Dengan harapan suatu saat kelak bisa membaca kembali untuk diamalkan. Apalagi kalau kita adalah orang yang masuk ke dalam grup yang sama-sama tertarik seputar parenting. Bisa dipastikan arsipnya akan semakin banyak.

Ada satu buku seputar parenting yang dapat menjadi rujukan untuk para orangtua muda. Ditulis oleh seorang ayah beranak dua, yang memiliki kegelisahan tentang nilai-nilai hidup yang kita tanamkan kepada generasi berikutnya. Ia, Adhitya Mulya, yang juga merupakan penulis novel Sabtu Bersama Bapak, mengulas hal yang sangat mendasar tentang pengajaran nilai hidup kepada anak. Ia mengharapkan agar terdidik generasi berikutnya yang berdaya dalam menghadapi tantangan hidup mereka. Hal tentang pengasuhan anak inilah yang terkadang luput oleh kebanyakan orang tua.

Pemikirannya ditulis ke dalam empat belas bagian seperti, Values, Harga Diri, Dari Mana Anak Berasal, Kekuatan dan Bahaya dari Pujian, Syarat Hidup, Perangkap Sulung, Imbalan untuk Anak, Cinta Tanpa Syarat, Life skill, Parents Know Best?, Menurut Kamu Bagaimana?, Tidur Terpisah, Mentor not Monster, dan Helicopter Parenting. Kesemuanya dibahas dengan struktur yang dimulai dari definisi konseptual yang sederhana, logical fallacy (kekeliruan logika) yang terjadi pada masyarakat, menawarkan alternatif solusi yang lebih baik melalui contoh, melogikakan mengapa hal demikian penting dilakukan, dan menuliskan kesimpulannya. Tenang, buku ini tidak serumit yang dibayangkan. Ia cukup menjadi manual yang membantu kita menerapkannya dengan percaya diri. Bukan berarti mudah juga karena menjadi orangtua berarti siap menghadapi risiko dan tantangan.

Awal buku ini adalah tentang definisi kesuksesan lintas zaman. Setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda-beda tetapi terkadang kita mengasosiasikan kata ‘sukses’-nya seseorang, kepada prestasi (baik materil atau nonmaterial) yang orang tersebut berhasil kumpulkan. Padahal, materi bukanlah parameter kesuksesan. Menurut penulis, definisi sukses adalah mampu menjawab tantangan di zaman masing-masing. Mereka yang kita anggap sukses adalah mereka yang mampu memberdayakan keimanan, kecerdasan, akses, dan kesempatan yang mereka miliki untuk dapat berguna bagi diri sendiri kemudian orang lain. (h. xv)

Senada dengan sub judul buku ini (Membesarkan Anak yang Berdaya) maka, penulis berbagi pengalaman tentang bagaimana sebaiknya kita melakukannya. Kita ingin anak berdaya dalam menghadapi dan mengatasi sendiri rintangan di zamannya. Mereka akan mampu melakukan itu,
ü  jika memiliki values_sebuah jangkar yang menjadi rujukan mereka membedakan mana yang benar dan mana yang salah. (h. 13)
ü  jika dia memiliki harga diri, dan paham akan dari mana datangnya harga diri itu. (h. 22)
ü  jika mereka paham bahwa dari mana mereka berasal adalah hal yang tidak penting. Yang penting adalah ingin menjadi seperti apa mereka, saat mereka dewasa nanti. Yaitu adalah orang yang berguna bagi diri sendiri_dan menjawab tantangannya sendiri_dan berguna bagi orang lain. (h. 31)
ü  jika dia memiliki definisi yang benar akan harga dirinya. Definisi yang benar akan kompetensinya. Definisi yang benar akan di mana kelebihannya, di mana kelemahannya dan bagaimana dia dapat mengembangkan dirinya lebih jauh. Semua itu datang dari bagaimana kita, sebagai orangtua, mendidik, memuji, dan mengkritisi mereka. (h. 42)
ü  kita ingin mereka mampu dan tangguh bersaing dengan sembilan miliar orang. Memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu anak-anak kita bersaing dengan orang sebanyak itu. (h. 55)
ü  mereka mampu melakukannya tanpa ada yang memberi mereka imbalan. Karena untuk berdaya menghadapi tantangan, adalah kewajiban semua orang. Bukan sesuatu yang diimbalkan. (h. 82)
ü  jika sewaktu kecil, kita memberi mereka, cinta tanpa syarat. (h. 97)
ü  jika kita sebagai orangtua, memberikan ruang dan waktu bagi mereka untuk menguasai semua life skill yang mereka perlukan. (h. 110)
ü  dan masa lalu kita, bisa jadi tidak selalu sama dengan masa depan mereka. (h. 121)
ü  jika mereka memiliki kekuatan dan kemauan untuk menantang diri mereka sendiri untuk menemukan solusinya. (h. 133)
ü  jika mereka mandiri. Dan mereka akan mandiri, setelah mereka cukup merasakan rasa aman, nyaman dan perlindungan dari kita, di usia dini. (h.142)
ü  jika mereka memiliki kita sebagai mentor, bukan sebagai monster. (h. 153)

