Penulis : H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penerbit : Umminda, Jakarta 1982.
Jumlah Hal : 361 halaman
Peresume : Shofiyati Nur Karimah
Buku yang diberi judul “Ayahku” oleh seorang ulama, sastrawan, sekaligus politikus Indonesia H. Abdul Malik Amrullah atau akrab kita sebut HAMKA, adalah sebuah catatan dari seorang anak sekaligus murid tentang sosok Dr. H. Abdul Karim Amrullah atau Dr.HAKA. “Ayahku” ini tidak hanya semata-mata berisi riwayat hidup seorang ulama besar Sumatra Barat atau catatan kasih seorang anak tentang ayahnya saja, namun di dalamnya juga berisi riwayat perjuangan ulama dan perkembangan Islam di Sumatra Barat khususnya dan seluruh Sumatra pada umumnya.
Berisi 19 Bab, Bab terakhir merupakan Salinan buku “Hanya Allah” yang ditulis Dr. HAKA tahun 1943 sebagai jawaban atas permintaan pemerintahan Jepang kala itu yang meminta komentar beliau tentang konsepsi ketuhanan versi Jepang yang dirangkum dalam sebuah buku berjudul “Wajah Semangat”. Sedangkan Bab pertama menceritakan sejarah masuknya Islam di Bumi Minangkabau.
HAMKA menuliskan sejarah tersebut dengan sangat rinci bahkan sejak Zaman Hindu Budha, periode ketika Majapahit sedang berjaya dengan maha patihnya Gajah Mada hingga pengaruh agama itu masuk ke Minangkabau. Ringkas tapi padat HAMKA menceritakan sejarah tersebut hingga akhirnya seperti yang kita tahu abad ke-18 sudah mulai berdiri kerajaan Islam pertama di Sumatra, Kerajaan Samudra Pasai. Namun, menurut HAMKA, pastilah jauh sebelum kerajaan Islam berdiri, sudah ada masyarakat Islam di Indonesia. Terbukti dalam almanac Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 674 Masehi (itu artinya 42 tahun setelah Nabi Muhammad wafat) sudah didapati kelompok masyarakat Arab di Sumatra Barat. HAMKA menduga kata “Pariaman” berasal dari Bahasa Arab “Barri Aman” (tanah daratan yang aman sentosa). Masih di Bab pertama, diceritakan juga tokoh-tokoh ulama dan perjuangan mereka mempertahankan negeri pada masa awal penjajahan Belanda, salah satu perjuangan yang mungkin paling kita kenal di sekolah-sekolah adalah Perang Paderi dan perjuangan Tuanku Imam Bonjol.
Selanjutnya pada Bab kedua mulailah diceritakan nenek moyang Dr. HAKA sejak dari Tuanku Pariaman (Tuanku Nan Tuo, di Koto Tuo, IV Koto), salah satu pejuang Paderi juga (kalau saya tidak salah ingat), hingga sampai pada ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah dengan gelarnya Tuanku Kisai yang merupakan Syekh besar Tarikah Naqsabandiyah yang disebut-sebut termasuk “Kaum Tua”, sedangkan Tuanku Rasul (nama Dr. HAKA sebelum keberangkatan ke Mekkah yang kedua dan sebelum mendapat gelar Dr Causal dari Al-Azhar) merupakan salah satu pelopor “Kaum Muda” yang disebut-sebut pembawa aliran wahabi. Pada masa itu pertentangan “Kaum Tua” dan “Kaum Muda” sangatlah panas. Namun, pertentangan itu tidak mengganggu hubungan mesra ayah dan anak yaitu antara Tuanku Kisai dan Tuanku Rasul.
Saya takjub dengan cara perdebat Ulama-ulama pada zaman itu terutama Dr.HAKA sendiri. Nampak sekali keluasan ilmu mereka. Pendapat-pendapat mereka, mereka tuliskan menjadi sebuah kitab. Kitab A dibantah dengan kitab B, kemudian dibalas dengan Kitab C, kemudian muncul aliran pemikiran baru di majalah A di Negara Z, tapi majalah A tersebut diboikot akhirnya lahirlah majalah B di negara Y yang meneruskan ideologi yang dipelopori di majalah A. Kemudian saya membandingkan dengan keadaan sekarang, kalau ulama-ulama itu benar-benar menyelidiki dari kitab ke kitab, kajian ke kajian, diskusi dengan guru ini dan guru itu kemudian baru lah dituangkan semua pemikiran dalam sebuah buku sebagai jawaban, sekarang kalau lihat di media social banyak orang berdebat dengan klik share klik share tulisan-tulisan ‘yang disukai’ padahal entah itu benar atau tidak. Asal suka dan ‘sepertinya valid’, share aja #NgacaSambilNangisMiris.
