Sering
kali di sela-sela baca novel Dilan dan Milea, saya bergumam, Ah...andai saja
buku ini saya baca sewaktu SMA dulu. Pastilah saya bisa menjalani kehidupan remaja
dengan lebih sederhana dan terarah serta positif. Dan, saya bisa memperlakukan
teman wanita (pacar) saya dengan lebih baik. Eh,...
Membaca
buku ini kita disodorkan pada sosok Dilan yang sederhana, pintar, dan apa
adanya. Seperti, “Pada dasarnya, aku juga sama dengan si Akew atau si Piyan,
pada ingin punya tampang kayak Onky Alexander, pada ingin punya muka kayak
jeremy Thomas, atau kayak Ari Wibowo, yang menjadi idola remaja saat itu. Tapi
aku tahu utu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Maka, jelas bagiku, sudah
tidak usah lagi memikirkan hal itu”.
Sedikit
informasi tentang sosok Dilan, dia adalah anak SMA di Bandung, kisahnya sekira
tahun 1990. Bisa dibilang zaman dulu, kisah ini bercerita. “Milea” adalah novel versi Dilan atau dalam
sudut pandang Dilan. Di buku ini pula saya dibuat bingung. Sepertinya, tokoh
Dilan bukanlah Pidi Baiq. Jadi novel ini adalah cerita dari tokoh Dilan yang
kemudian ditulis oleh Pidi Baiq. Begitu dari yang bisa saya analisa.
Selain anak geng motor, Dilan dikenal
sebagai pribadi yang lucu. Terlihat dari obrolan-obrolannya dengan milea dan
teman-temannya. Uniknya, Dilan sebagai geng motor beda dengan kesan anak motor
yang suka berkelahi. Dilan tidak menempatkan perkelahian sebagai hal yang
penting. Dilan menganggap, dia perlu melakukan perlawanan karena diserang
terlebih dahulu.
Dilan juga agamis. Banyak hal yang
dirasakannya dikaitkan dengan camput tangan tuhan. Alhamdulillah, Dilan
beragama islam. Sosok Dilan dikenal bisa bergaul dengan aneka macam orang,
tanpa ada orang yang bisa mendiktenya. Dia bergaul dengan ibu kantin, geng
motor, anak sekolah, hingga bencong (banci).
2. Pendidikan Orang Tua
2a. Kepercayaan Bunda
Bunda adala orang tua yang sangat
demokratis. Tidak mengekang. Tidak terlalu mengarahkan. Bahkan terhadap
‘kenakalan’ Dilan, Bunda pun tidak masalah. “Ya, misal kamu nakal, buat Bunda
gak masalah. Selama nakalnya itu menyenangkan orang banyak. Selama nakalnya itu
gak bikin rugi orang, gak ngerugiin hidupmu, agamamu, dan masa depanmu”
Sangat jarang sosok ibu seperti
bunda. Yang bisa memberikan kepercayaan terhadap anaknya. Dan lebih jarang
lagi, sosok seperti Dilan. Dilan yang bisa memegang kepercayaan yang diberikan
orang tua. Kepercayaan adalah sebuah kehormatan yang besar, sekaligus menjadi
tanggungjawab yang besar pula.
Bahkan
kenakalan Dilan ‘dimanfaatkan’ oleh Bunda untuk mengamankan dan menakut-nakuti
siswa di sekolahnya. Bunda adalah kepala sekolah, tapi di tempat yang berbeda
dengan Dilan. Suatu ketika ada iswa yag mengamuk dan melawan kepada semua guru
bahkan kepada Bunda, selaku kepala sekolah. Saat dibawa ke ruang BP, bunda
menanyakan apakah si anak kenal dengan Dilan. Bunda bilang kalau Dilan itu
anaknya. Dan kelihatannya si anak kenal dengan Dilan, dan merasa jerih dengan
Dilan yang ketua geng motor. Bunda bilang, “Sebelum melawan ibunya, lawan dulu
anaknya”. Akhirnya si anak menjadi tenang dan tidak melawan. Bahkan ketika
pamit dari ruang BP, si anak mencium tangan Bunda. Hebatnya, Dilan menafsirkan
sikap si anak bukan karena takut. Tapi sebagai upaya membangun apa yang
dinamakan menghargai persahabatan. “Bagiku, aku tidak mau berpikir bahwa si
Dendi takut kepadaku, kukira dia sedang menunjukkan bahwa dirinya memiliki
kebijaksanaan. Maksudku, tiap orang menghendaki hubungan persahabatan yang
hebat, dan aku benar-benar percaya kepadanya”. Begitulah Dilan. Berupaya untuk
selalu berpikir positif.