Poin-poin tersebut tidak perlu menjadikan kita memandang hanya sebatas kewajiban maupun hak  orangtua maupun anak. Namun demikian, kita sebagai orangtua perlu memberikan yang terbaik sesuai porsi yang proporsional kepada anak. Jangan lupa pula menyingkirkan gengsi untuk tetap terus belajar meskipun sudah berumur dan bergelar professor. Menurut saya, sepandai-pandai maupun sehati-hatinya kita mendidik anak, kita tidak boleh lupa bahwa semua itu berkat pertolongan Allah sehingga kita bisa melakukan yang terbaik yang kita bisa. Kita juga tak lantas lupa untuk mendoakan anak-anak kita kepada pemilik jiwa-jiwa mereka. Allah.

Secara keseluruhan buku ini sangat bermanfaat dan berharga. Hanya saja masih ada kesalahan ketikan huruf. Tidak terlalu menjadi masalah sih karena terdapat ilustrasi gambar  yang menjadi kunci pengingat di dalam tiap babnya. Ada baiknya kita memiliki buku ini untuk mengetahui teknik spesifik yang tidak saya sampaikan dalam resume.

Judul Buku        : Parent’s Stories: Membesarkan Anak yang Berdaya
Penulis              : Adhitya Mulya
Penerbit            : PandaMedia, Jakarta Selatan
Jumlah Hal.       : 164
Tahun Terbit     : 2016
Peresume         : Novi Trilisiana


Citra Rashmi



Sebuah cerita itu harus ada endingnya. Dan kalau  belum happy, maka itu artinya belum ending.. dan menunggu ending sebuah cerita adalah hal yang menyebalkan..
Kenyataannya itulah yang terjadi pada kisah kali ini.. Kisah Pitaloka yang saya baca kira2 10 tahun lalu saat masih jadi cerita bersambung di koran republika.. Yang karena ingin segera tahu endingnya sy cari novelnya begitu tau sudah dibukukan. Tapi sy harus patah hati karena ceritanya masih bersambung ke buku ke2 Tahta Nirwana dan sy baru baca semalam setelah 10 th berlalu..
Dan kembali patah hati karena seri terakhirnya masih harus menunggu lagi.. semoga ngga harus  10 thm lagi..

Kisah ini menarik buat saya bukan hanya karena penulisnya sangat piawai merangkai kata. 620 halaman habis dibaca seharian tanpa terasa. Cerita berlatar belakang sejarah dan penuh dengan adegan silat ini membangkitkan keingintahuan saya karena bercerita tentang sejarah Perang Bubat/perang yang dialami oleh pasukan Kerajaan Sunda dan memunculkan tokoh pahlawan wanita: Dyah Pitaloka Citrarasmi, yang nama Dyah  nya diambil ayah saya untuk menamakan kakak saya tertua..

