Judul Buku : Samita, Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho
Penulis : Tasaro
Penerbit : Dar Mizan
Page : 648
Novel sejarah ini bergenre
romantic-thriller, berlatar awal kehancuran Majapahit. Adalah Laksamana (Jendral
Angkatan Laut) Cheng Ho, seorang kasim Muslim kepercayaan Kaisar ketiga Dinasi
Ming dipercaya untuk memimpin armada laut dalam rangka menjalin persahabatan
dan perdamaian dengan negara-negara tetangga. Cheng Ho memimpin banyak
eskpedisi, salah satunya adalah ke Samudra Barat (Indonesia) dengan misi
membawa perdamaian dengan kerajaan Majapahit. Kala itu Majapahit sangat mahsyur
bahkan sampai ke luar negeri.
Dalam ekspedisi kali ini Cheng Ho
membawa 28 ribu ping se (tentara) dan
tiga murid terbaiknya yaitu Hui Sing yang merupakan anak angkatnya, Sien Feng,
dan Juen Sui. Diantara ketiga muridnya ini hanya Hui Sing, tokoh utama novel
ini, yang sudah beragama I-se-lan (Islam).
Para ping se memiliki beragam
kepercayaan dan agama, namun demikian mereka hidup rukun dibawah kepemimpinan Laksamana
Cheng Ho.
Saat Cheng Ho berlabuh di
Simongan terjadi dua peristiwa mengejutkan. Pertama, serbuan pasukan Majapahit
yang menuduh Cheng Ho dan lurah Simongan bersekutu melawan Majapahit sehingga
menimbulkan perang yang menewaskan ratusan ping
se. Kedua, hilangnya Kitab Kutub Beku milik Cheng Ho yang diduga dicuri
oleh salah satu murid terbaiknya (Sien Feng, Juen Sui, atau Hui Sing). Serangan
prajurit Majapahit tentu saja sangat melukai Cheng Ho dan rakyat Simongan yang
kehilangan Ki Lurah akibat terbunuh. Para ping
se menyarankan untuk membalas, namun Cheng Ho memilih berdamai dan meminta
raja bertanggungjawab dalam bentuk lain.
Saat Cheng Ho berada di
Majapahit, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap salah satu Rakrian Menteri
Majapahit. Si pembunuh menggunakan jurus Kutub Beku, yang itu berarti
pembunuhan dilakukan oleh salah satu murid Cheng Ho. Namun apa motifnya? Dan
siapa orang itu? Disinilah petualangan Hui Sing dimulai.
Di Majapahit Hui Sing bertemu
dengan pimpinan pasukan Bhayangkara yang bernama Sad Respati. Benih-benih
ketertarikan muncul diantara keduanya, namun saat itu Respati telah memiliki
calon istri, Anindita namanya, anak Mahapatih kepercayaan Raja. Saat pasukan
Cheng Ho hendak bertolak kembali ke Tiongkok, Cheng Ho rupanya diracun oleh si
pencuri Kitab dan itulah awal mula terbongkarnya identitas pencuri Kitab dan
persekongkolan pembunuhan di Majapahit. Hui Sing sangat sedih mengetahui siapa
yang berkhianat. Di sisi lain hatinya tertinggal di Majapahit. Hal itu
membulatkan tekad untuk kembali ke Majapahit, mengingatkan Respati akan bahaya
yang mengancam dan memberitahu otak pembunuhan Rakrian.
Perjalanan Hui Sing tidaklah
mulus. Dalam suatu pertarungan melawan dua orang penjahat tersohor, Hui Sing
jatuh ke jurang. Ia terdampar selama 2 tahun di dalam jurang sebelum akhirnya
kembali melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Hui Sing sebenarnya sangat lihai Thifan Pokhan (bela diri pecahan Tee Kumfu dan Kungfu berazaskan Islam) khusus perempuan. (saya baru tahu juga
ternyata ada kungfu berazaskan Islam :D, yang konon gerakannya halus, membuat
perempuan tetap cantik, dan mampu mempertahankan kondisi tubuh tetap lembut
dalam setiap jurusnya). Lewat masa dua tahun itu Hui Sing mengganti namanya
menjadi Samita (artinya Bintang). Nama itu adalah pemberian Respati saat mereka
bertemu kali pertama di Majapahit.
Bagaimana dengan Respati? Ia
menikah dengan Anindita selama dua tahun. Karena kecewa terhadap makar Anindita
dan terhadap pemerintahan Majapahit ia pergi berkelana, melepas jabatan dan kekuasannya.
Ia berguru selama dua tahun kepada seorang ulama Islam dari Gujarat. Namun
sayang hidayah Islam tak kunjung menyentuh hati Respati. Sang ulama hampir
menikahkan Respati dengan putrinya. Hingga muncul seorang kakek sableng (yang
ternyata guru Hui Sing) yang memberitahu bahwa selama ini sebenarnya diam-diam
Hui Sing selalu mengikuti Respati kemanapun pergi. Namun Hui Sing memutuskan
untuk kembali ke Tiongkok saat mendengar desas desus bahwa Respati akan menikah
dengan putri ulama Gujarat itu.