2b. Ayah, yang Menyayangi Dilan
Dilan ditangkap Polisi. Akew, teman Dilan, suatu malam tewas terbunuh, salah sasaran.
Sebagai geng motor, solidaritas antara mereka sangat kental. Dan malam
berikutnya, Dilan bersama teman-temannya berniat balas dendam. Namun niat itu
belum kesampain. Keburu ada polisi yang mengamankan mereka. Malangnya, saat
ditangkap, Dilan kedapatan membawa senjata api. Milik ayahnya. Ayah Dilan
adalah seorang tentara. Kejadian ini tentu membuat malu keluarga. Terutama
ayahnya. Ayah begitu marah. Dan ketika bertemu di ruang polisi, tak pelak ayah menampar
Dilan. Dan menyuruhnya bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya. Bahkan
ayah sendiri yang meminta polisi untuk menahan Dilan. Berbeda sekali dengan
perangai aparat kita. Justru memminta pembebasan untuk keluarganya, padahal
jelas-jelas bersalah.
Cinta
Dilan kepada Milea bukan hanya karena fisiknya yang cantik. Bukan karena
masalah penampilan. Tetapi juga refleksi dari kepribadiannya yang menyenangkan.
Dengan sikap bahagianya, dia bisa menerima orang yang hidupnya tidak serius dan
juga sekaligus tidak merasa aneh oleh hal itu.
Milea orangnya enak diajak mengobrol.
Sehingga membuat Dilan tidak ada yang diinginkan lagi, saat bersama Milea,
selain hanya ingin oksigen dan tetap bernapas agar bisa bersamanya setiap saat.
Juga, ingin bensi gratis dari Pertamina, untuk bisa mengajak Lia jalan-jalan
keliling kota Bandung. Dilan jadian dengan Milea tanggal 22 Desember 1990.
Dilan bahagia dengan Milea, cewek cantik yang bisa nerima Dilan yang bukan
Superman, tapi Cuma seorang siswa kelas 2 SMA yang tinggal di Bandung.
Sebagai anak geng motor, Dilan dan teman-temannya cukup mencintai
negerinya. Dan bukanlah pembuat onar atau perusak. Kami, yang sering dinilai
sebagai anak-anak nakal ini, berdiri memandang kota Bandung di atas bukit dekat
sebuah warung kecil di pinggir jalan dan berkata, “Itu Bandung kami, tempat
lahir kami. Jangan diacak-acak”
Dilan adalah pribadi yang menjadi
dirinya sendiri. “Aku tidak tertarik untuk mengubah seseorang agar sama dengan
diriku. Dan jangan ada yang tertarik untuk mengubah diriku agar sama dengan
dirimu”
Milea pun demikian. Dalam penilaian Dilan, dia adalah
salah satu jenis manusia yang sudah merasa nyaman jadi dirinya sendiri sehingga
tidak perlu lahi mencoba untuk menjadi orang lain. Dia bukan gadis yang harus
nampak mewah agar dilihat keren oleh isi dunia. Dan tidak merasa harus memiliki
apa-apa yang tidak dia butuhkan agar bisa sama dengan orang lain. Bahkan, dia
tidak memakai anting.
Berbeda
dengan kebanyakan orang (dan anak muda) yang merasa harus mempunyai nilai lebih
atau harus bisa mengalahkan orang lain (dan lawannya) untuk bisa menarik
perhatian orang yang disukai atau untuk mendapatkan cinta orang yang
disukainya. Perlu menunjukkan bahwa seseorang punya sesuatu yang patut
dibanggakan. Entah itu harta, kepintaran, atau lainnya. Tapi Dilan berbeda.
Yah, mereka berbeda. Begitu pengakuan
Dilan. Ada banyak waktu untuk bisa sama dengan orang lain, yaitu pacaran dengan
pergi ke mal atau ke tempat-tempat wisata. Aku memilih tidak membawa Lia ke
sana, tapi, bukan karena masalah uang, melainkan karena aku lebih suka
membawanya ke warung kang Ewok untuk Lia bisa merasakan kebahagiaan dari sebuah
kesederhanaan, atau gimana, pokoknya gitu.