Citra Rashmi adalah  pewaris tahta kerajaan sunda. Kalau saja ia terlahir sebagai laki laki, maka posisinya tidak akan tergoyahkan. Sebagai  anak pertama permaisuri, pandai ilmu silat dan kanuragan, berkarakter kuat maka sejatinya ia adalah pewaris tahta yang sangat tepat. Hanya saja ia terlahir sebagai wanita, sementara anak pertama selir terkasih raja adalah Bayutala, laki laki yang cukup banyak mewarisi ambisi ibunya, Pwahaci. Maka membaca kisah Citra Rashmi, membuat kita menyelami intrik politik perebutan kekuasaan di dalam kerajaan yang menjadi latar belakang dari terjadinya Perang Bubat.

Cerita diawali dengan sebuah pengantar dari seorang tokoh yang ada di novel ini. Kita tidak akan tahu siapa dia hingga akhir cerita.

Dyah Pitaloka Citra Rashmi sejak kecil sudah melewati perjalanan hidup yang tidak biasa. Ia pernah diculik oleh kawanan Bromocorah yang diketuai Yaksapurasa, sebuah komplotan penjahat paling kejam dan bengis. Saat dalam masa penculikan inilah Citra Rasmi mengenal Purandara, anak satu satunya Yaksapurasa yang berkhianat pada ayahnya dan membebaskan Citra Rashmi. Walau dalam diam dan dengan caranya sendiri, diantara Purandara dan Citra Rashmi terjalin  ikatan yang makin lama makin menguat. Dan kisah cinta mereka, menarik perhatian tersendiri dalam novel ini..  kisah cinta yang unik antara putri raja dan putra bromocorah.

Cinta yang mengakibatkan seorang anak berkhianat pada ayahnya. Ketika seharusnya Purandara menjaga Citra Rashmi/Sanaha sebagai tawanan tapi berkali kali pula Purandara membebaskan dan menyelamatkan Sanaha

Tokoh lain dalam novel ini adalah Candrabhaga, laki laki bijak yang menjadi guru citra rashmi saat masih kecil. Ia mengajarkan banyak hal pada citra rashmi, ilmu silat, syair dan filsafat. Ilmu yang disebutkan berasal dari Pase. Ilmu yang membuat Candrabhaga menjadi guru yang sangat dihormati dan di cintai oleh murid muridnya. Murid murid Chandrabhaga makin lama makin banyak dan nama Chandrabhaga makin lama makin terkenal. Hal yang membuat raja sunda/ayah Citra Rashmi khawatir. Maka setelah 4 th berguru pada Chandrabhaga, Citrarasmi dijemput pulang dan kemudian raja mengusir Chandrabhaga dan membubarkan perguruannya. Bahkan beberapa tahun kemudian raja  mengirim pasukan untuk menghancurkan perguruan Chandrabhaga yang telah mengungsi ke lereng gunug Pangrango.

Kalau ini adalah kisah cinta, maka cinta Citra Rashmi pada gurunya membuatnya sanggup mengkhianati perintah ayahnya. Citra Rashmi menghadap sang Raja dan mengajukan diri untuk menjadi utusan ke perguruan Chandrabhaga sebagai ganti 1000 pasukan yang akan dikirim raja untuk menghancurkan perguruan itu. Alih alih meminta sang guru menghentikan aktifitasnya, Citra Rashmi malah menjadi pembela perguruan saat perguruan itu diserang pasukan bromocorah Yaksapurasa.


Trus bagaimana perang bubat nya dimulai?

Itulah bagian menyebalkannya novel ini.. di bagian pertama ini, pembaca baru disuguhi  asal mula kedekatan Citra Rashmi atau Pitaloka atau Sanaha dengan Purandara dan Chandrabhaga.. pada bagian bagian akhir baru mulai memasuki intrik kerajaan. Dimana Kerajaan Sunda harus menghadapi bahaya lain yang lebih kuat yaitu: ancaman serangan kerajaan Majapahit dengan rajanya: Hayam Wuruk. Namun  pembaca kembali harus bersabar menanti kelanjutannya..

Menurut kisah yang ada di buku2 sejarah/Wikipedia.. untuk menyelamatkan pecahnya perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda, maka Citra Rashmi dijodohkan dengan raja Hayam Wuruk, namun saat tiba di Lapangan Bubat, terjadi perubahan rencana yang mengakibatkan pecah perang yang kemudian dikenal sebagai perang Bubat. Diceritakan bahwa pasukan kerajaan sunda menderita kekalahan dan seluruh pasukan tewas pada peperangan ini termasuk ayahanda Citra Rashmi Raja Linggabuana. Dan untuk menjaga nama baik kerajaan, Dyah Pitaloka Citra Rashmi melakukan bela pati/bunuh diri.

