Kategori : e-Book
Judul : Indiepreneur
Penerbit : Tidak dicantumkan
Penulis : Pandji
Peresume : Puspita IM 1
BAB
1
Jika
pada suatu hari Anda ditanya, “Kamu ingin menjadi pekarya atau pekerja?”
Mungkin Anda akan kembali bertanya, “Memangnya apa beda pekarya dan pekerja?”
Jika itu benar terjadi, saya akan menyodori Anda free e-book ini. Indiepreneur, ditulis oleh Pandji Pragiwaksono.
Mengupas habis-habisan mengenai apa bedanya berkarya dan bekerja.
Prolog
dari buku ini adalah percakapan Ayah Pandji dengan seorang rekan bisnisnya dari
Jerman. Ayah Pandji yang bernama Koes, ditanya oleh bule Jerman, “Koes, orang
Indonesia itu aneh. Mereka bisa membuat ukiran Jepara dengan detail, indah, dan
presisi. Tapi mereka tidak pernah bisa membuat anak tangga dengan rapi dan
presisi. Mengapa bisa begitu Koes?”
Koes
menjawab,”Orang yang membuat tangga itu bekerja. Orang yang mebuat ukiran itu
berkarya.”
Orang
yang bekerja akan melakukan pekerjaan dengan baik karena dia butuh
mempertahankan gaji, gaya hidup dan lain-lain meskipun harus ada sedikit
keterpaksaan. Sedangkan orang yang berkarya akan rela menginvestasikan waktu,
tenaga, bahkan uangnya agar ia bisa
memuaskan dirinya. Sayangnya menjadi pekarya, bukanlah hal yang mudah. Ada
banyak tantangan. Pandji membahas satu per satu tantangan seperti apa yang harus dihadapi oleh seorang
pekarya.
Pernahkah
pada suatu hari, anda membuat suatu produk. Hmmm….misal Anda membuat restoran.
Anda mencoba untuk memperkenalkan restoran tersebut ke teman-teman Anda. Respon
yang mereka berikan adalah, “Ada makan gratis di situ enggak?” Kasus lain,
misalkan Anda seorang penulis buku dan memasarkan buku tersebut ke teman-teman.
Tanggapan yang diberikan, “Buat saya bisa gratis enggak?”
Mental
gratisan memang melekat begitu kuat di benak masyarakat. Tak hanya di
Indonesia, di negara maju pun mental gratisan ini juga masih ada. Pernah ada
sebuah cerita, Dan Ariely menjual 2 varian cokelat di tokonya. Hershey Kiss
yang lebih murah dan kualitasnya tidak seberapa dan Lindt yang berkelas, mahal dan
kualitasnya lebih baik. Pada hari pertama promo Dan menjual Hershey Kiss
sebesar 1 sen, sedangkan Lindt seharga 30 sen. Hari kedua, Dan menjual Lindt
seharga 14 sen dan Hershey Kiss gratis. Tahukah cokelat mana yang banyak dibeli
konsumen? Hershey Kiss. Padahal jika kita menilik lebih jauh, potongan harga
Lindt jauh lebih besar dibandingkan Hershey Kiss. Gratisan hanya akan membuat
kita melewatkan penawaran terbaik.
Pengalaman
Dan Ariely di atas membuat Pandji memberi saran kepada para pekarya untuk tetap
disiplin meningkatkan value dari
karya aslinya. Misal dengan menjual karya yang sebagian keuntungan disumbangkan
untuk yayasan kanker. Jika konsumen membeli bajakan atau gratisan mereka hanya
mendapatkan murah atau gratisnya saja. Tapi tidak dengan value semacam berpartisipasi dalam aktivitas sosial semacam peduli
penderita kanker. Dampak negatif lain dari gratisan adalah membuat kita menjadi
kurang bertanggung jawab. Contoh Google pernah mengadakan konferensi gratis.
Dalam konferensi tersebut Google membagikan snack mahal gratis kepada
pesertanya. Apa yang terjadi? Para peserta mengambil snack sebanyak-banyaknya
tapi mereka tidak menghabiskan.
Itulah
sekelumit bab 1 dari buku Indipreneur, buku ini bisa diperoleh dengan membayar
1 tweet saja di bit.ly/VXMyPI Gratis karena memang sengaja digratiskan, bukan
memelas minta gratisan.
0 komentar:
Posting Komentar