George Orwell yang terkenal oleh buku karangannya:
1984 dan Animal Farm, pernah menjadi
polisi imperial Inggris di Burma, hidup miskin di Paris dan London, dan
bertempur dalam Perang Saudara Spanyol. Buku ini Terdiri dari 20 essai Orwell
dalam rentang waktu tersebut (1930-1946). Essai paling menarik menurut saya
adalah 2 essai pertama yang ditulis Orwell saat menjadi polisi di Burma,
mungkin karena bersetting di Asia sehingga saya merasa lebih related.
Essai pertama berjudul Hukuman Gantung, diterjemahkan dari A Hanging yang dimuat di majalah Adelphi pada Agustus 1931.
Dalam essai itu digambarkan bagaimana perasaan Orwell
yang saat itu berada dalam posisi seorang penjajah di Negeri Burma menyadari
betapa salahnya menghukum mati seseorang. Kesadaran ini muncul ketika ia
menyaksikan sang terpidana digiring menuju ke tiang gantungan, di tengah
perjalanan sang terpidana melangkah ke samping untuk menghindari sebuah
kubangan air dan saat itulah Orwell terhenyak oleh kenyataan yang terpampang di
hadapannya.
“Semua
anggota badannya masih berfungsi−usunya masih mampu mencerna makanan, kulitnya
masih bisa sembuh bila dilukai, kuku dan dagingnya masih bisa tumbuh
kembali−semua anggota badannya masih bekerja keras dalam kebodohan yang khidmat….
Otaknya masih mengingat, mengira-ngira, dan berpikir−bahkan berpikir tentang
genangan air yang menghalangi langkahnya.… Hilang satu jiwa, hilang pula satu
dunia.”
Essai ini menjadi menarik karena dilihat dari sisi
seorang penjajah sebagai eksekutor alih-alih oleh masyarakat terjajah yang
sudah barang tentu akan mengutuk hal tersebut. Bagaimana seseorang yang
memiliki kesadaran penuh akan tetap memahami kebenaran yang terungkap meskipun
saat itu ialah yang menyalahi kebenaran tersebut.
Essai kedua berjudul Menembak Seekor Gajah, diterjemahkan dari Shooting an Elephant pertama kali dimuat di New Writing pada Agustus 1936.
Sebagai seorang perwira polisi dari negeri penjajah,
tidak mengherankan bahwa Orwell dibenci oleh sangat banyak orang−di daerah
jajahannya. Ia menggambarkan bagaimana hanya pada saat itu lah ia mempunyai
posisi yang cukup penting untuk dibenci orang sebanyak itu. Ia juga menuliskan
bahwasanya secara teoritis−dan secara diam-diam, tentu saja−ia mendukung
sepenuhnya orang-orang Burma melawan penindas mereka, orang-orang Inggris.
Singkat kata, sesungguhnya Orwell sangat membenci pekerjaannya saat itu.
Suatu saat terdapat seekor Gajah yang terlepas dan
membuat kekacauan di tengah pasar. Gajah itu bukanlah gajah liar namun seekor
gajah jinak yang sedang birahi dan kebetulan berhasil melepaskan diri dari
rantainya. Gajah tersebut telah menghancurkan sebuah rumah bambu, membunuh
seekor sapi, meremukkan mobil, dan memakan barang dagangan di pasar. Namun
orang-orang Burma tidak memiliki persenjataan dan tidak berdaya menghadapi
amukan sang gajah. Saat Orwell tiba di pasar, Gajah tersebut sudah tidak tampak.
Untuk menghindari kekacauan lainnya, Orwell turun dari kudanya dan menyusuri
jejak sang gajah dengan membawa senapan bersama anak buahnya.
Sebenarnya, Orwell tidak berniat membunuh gajah
tersebut, ia membawa senapan hanya untuk mempertahankan diri kalau-kalau
diperlukan. Ia berjalan menuruni bukit, diikuti dengan kerumunan orang Burma
yang jumlahnya semakin lama semakin banyak karena tingginya antusiasme mereka
terhadap pengejaran tersebut. Mereka semua berjalan menuruni bukit sampai
akhirnya terlihatlah sang gajah di tengah hamparan sawah, mencabut rumput kemudian
menggosokkannya dengan lutut untuk membersihkannya, lalu memasukannya ke mulut.