Nah apakah kisah selanjut nya dari novel ini juga akan mengikuti jejak sejarah aslinya, kita tunggu saja kelanjutannya..


Judul Buku                    : Citra Rashmi
Penulis                          : Tasaro GK
Jumlah halaman             : 620
Penerbit                        : Qanita

Samita, Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho



Judul Buku            : Samita, Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho
Penulis                  : Tasaro
Penerbit                : Dar Mizan
Page                       : 648





Novel sejarah ini bergenre romantic-thriller, berlatar awal kehancuran Majapahit. Adalah Laksamana (Jendral Angkatan Laut) Cheng Ho, seorang kasim Muslim kepercayaan Kaisar ketiga Dinasi Ming dipercaya untuk memimpin armada laut dalam rangka menjalin persahabatan dan perdamaian dengan negara-negara tetangga. Cheng Ho memimpin banyak eskpedisi, salah satunya adalah ke Samudra Barat (Indonesia) dengan misi membawa perdamaian dengan kerajaan Majapahit. Kala itu Majapahit sangat mahsyur bahkan sampai ke luar negeri.

Dalam ekspedisi kali ini Cheng Ho membawa 28 ribu ping se (tentara) dan tiga murid terbaiknya yaitu Hui Sing yang merupakan anak angkatnya, Sien Feng, dan Juen Sui. Diantara ketiga muridnya ini hanya Hui Sing, tokoh utama novel ini, yang sudah beragama I-se-lan (Islam). Para ping se memiliki beragam kepercayaan dan agama, namun demikian mereka hidup rukun dibawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho.

Saat Cheng Ho berlabuh di Simongan terjadi dua peristiwa mengejutkan. Pertama, serbuan pasukan Majapahit yang menuduh Cheng Ho dan lurah Simongan bersekutu melawan Majapahit sehingga menimbulkan perang yang menewaskan ratusan ping se. Kedua, hilangnya Kitab Kutub Beku milik Cheng Ho yang diduga dicuri oleh salah satu murid terbaiknya (Sien Feng, Juen Sui, atau Hui Sing). Serangan prajurit Majapahit tentu saja sangat melukai Cheng Ho dan rakyat Simongan yang kehilangan Ki Lurah akibat terbunuh. Para ping se menyarankan untuk membalas, namun Cheng Ho memilih berdamai dan meminta raja bertanggungjawab dalam bentuk lain.

Saat Cheng Ho berada di Majapahit, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap salah satu Rakrian Menteri Majapahit. Si pembunuh menggunakan jurus Kutub Beku, yang itu berarti pembunuhan dilakukan oleh salah satu murid Cheng Ho. Namun apa motifnya? Dan siapa orang itu? Disinilah petualangan Hui Sing dimulai.

Di Majapahit Hui Sing bertemu dengan pimpinan pasukan Bhayangkara yang bernama Sad Respati. Benih-benih ketertarikan muncul diantara keduanya, namun saat itu Respati telah memiliki calon istri, Anindita namanya, anak Mahapatih kepercayaan Raja. Saat pasukan Cheng Ho hendak bertolak kembali ke Tiongkok, Cheng Ho rupanya diracun oleh si pencuri Kitab dan itulah awal mula terbongkarnya identitas pencuri Kitab dan persekongkolan pembunuhan di Majapahit. Hui Sing sangat sedih mengetahui siapa yang berkhianat. Di sisi lain hatinya tertinggal di Majapahit. Hal itu membulatkan tekad untuk kembali ke Majapahit, mengingatkan Respati akan bahaya yang mengancam dan memberitahu otak pembunuhan Rakrian.