Di
sekolah, guru yang paling diingat oleh Dilan adalah Bu Rini. Beliau selalu
berpikiran positif terhadap siswa. Pada suatu saat Dilan berkelahi dengan
Anhar, Bu Rini membela Dilan saat di ruang guru. Bu Rini meyakini bahwa
pastilah Dilan mendapatkan penyebab sehingga berkobar amarahnya. Sangat
terkesan dengan Bu Rini. Guru yang kata Dilan, adalah guru terbaik di dunia sekolah.
Bahkan sudah dianggap ibu sendiri. Kelak, ketika Bu Rini meninggal, Dilan
dewasa (saat itu sudah magang kerja) melayat dengan penuh haru ke rumah Bu
Rini.
Kisah Romantis, Berakhir Tragis
Sepertinya
Dilan dan Milea berjodoh. Kisah keduanya begitu hebat. Meskipun sederhana,
tetapi hampir dipenuhi dengan kebahagiaan. Keduanya adalah pasangan yang
serasi. Dan membikin iri banyak orang. Keduanya orang yang memiliki nilai lebih
sesuai pribadi masing-masing. Milea cewek cantik, Dilan orang yang disegani dan
terpandang diantara sahabat-sahabatnya.
Di saat
keduanya semakin akrab dengan kisah bahagia dan romantis, keduanya akhirnya
putus. Sebabnya, karena salah paham. Putus, membuat keduanya berjarak.
Hari-hari terasa berat dirasakan keduanya. Namun kemudian waktu mengobatinya.
Perpisahan yang sangat menyesakkan dada.
Kemudian
mereka disibukkan dengan aktivitas baru. Usai SMA, Milea kuliah di jakarta. Dan
Dilan ke Akademi Seni Rupa Indonesia, Jogja. Bertahun-tahun kemudian, mereka
bertemu, di Jakarta. Di sebuah kantor tempat Dilan magang. Saat itu Dilan
sedang mengurus magangnya, sementara Milea mengunjungi salah seorang kepala
bagian di kantor itu, yang juga adalah pacarnya.
Pertemuan
yang membingungkan, bagi Dilan, juga Milea. Antara senang dan sedih. Dilan
menjadi ingat banyak kenangannya waktu dulu. Sempat membuat Dilan goyah. Namun
bunda mengatakan, “Biarlah sudah, Nak. Gak usah kau sesali. Yang penting
sekarang, urus Cika (pacar Dilan yang sekarang). Jangan sampai macam itu
terulang. Gak usah berakhir dengan saling menyalahkan diri sendiri. Apalagi
nyalahin orang lain..”
Kata
bunda, jadilah diri sendiri. Masa lalu adalah masa lalu. Tak usah dihindari
atau kau tolak. Masa lalu akan menjadi penasihat yang baik. Tidak ada gunanya
kau sesali.
Meskipun,
adakalanya Dilan masih merindui Milea. Namun tidak sampai melangkah lebih jauh
dari itu. Milea tetap dengan pacarnya, dan Dilan dengan pacarnya pula. Dilan
tidak ingin mengungkit, atau mengatakan menyesali apa yang sudah diperbuatnya.
Atau menyalahkan adanya kesalahpahaman antara keduanya.
Bukan
Dilan, namanya, kalau tidak menghadapi dengan cara yang berbeda. Pertemuan
kembali dengan Milea, tidak dimanfaatkan untuk kembali merajut kisah. Bahkan
ketika Dilan dan Milea kemudian sama-sama tahu bahwa ada kesalahpahaman yang
terjadi. Dilan baru tahu ketika putus dulu, Milea menganggap Dilan punya cewek
baru. Dan Milea baru tahu, Dilan berusaha menjauh karena mendengar Milea yang
sudah dekat dengan seseorang cowok. Begitulah. Buku ini mengaduk-aduk perasaan
pembaca. Terutama yang suka dengan genre ini.
Apalagi
yang berkesan dengan tokoh Dilan ini? Ayah Dilan adalah seorang tentara. Ketika
ayah wafat, setelah dirawat di rumah sakit di Karawang, jenazah ayah dibawa ke
Bandung. Dalam perjalanannya, Dilan meminta ke sopir ambulan TNI AD untuk tidak
menyalakan sirene, karena tidak ingin berisik. Dilan tidak mau mengganggu
pengguna jalan lain, yang mungkin saja terganggu. Ini berbeda dengan kebanyakan
masyarakat kita, yang begitu memanfaatkan fasilitas sirene ini.
Judul : Milea, Suara dari
Dilan
Tahun
terbit : 2015
Penulis : Pidi Baiq
Jumlah
halaman : 357 halaman
Peresensi : Supadilah
0 komentar:
Posting Komentar