Ia sama sekali tidak acuh pada gerombolan manusia yang mendekatinya.
Saat itulah Orwell sadar bahwa lebih baik ia tidak
menembaknya. Menembak seekor gajah sama seriusnya dengan menghancurkan mesin
yang sangat berguna dan mahal, lagipula tampak jelas bahwa sang gajah sudah
lewat masa birahinya sehingga tidak lebih berbahaya daripada seekor sapi. Ia
sudah memutuskan hanya akan mengamatinya beberapa waktu untuk memastikan bahwa
ia benar-benar sudah tidak berbahaya. Tugas berikutnya adalah bagi pawang gajah
yang saat itu sedang pulang ke kampung halamannya untuk menggiring gajah tersebut
kembali ke kandangnya.
Namun ketika ia berbalik, betapa kagetnya ia mendapati
kerumunan manusia di belakangnya yang berjumlah paling sedikit dua ribu orang
dengan wajah sangat antusias menanti-nanti dengan yakin bahwa ia akan menembak
gajah tersebut. Mereka tidak menyukai Orwell, tapi dengan senapan di tangannya,
Ia menjadi tontonan menarik bagi mereka.
“Dan
saat itu juga saya menyadari bahwa saya memang harus menembak si gajah; saya
bahkan bisa merasakan kehendak dua ribu kepala yang mendorong saya maju tanpa
bisa ditentang. Dan pada saat itulah, ketika saya berdiri di sana dengan
senapan di tangan, saya memahami betapa tidak berarti dan sia-sianya penjajahan
yang orang kulit putih lakukan di Asia. Dan di sini saya, seorang kulit putih
bersenapan, berdiri di depan kerumunan orang Burma yang tak bersenjata,
bagaikan bintang utama sebuah drama; tapi kenyataannya, saya hanyalah sebuah
boneka konyol yang didorong ke sana kemari oleh kehendak wajah-wajah kuning di
belakang saya. Pada saat itulah saya mengerti bahwa ketika orang kulit putih
menjadi seorang tiran, sebenarnya kemerdekaannya sendirilah yang ia binasakan.
Ia menjadi semacam boneka murahan tak berisi, sosok yang diluhurkan. Karena
sudah menjadi syarat dalam kekuasaannya bahwa ia harus membuat para “pribumi”
terkesan sepanjang hidupnya, sehingga di setiap masa genting ia harus melakukan
apa yang para “pribumi” harapkan darinya…. Dan keseluruhan hidup saya,
keseluruhan hidup setiap manusia berkulit putih di Asia, adalah sebuah
perjuangan yang panjang dan sengit untuk tidak
ditertawai.”
Adalah sebuah paradox, ketika kita mencoba bersikap
superior terhadap orang lain, maka kita terbelenggu oleh reaksi yang kita
harapkan dari orang tersebut sehingga kita membatasi tingkah laku kita bukan
menurut apa yang kita yakini melainkan apa yang orang tersebut harapkan.
Membaca karya terjemahan bisa menjadi sangat
melelahkan bila penerjemah tidak apik dalam merangkai kata. Karena
menerjemahkan sebuah tulisan bukan hanya pekerjaan harfiah namun juga pekerjaan
menyusun kata-kata (terjemahan) kembali menjadi sebuah karya tanpa mengurangi soul nya. Kebetulan ketika saya main ke
Post Santa (Toko buku indie di Pasar Santa yang selama ini hanya saya
tongkrongin feed instagramnya karena saya tidak tinggal di Jakarta), sang
empunya toko menjelaskan kalau Penerbit Oak dari Yogyakarta ini termasuk lihai
dalam menerjemahkan karya dari luar sana. And
I can feel that from the very first sentence in the very first article:
“Burma, di suatu pagi yang basah kuyup akan hujan.”
see?
Bagaimana si Miskin Mati
Penulis: George Orwell
Penerjemah: Widya Mahardika Putra
Penerbit: Penerbit OAK, Bantul, DIY
Cetakan Pertama, Maret 2016
Jumlah Halaman: 216 halaman
Peresume: Fira
0 komentar:
Posting Komentar