Perjalanan Hui Sing tidaklah mulus. Dalam suatu pertarungan melawan dua orang penjahat tersohor, Hui Sing jatuh ke jurang. Ia terdampar selama 2 tahun di dalam jurang sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Hui Sing sebenarnya sangat lihai Thifan Pokhan (bela diri pecahan Tee Kumfu dan Kungfu berazaskan Islam) khusus perempuan. (saya baru tahu juga ternyata ada kungfu berazaskan Islam :D, yang konon gerakannya halus, membuat perempuan tetap cantik, dan mampu mempertahankan kondisi tubuh tetap lembut dalam setiap jurusnya). Lewat masa dua tahun itu Hui Sing mengganti namanya menjadi Samita (artinya Bintang). Nama itu adalah pemberian Respati saat mereka bertemu kali pertama di Majapahit.

Bagaimana dengan Respati? Ia menikah dengan Anindita selama dua tahun. Karena kecewa terhadap makar Anindita dan terhadap pemerintahan Majapahit ia pergi berkelana, melepas jabatan dan kekuasannya. Ia berguru selama dua tahun kepada seorang ulama Islam dari Gujarat. Namun sayang hidayah Islam tak kunjung menyentuh hati Respati. Sang ulama hampir menikahkan Respati dengan putrinya. Hingga muncul seorang kakek sableng (yang ternyata guru Hui Sing) yang memberitahu bahwa selama ini sebenarnya diam-diam Hui Sing selalu mengikuti Respati kemanapun pergi. Namun Hui Sing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok saat mendengar desas desus bahwa Respati akan menikah dengan putri ulama Gujarat itu.

Respati menyusul Hui Sing ke pelabuhan Surabaya. Disana ia menemui laksamana Cheng Ho yang baru saja berlabuh untuk meminang Hui Sing. Cheng Ho mengingatkan bahwa Hui Sing seorang muslimah dan ia hanya akan menikah dengan seorang muslim. Hui Sing sangat gembira dengan lamaran Respati. Hui Sing meminta keislaman Respati sebagai mas kawinnya. Mereka hidup bahagia dan tinggal di Nusantara. Mereka mendirikan padepokan yang menyediakan fasilitas belajar Ilmu agama, umum, dan pencak silat. Mereka menyebarkan Islam dari padepokan itu, namun mereka tak memaksa murid-muridnya untuk berpindah agama. Hal itu yang menyebabkan padepokannya sangat maju pesat dan dalam kurun waktu singkat telah memiliki ratusan murid.

Kondisi Majapahit saat itu sudah tercerai berai. Sejak kematian raja Hayam Wuruk dan Gajah Mada, terjadi perebutan kekuasaan antara Breh Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari selirnya) dan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk sebenarnya sudah memberikan kekuasaan kepada keduanya dimana Wikramawardhana menjadi raja di Majapahit, sedangkan Wirabhumi menjadi raja di Blambangan. Namun orang-orang sekeliling Wirabhumi yang haus kekuasaan tidak menerima keadaan itu dan menghasut raja hingga terjadi perang saudara. Akibatnya rakyat tidak terurus, penyelewengan kekuasaan dan pemberontakan terjadi dimana-mana. Satu per satu kerajaan bawahan Majapahit mulai memberontak dan melepaskan diri. Pada titik itu semua gerakan komunitas rakyat dicurigai sebagai upaya menghimpun kekuatan pemberontakan terhadap Raja.

Termasuk yang dicurigai adalah padepokan Hui Sing dan Respati. Malam itu padepokan mereka diserang oleh pasukan Bhayangkara Majapahit. Padahal Respati pernah menjadi pemimpinnya. Bagaimana nasib Respati dan Hui Sing selanjutnya? Simak sendiri yah di novelnya yang jelas ini bikin saya nangis bombay. Sweet, sad, and heroic. Yang jelas anaknya Hui Sing hilang saat ia membantu suaminya melawan pasukan Bhayangkara. Siapa coba yang nyulik? Ah ini bikin penasaran gimana endingnya anak itu karena gak diceritakan dalam novelnya. Mungkinkah ada seri lanjutannya?

