Penulis : Lois Lowry
Penerjemah : Ariyantri Eddy Tarman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 232 halaman
Genre : Distopia
Buku ini salah satu favorit saya,
karena saya mendapatkan buku ini waktu premiere The Giver di Plaza Indonesia
dari Gramedia, ini buku dengan genre Distopia pertama saya. Buku ini bercerita
dengan karakter utama bernama Jonas berumur 12 tahun, yang kehidupannya sungguh
sempurna, tinggal di komunitas bersama dengan
“Ayah dan Ibu” serta Lily, adik perempuannya yang sudah berumur 7 tahun. Kenapa
bisa dibilang sempurna? Karena di komunitas ini tidak ada perkelahian,
kecemburuan, perang, kelaparan, perbedaan, semua pekerjaan sudah diatur, bahkan
pasanganpun sudah dipilihkan oleh komite, ketika sakit atau luka kecil-pun,
komite dan unit keluarga akan bertindak sangat cepat untuk mengobati.
Cerita dimulai ketika memasuki bulan
Desember, Jonas merasa takut, bukan, bukan takut, lebih tepatnya merasa
khawatir. Karena di umur 12, bersama dengan anak 12 lainnya, setiap anak akan
dipilihkan pekerjaan untuk di komunitas ketika kemarin ketika umur 11, mereka
sudah kerja praktek selama setahun dan sudah diawasi serta dinilai oleh komite.
Dalam upacara 12-nya, Jonas berharap mendapatkan pekerjaan penting dalam
komunitasnya. Dulu, ketika seorang anak lahir, semua anak diberi nomor sebelum
nama, dan Jonas mendapat nomor 19, walau sekarang bernama Jonas, Jonas tetap 19
saat upacara, atau ketika ayah dan ibu marah, maka kemarahannya seperti “cukup,
sembilan belas” begitu, karena menurut komite anak yang “nakal” tidak pantas
dipanggil dengan nama mereka. upacara berjalan lancar sampai ketika urutan 19
tidak dipanggil, tetapi langsung menuju nomor 20 setelah 18, Jonas mulai merasa
takut dan malu, apa yang telah dilakukannya sampai komite melupakannya, bahkan
Jonas tidak berani melirik ke orang tuanya.
“Jonas tidak
ditugaskan,” dia memberitahu hadirin, dan jantung Jonas mencelus..
Kemudian Tetua Kepala
melanjutkan. “Jonas sudah terpilih.”
—The Giver ‘Sang
Pemberi’, hlm. 77
Begitulah komite mengakhiri pidato
dalam upacara, mengatakan bahwa Jonas sudah terpilih, terpilih untuk menjadi “sang
penerima” dan seperti yang dikatakan oleh penerima sebelumnya, Jonas mempunyai kemampuan
“melihat jauh”. Jonas tidak mengerti, Jonas ketakutan, awal mulanya semua
hadirin yang datang mengelukan nama Jonas dalam bisikan hingga menjadi teriakan
semangat “JONAS, JONAS, JONAS”.
Hari pertama Jonas ditugaskan,
Jonas sangat bersemangat, Jonas menemui pelatih barunya yang menyebut dirinya sebagai
“The Giver” karena Jonas sekarang adalah “The Receiver”, Jonas diperbolehkan menanyakan
apapun yang dia suka, diperbolehkan berbohong, tidak diijinkan menceritakan
tentang pelatihannya atau menceritakan mimpinya dan diperbolehkan tidak meminum
obat pagi.
Pelatihan Jonas sungguh unik,
Jonas hanya disuruh berbaring dan The Giver, meletakkan tangan di punggung
Jonas lalu memberikan kenangan, kenangan tentang masa lalu, manusia beribu-ribu
tahun lalu, yang ada sebelum Jonas dan The Giver lahir. Jonas tercengang, atau
lebih tepatnya kaget, dengan apa yang diberikan oleh The Giver, Jonas diberi
kenangan tentang salju, kereta luncur, dan segala macam warna. Jonas menanyakan
kenapa tak ada warna di komunitas? Kenapa tak ada salju? Padahal semua itu
menyenangkan dan membuat Jonas merasa hidup.
“Tetapi, setelah
sekarang aku bisa melihat warna, setidaknya kadang-kadang aku berpikir:
bagaimana jika kita bisa menunjukkan benda-benda berwarna merah manyala, atau
kuning menyala, dan dia bisa memilih? Ketimbang Kesamaan.” —The Giver ‘Sang Pemberi’, hlm. 121
Semua dicegah dalam komunitas,
tak boleh ada warna, karena perbedaan memunculkan perselisihan, tak ada salju,
karena iklim tersebut dapat membuat penanaman menjadi sulit. Tak dapat
berbicara dengan bebas, tidak ada yang namanya kelaparan, yang ada itu lapar,
pekerjaan-pekerjaan yang ada pun unik. Ada pekerjaan dinamakan ibu kandung,
yaitu wanita yang diberi segala macam kenikmatan dalam komunitas selama 3 tahun
dan diharuskan melahirkan 3 anak, setelah melahirkan 3 anak, maka ibu kandung
tersebut dibuang untuk bekerja menjadi buruh. Dalam setiap komunitas hanya
boleh terisi 1 wanita dewasa, 1 laki-laki dewasa, seorang anak perempuan dan
seorang anak laki-laki. Jika pelanggaran yang ditetapkan tidak dipatuhi, maka
anggota komunitas akan dihukum sampai
yang terberat adalah dibuang ke “Tempat Lain”, disini pembaca akan tercengang
apa itu yang dimaksud “tempat lain”.
Lois Lowry menggambarkan karakter
Jonas sebagai remaja yang penuh rasa ingin tahu, pemberani, mempunyai semangat
tinggi, berkemauan keras dan pengamat yang baik. Kisah ini lamban tapi
menghanyutkan. Pun diakhiri dengan tipikal sebuah cerita yang saya suka. Tanpa
sebuah jawaban yang konkret, pembaca dibiarkan menerka tentang apa yang terjadi
selanjutnya.
Karena ada sifat pemberontak
dalam diri Jonas, Jonas pada akhirnya membuat perbedaan besar dalam
komunitasnya,saya gak akan menceritakan lebih lanjut tentang kisah Jonas,
karena lebih asyik bila baca sendiri atau mungkin nonton filmnya. Selain dari
segi cerita, saya juga suka dengan sampul The Giver yang penuh warna, ceria dan
terkesan seperti buku cerita anak-anak. Penerjemahannya juga smooth dan tak ada
kata sulit sehingga susah dipahami. Buku ini punya kesan sendiri di dalam diri
saya, saya baca buku ini mungkin udah yang kelima, bahkan filmnya pun udah saya
nonton 8 kali haha.
Jadi, kalau mau baca buku
ber-genre Distopia yang menurut saya gak terlalu berkesan mikir dan dark, The
Giver cocok banget buat referensi. Sekian resume saya kali ini, terima kasih J
0 komentar:
Posting Komentar