Judul Buku : Uno, Demi Generasi Yang Lebih Baik
Penerbit : Gramedia
Penulis : Renville Almatsier
Jumlah halaman : 377
Genre : Biografi
Haji Razif Halik Uno atau Henk Uno adalah laki laki yang merasa memiliki kekurangan: gampang depresi dan bertubuh pendek/kecil. Kedua kekurangan ini membuatnya menjadi seseorang yang merasa ‘sudah kalah dulu’. Sejak kecil dia sadar bahwa persaingan bukanlah jalur yang dapat dijalaninya dengan baik. Karena itu untuk mencapai keberhasilan dalam hidupnya ia mengatur siasat dan menempuh jalur lain, yaitu mati matian berupaya untuk ‘menciptakan’ edisi baru dirinya yang lebih baik. Mulai dari mencari pasangan yang mampu melahirkan keturunan yang lebih baik (mencari istri dengan tinggi badan yang lebih dari dirinya), diharapkan akan mencapai keunggulan yang kelak mampu mengibarkan pataka keluarga.
Kalau hidup adalah pilihan dan bukan sekedar hanyut mengalir, maka semua kendala hidup yang ia jalani memberi sebuah kesadaran bahwa ia tidak ditakdirkan untuk berhasil, melainkan anak dan cucunya yang akan mencapainya. Untuk itu laki laki ini memilih untuk ‘mengalahkan’ segala ambisi pribadinya untuk kepentingan keluarga.
Kini di usia 79 tahun, Henk Uno bukan saja mendapatkan teman hidup yang setia, gigih dan ulet yang telah mampu menyiapkan, meletakkan pondasi, menjaga dan mengawasi perjalanan panjang putra putranya sehingga mampu lepas landas untuk mengarungi kehidupan mereka sendiri. Namun Henk juga telah dapat menyaksikan bahwa pilihan hidupnya itu telah mengantarkannya mendapatkan ‘edisi baru dirinya yang lebih baik’ seperti yang dicitacitakannya dulu. Beliau adalah suami dari wanita yang populer dengan nama Mien R. Uno dan ayah dari Indra dan Sandiaga Uno.
Buku ini ditulis oleh Renville Almatsier atas permintaan pak Henk. Ia ingin apa yang telah ia jalani dalam mengatasi kelemahan dirinya dapat juga menjadi pelajaran bagi keluarga Indonesia lainnya. Karena biografi, buku ini menceritakan secara detil hari demi hari kehidupan yang Henk jalani sejak kecil sampai buku itu selesai ditulis.. Sejujurnya, menghabiskan baris demi baris buku ini membuat saya merasa bosan. Banyak pengungkapan perasaan yang diulang ulang. Tapi mengetahui begitu banyak dan detilnya cerita yang dapat diungkapkan oleh pak Henk, menggambarkan betapa beliau menikmati tiap perjalanan kehidupan yang dilaluinya. Dan ternyata semua menjadi pelajaran yang berharga baginya.
‘Pengalaman masa kecil menjadi landasan penting dalam kehidupan saya. Semuanya membekas hingga kini. Kata ‘pengalaman’ menyiratkan peran ‘alam’ yang bersentuhan dengan pancaindera manusia. Pengalaman memungkinkan seseorang untuk memiliki pemahaman dan pengetahuan..’
Ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Lahir dari keluarga pejabat dan menjadi besar dilingkungan teman teman yang mayoritas menjadi orang penting di Indonesia, tidak membuat Henk ambisi pada jabatan. Pekerjaan beliau di PT Caltex yang dijalaninya hanya sekedar untuk mencukupi makan keluarganya dan numpang hidup bagi dirinya. Dan ternyata hal yang sama juga berlaku pada istri beliau, ibu Mien. Walau bergaul dengan banyak keluarga pejabat, terkenal dan kaya raya, namun beliau melakukannya bukan untuk memanfaatkan pertemanan itu. Semata karena senang bergaul dengan siapa saja.
Prinsip suami harus punya penghasilan yang lebih besar dari istri tidak dipakai oleh Henk. Tidak perlu bersikukuh mempertahankan harga diri. Tapi sebaliknya istri juga wajib menjaga perasaan suami. Keberhasilan bisa datang dari suami atau istri, siapapun yang lebih berhasil tidak boleh meremehkan pasangannya. Dan siapapun yang sedang berusaha, seluruh keluarga harus mendukung.
Hal lain yang juga berkali kali diceritakan Henk di buku ini adalah beliau tidak dibesarkan dalam suasana keagamaan yang kuat. Namun beliau merasa sangat bersyukur karena menikah dengan wanita yang memiliki dasar agama yang kuat. Anak dan cucu mereka bukan saja rajin sholat lima waktu tapi bahkan solat berjamaah ke masjid.
Kini, setelah melewati perjalanan panjang proses keimanan yang sesuai dengan jiwanya. Henk merasa lebih matang dan tidak lagi sering merasa depresi. Beliau tetap bahagia mendampingi ibu Mien yang harus hadir sebagai pembicara di suatu acara yang diadakan BUMN tertentu, dan berperan hanya sebagai ‘supir’, duduk bersama para supir lainnya di luar gedung.
Nama Uno, mungkin lebih mengingatkan orang pada ibu Mien R Uno ataupun Sandiaga Uno, namun Henk tidak mempermasalahkannya.. karena beliau merasa bersyukur dan berterima kasih pada Sang Pengatur dan Pemilik Alam Semesta ini.. bahwa ia telah diberikan apa yang diinginkannya.. generasi yang lebih baik.
Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca.
0 komentar:
Posting Komentar