Finally, banyak hikmah sejarah dari novel ini. Pertama, Islam disebarkan luaskan dengan cara damai, Islam sangat menghormati kepercayaan agama lain, dan Islam tidak memaksa umat lain untuk berpindah agama. Ini terlihat dari bagaimana sikap Cheng Ho terhadap para ping se, sikap ulama Gujarat terhadap para muridnya, serta sikap Hui Sing dan Respati terhadap para murid di padepokannya. Pun bagaimana prinsip Cheng Ho, bahwa dalam memerangi orang jahat, perang senjata adalah jalan terakhir ketika tak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Tergambar ketika Cheng Ho menghadapi pemberontakan Zhuyi. Islam menyebar melalui pada pedagang Arab, Gujarat, bahkan Tingkok. Jadi kalau selama ini ada muslim yang anti Cina, rasanya kudu kembali membaca sejarah ya.

Kedua, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang adil. Ini sangat terlihat dari gaya kepemimpinan Cheng Ho. Ia mengayomi, mengarahkan, dan tak membeda-bedakan bawahannya. Pun saat salah seorang prajuritnya sakit cacar, ia merawatnya sendiri dengan telaten. Padahal pekerjaan itu bisa saja dilakukan oleh orang lain. Dimanapun Cheng Ho singgah, ia dan para ping se selalu belajar hal baru dari penduduk setempat dan merekapun berbagi ilmu baru kepada penduduk setempat, tentang Islam, tentang bertani, bahkan tak segan membantu para penduduk membuka ladang baru.

Ketiga, bahwa ambisi kekuasaan akan menghancurkan tatanan suatu negara. Terlihat dari latar mula perang saudara Majapahit yang kelak berujung pada kehancuran kerajaan tersebut. Bahkan bibit ambisi kekuasaan itu sebenarnya sudah digaungkan oleh Gajah Mada dengan dalih menyatukan Nusantara. Tragedi di lapangan Bubat menjadi saksi bisu sekaligus awal mula kekecewaan rakyat terhadap kerajaan Majapahit, utamanya Gajah Mada. Tiada gading yang tak retak. Dibalik kebesaran namanya, Majapahit menyimpan sejarah kelam dibawah kekuasaan Mahapatih Gajah Mada.

Terakhir, semoga kita sebagai muslim dapat mengambil hikmah dari kisah masa lalu. Islam datang dengan jalan damai dan sampai kapanpun akan tetap demikian. Tasaro mengajak kita untuk mawas diri. Sejatinya setiap agama pada mulanya diturunkan dengan nilai-nilai yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Al Kitab (orisinil) masing-masing. Namun pengikutnyalah yang kemudian menyelewengkan nilai-nilai tersebut bahkan ada yang mengubah isi Al Kitab sesuai keinginannya. Maka nasihat Cheng Ho yang sangat bijak adalah agar umat Islam senantiasa berpegang teguh pada Kulan Cing (Al-Qur’an) karena itu merupakan landasan hukum tertinggi umat Islam yang terjaga keasliannya sampai hari Kiamat kelak, insyaAllah.

Yogyakarta, Mei 2016
-THW-





700 BATANG CAHAYA






Kumpulan puisi dan cerita yang bertemakan Palestina di buku ini benar-benar mengaduk-aduk emosi saya. Antara sedih, takjub, merinding, dan sebagainya. Pasalnya ketika pengusiran, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, sebagai santapan sehari-hari dimata dunia, mulut PBB tetap terkunci. Meski Palestina mereka katakan sudah merdeka. Tapi apalah Palestina tanpa Al-Aqsha, Palestina tidaklah lengkap tanpa Al-Aqsha.

Ada sentuhan berbeda dari antologi Palestina ini. Yakni terdapat puisi dengan bahasa Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang ditulis oleh Sumayye Mahmud dengan judul          "الضمير الغائب"  yang artinya “Suara nurani yang hilang.” Setiap cerita di buku ini memiliki kekhasannya masing-masing.

Di mulai dari  cerita tentang pemuda zionis dengan jiwa tragis, di mana pemuda itu meragukan tragedi Holocaust. Yang seakan-akan sejarah itu hanya dibuat-buat dengan unsur politik.