Kembali ke Dr.HAKA, beliau mendapatkan gelar kehormatan itu pada tahun 1926 saat sedang konferensi perwakilan kaum agama di Mesir bersama Dr. H Abdullah Ahmad yang juga mendapat gelar yang sama. Diceritakan juga kisah persahabatan beliau berdua yang sempat renggang karena selisih pendapat. Dr. HAKA dengan karakternya yang keras dan pemarah tidak pernah mengenal kompromi dengan Belanda dalam berdakwah, sedangkan Dr. H. Abdullah Ahmad bersikap lebih taktis dan lumayan dekat dengan Belanda untuk akhirnya melancarkan rencana-rencana dakwahnya seperti mendirikan sekolah resmi berbasis agama. Meskipun berbeda strategi, beliau berdua saling menghormati dan mengakui kelebihan satu sama lain.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan Dr.HAKA yang digambarkan jelas di buku ini, ada banyak sikap beliau yang membuat saya kagum, diantaranya ketika hendak memotong ceramah yang membosankan yang tidak ada isinya di konferensi di Mesir, beliau nekat berdiri di atas kursi karena di konferensi itu kursinya besar-besar, ulama yang hadir pun besar-besar, sedangkan beliau kecil. Kemudian saat pendudukan Jepang yang terkenal bengis, beliau diundang dalam suatu acara yang juga dihadiri ulama-ulama dari berbagai daerah di Indonesia. Sesuai adat Jepang, setiap memulai acara ada ritual “Keirei”, yaitu membungkuk hampir rukuk ke arah timur laut, letak Kerajaan Sang Tenno di Jepang. Tak ada seorangpun bahkan ulama-ulama pun yang berani menolak ritual itu, hanya Dr.HAKA seorang yang saat itu tetap duduk dengan tenang di kursinya saat ritual itu berlangsung, padahal kanan kirinya ada prajurit Jepang dengan pedang-pedang samurai yang panjang hampir menyentuh tanah menggantung di pinggang. Dan banyak hal lain yang membuka pengetahuna baru bagi saya tentang perjuangan seorang ulama besar yang melahirkan murid-murid yang kalau kita belajar sejarah nasional Indonesia kita akan mengenali beberapa diantaranya adalah murid Dr.HAKA. Selain itu banyak juga pelajaran sejarah yang banyak luput dari pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Sebagai catatan tambahan, HAMKA menceritakan bahwa buku ini mulai disusunnya pada tahun 1944 beberapa waktu sebelum Dr. HAKA meninggal di tahun itu juga dan baru selesai 4 tahun kemudian. Dalam proses penyusunannya, beliau simpan naskah “Ayahku” ini rapat-rapat dan rahasia karena meskipun pada tahun 1945 Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, ancaman Belanda masih mengintai dengan adanya beberapa agresi militer.
Sebagai penutup resume, selain banyak gelar seperti Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Mudo, Engku, Ninik-Mamak, dll. dan nama-nama yang susah diingat, pengaruh bahasa yang semi melayu yang digunakan dalam buku ini kadang membuat saya bingung. Jadi beberapa bagian ada yang ‘missed’. Tapi sejauh ini “Ayahku” sangat asyik dibaca. Bahkan beberapa bagian tak tahan juga ikutan nangis, terutama saat bagian, persatuan para Ulama yang selama ini bertentangan dan tak jarang beradu sengit, ketika Dr. HAKA dibuang dan Belanda katakan alasan penangkapan Dr. HAKA adalah permintaan dari kalangan ulama sendiri, semua ulama baik dari “Kaum Muda” maupun “Kaum Tua” membantah dan malah bersatu untuk membebaskan Dr.HAKA. “Hanya dalam urusan khilafiat kami berselisih pendapat, tapi dalam urusan Tauhid, kami tak ada bedanya”, begitu kira-kira yang disuarakan para Ulama tersebut.
Sekian. Mohon maaf kalau kurang terstruktur dalam meresume. Semoga mudah dipahami dan tertarik untuk membacanya lansung.
Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca.
Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca.
0 komentar:
Posting Komentar