Judul buku : 9 Summers 10 Autumns
Penulis : Iwan Setyawan
Penerbit : Gramedia
Jumlah hal : 220
‘You must know that there’s nothing higher, or stronger, or sounder, or more useful afterwards in life, than some good memory, especially a memory from childhood, from the parental home. You hear a lot said about your education, yet some such beautiful, sacred memory, preserved from childhood, is perhaps the best education. If a man stores up many such memories to take into life, then he is saved for his whole life. And even if only one good memory remains with us in our hearts, that alone may serve some day for our salvation’ (Dostoevsky’s, The Brothers Karamazov)
Itu adalah sepenggal paragraf di awal buku
Bagi Iwan, mungkin tidak ada buah yang begitu bersejarah dibanding apel. Novel ini, bagai rekaman memori seorang anak kampung dari kota Apel (Malang) yang tiba tiba menemukan dirinya menjadi seorang direktur perusahaan multi nasional yang berkantor di New York (Big Apple).
Dalam kerinduan akan hangatnya cinta keluarga yang begitu menyesaki dada, kenangan akan masa masa penuh kerja keras yang meneteskan keringat dan air mata. Iwan menuliskan semuanya menjadi sebuah novel yang ringan, bercampur bahasa Indonesia dan Inggris. Mengambil latar belakang kota New York, novel ini merupakan tumpahan bait bait kerinduan Iwan akan rumahnya di Batu, ibu, bapak, dan saudara2 perempuannya pada seorang anak laki laki kecil berbaju merah putih, sejak baru menjejakkan kaki di New York hingga berlalu 9 x Summers dan 10 x Autumns.
Menjadi laki laki satu satunya dari 5 bersaudara. Iwan tidak pernah berpikir untuk menggantikan pekerjaan ayahnya sebagai supir angkot. Pekerjaan yang juga telah ditekuni oleh kakeknya. Bukan karena pekerjaan yang telah menghantarkannya menjadi seorang sarjana ini adalah pekerjaan hina. Hanya saja, ia menjadi saksi bagaimana kemiskinan telah membuat kakak perempuan pertamanya yang walaupun sangat pintar tapi tidak bisa kuliah karena tidak ada biaya. Pekerjaan ini pernah pula mengakibatkan bapak pulang dalam keadaan marah karena lelah namun tidak mendapatkan penghasilan yang cukup. Padahal ibu sudah menunggu karena kebutuhan hari itu sudah sangat banyak menumpuk. Tak ayal kemarahan bapak yang ditumpahkan pada ibu, membuat ibu terduduk di dapur sambil menangis tersedu.
Melihat air mata ibu jatuh saat itu, I told to my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much. Dari sinilah, hidup iwan tak hijau lagi. Ia belajar dan bekerja dengan keras. Sangat keras.
Hal menarik yang paling menarik perhatian saya adalah bahwa cinta sangat kuat mengalir di tiap paragraph buku ini. Bagaimana kekuatan cinta keluarga, dapat membakar semangat anggotanya untuk mengeluarkan seluruh potensi yang dimiliki.
Bapak, yang digambarkan tidak banyak bicara, namun ia lah yang menyiapkan alas kayu sederhana agar Iwan bisa tidur tidak hanya beralaskan karpet coklat saja. Bapaklah yang mengorbankan angkot kebanggaannya untuk dijual sebagai bekal Iwan kuliah di IPB. Semua dirasakan Iwan sebagai cinta bapak yang begitu kuat dan melekat dalam dirinya.
Ibu, yang walau tidak tamat SD karena sakit yang diderita, namun Ia lah yang membangun ide menabung. Mengingatkan bahwa kadang mobil harus dibawa ke bengkel. Ibulah yang mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak tanpa harus tersisa keesokkan harinya. Ibu tahu mana barang yang harus digadaikan untuk membeli sepatu baru. Ibulah yang menyembunyikan tempe agar tidak dihabiskan salah satu anak. Ibu menghadirkan demokrasi di tengah pergulatan hidup.
Semua kesederhanaan itu walau sangat pedih, namun semuanya berubah menjadi benteng dalam jiwa Iwan dan semua saudara perempuannya. Bapak dan ibu, dengan keputihan hatinya, telah membangun pondasi yang sangat kuat dan indah. Dan itu adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Kesederhanaan yang telah membangun dan menyelamatkan.
Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca.
0 komentar:
Posting Komentar