Cerita gadis berkerudung guava, yang bercerita tentang seorang gadis kecil yatim piatu  pemberani bernama Noura. Saking beraninya sampai ia berkata
“Kami kuat, kami ingin mati menjadi syuhada! Silahkan bom kami,” teriaknya kepada wartawan yang berasal dari Indonesia itu, sampai puncaknya ketika Noura sedang memakai jilbab putih dan sedang berpuasa bersama saudaranya. Tiba-tiba sirene tanda bahaya meraung, suara teriakan menggema hebat. Sang wartawan mencari-cari Noura dan saudaranya dengan melayang, karena matanya melamur. Suara teriakan, tangisan mengisi udara yang berubah menjadi panas membara. Wartawan itu terseok sampai ia melihat anak kecil yang sedang sekarat menggapai udara. Wartawan itu berhambur memegang tangan gadis kecil itu, kerudung putihnya bersimbah darah. Kerudung itu merah guava bercampur serpihan otak yang bocor terkena serpihan mesiu. Wartawan itu ambruk dan memeluk tubuh gadis kecil itu. Gadis kecil itu tersenyum dan menarik nafas terakhir. Hari ini ia sahur di dunia, sangat mungkin gadis kecil itu berbuka di syurga. Ya Allah , saya membayangkan bagaimana peliknya keadaan di sana, sampai berpuasa dalam keadaan perang seperti itu.

Sampai cerita 700 batang cahaya yang ditulis oleh mba Afifah Afra, yang menceritakan tentang bintang di langit yang penasaran akan spectrum tujuh ratus batang cahaya yang memancar sampai ke langit seperti kembang api raksasa yang berasal dari bola biru yaitu bumi. Hingga ia menjatuhkan dirinya ke bumi dan berakhir dengan menjadi barang dagangan batu bintang yang dijual oleh seorang ibu penjual batu antic.
Ada cuplikan kisah di dalam cerita ini yang membuat saya terharu yaitu ketika zigo barang dagangan yang dijual ibu itu tampak pucat melihat majikannya bersedekah untuk Palestina.
“Kau kenapa?” Tanya batu bintang.
“Tak tahu diri! Majikan kita, meski kekurangan ia selalu bersedekah untuk orang lain daripada mengurusi kepentingan dirinya! Mestinya orang itu tak minta sumbangan kepada majikan kita.” Jawab zigo. Lalu semburat tujuh ratus batang cahaya itu membuncah, kali ini cukup tinggi. Aku terpana.
“Kau tahu darimanakah asal semburat cahaya itu?” Tanyaku pada zigo.
“Itu berasal dari sedekah, aku sudah berkali-kali menyaksikan ibu itu diselimuti cahaya. Itu yang membuatku sangat betah bersamanya. Dan, itu sering membuatku merasa bersalah. Karena jangan-jangan  ketidaklakuan barang dagangan ibu itu disebabkan karena doa-doa kami yang tak ingin berpisah dengannya, karena kami mencintainya.” Subhanallah bahkan barang-barang di sekitarnya enggan berpisah dari orang yang sering bersedekah penuh cahaya itu. Saya jadi malu pada diri saya sendiri. Sepertinya saya masih sedikit sekali bersedekah sampai bisa diselimuti cahaya seperti itu.

Dalam buku ini pun ada puisi yang ditulis oleh mba Healvy Tiana Rosa ini sedikit cuplikannya
“Kami tegaskan sekali lagi! Karena kami rakyat Indonesia. Karena kami bangsa muslim terbesar di dunia. Karena kami manusia. Dan pada tahun 1962 Soekarno pemimpin besar kami, salah satu idola para pemuda Palestina hingga kini berkata ‘Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”

Buku ini recommended  banget untuk semua kalangan. Agar melihat dan membuka mta bahwa saat ini Negara-negara Timur Tengah sedang diliputi fitnah yang dahsyat. Patutlah kita untuk membantu mereka. Buku ini berhasil membuat saya membaca sampai akhir, begitupun dengan puisi-puisi yang keren banget, bahasanya pun mudah untuk dipahami. Salut sama FLP, hasil pembelian buku ini juga disumbangkan untuk Palestina.

Judul                : 700 Batang cahaya
Penulis             : Healvy Tiana Rosa, dkk.
Penerbit           : FLP Publishing
Tebal               : 216 Halaman
Tahun              : 2015
Peresume         : Nur Arfah
Bulan               : Mei