Respati menyusul Hui Sing ke
pelabuhan Surabaya. Disana ia menemui laksamana Cheng Ho yang baru saja
berlabuh untuk meminang Hui Sing. Cheng Ho mengingatkan bahwa Hui Sing seorang
muslimah dan ia hanya akan menikah dengan seorang muslim. Hui Sing sangat gembira
dengan lamaran Respati. Hui Sing meminta keislaman Respati sebagai mas
kawinnya. Mereka hidup bahagia dan tinggal di Nusantara. Mereka mendirikan
padepokan yang menyediakan fasilitas belajar Ilmu agama, umum, dan pencak
silat. Mereka menyebarkan Islam dari padepokan itu, namun mereka tak memaksa
murid-muridnya untuk berpindah agama. Hal itu yang menyebabkan padepokannya
sangat maju pesat dan dalam kurun waktu singkat telah memiliki ratusan murid.
Kondisi Majapahit saat itu sudah
tercerai berai. Sejak kematian raja Hayam Wuruk dan Gajah Mada, terjadi
perebutan kekuasaan antara Breh Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari selirnya) dan
Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk sebenarnya sudah memberikan
kekuasaan kepada keduanya dimana Wikramawardhana menjadi raja di Majapahit,
sedangkan Wirabhumi menjadi raja di Blambangan. Namun orang-orang sekeliling
Wirabhumi yang haus kekuasaan tidak menerima keadaan itu dan menghasut raja
hingga terjadi perang saudara. Akibatnya rakyat tidak terurus, penyelewengan
kekuasaan dan pemberontakan terjadi dimana-mana. Satu per satu kerajaan bawahan
Majapahit mulai memberontak dan melepaskan diri. Pada titik itu semua gerakan
komunitas rakyat dicurigai sebagai upaya menghimpun kekuatan pemberontakan
terhadap Raja.
Termasuk yang dicurigai adalah
padepokan Hui Sing dan Respati. Malam itu padepokan mereka diserang oleh
pasukan Bhayangkara Majapahit. Padahal Respati pernah menjadi pemimpinnya.
Bagaimana nasib Respati dan Hui Sing selanjutnya? Simak sendiri yah di novelnya
yang jelas ini bikin saya nangis bombay. Sweet, sad, and heroic. Yang jelas
anaknya Hui Sing hilang saat ia membantu suaminya melawan pasukan Bhayangkara.
Siapa coba yang nyulik? Ah ini bikin penasaran gimana endingnya anak itu karena
gak diceritakan dalam novelnya. Mungkinkah ada seri lanjutannya?
Finally, banyak hikmah sejarah dari
novel ini. Pertama, Islam disebarkan luaskan dengan cara damai, Islam sangat
menghormati kepercayaan agama lain, dan Islam tidak memaksa umat lain untuk
berpindah agama. Ini terlihat dari bagaimana sikap Cheng Ho terhadap para ping se, sikap ulama Gujarat terhadap
para muridnya, serta sikap Hui Sing dan Respati terhadap para murid di
padepokannya. Pun bagaimana prinsip Cheng Ho, bahwa dalam memerangi orang
jahat, perang senjata adalah jalan terakhir ketika tak ada jalan lain yang bisa
ditempuh. Tergambar ketika Cheng Ho menghadapi pemberontakan Zhuyi. Islam
menyebar melalui pada pedagang Arab, Gujarat, bahkan Tingkok. Jadi kalau selama
ini ada muslim yang anti Cina, rasanya kudu kembali membaca sejarah ya.
Kedua, sebaik-baik pemimpin
adalah pemimpin yang adil. Ini sangat terlihat dari gaya kepemimpinan Cheng Ho.
Ia mengayomi, mengarahkan, dan tak membeda-bedakan bawahannya. Pun saat salah
seorang prajuritnya sakit cacar, ia merawatnya sendiri dengan telaten. Padahal pekerjaan
itu bisa saja dilakukan oleh orang lain. Dimanapun Cheng Ho singgah, ia dan para
ping se selalu belajar hal baru dari
penduduk setempat dan merekapun berbagi ilmu baru kepada penduduk setempat,
tentang Islam, tentang bertani, bahkan tak segan membantu para penduduk membuka
ladang baru.
Ketiga, bahwa ambisi kekuasaan
akan menghancurkan tatanan suatu negara. Terlihat dari latar mula perang
saudara Majapahit yang kelak berujung pada kehancuran kerajaan tersebut. Bahkan
bibit ambisi kekuasaan itu sebenarnya sudah digaungkan oleh Gajah Mada dengan
dalih menyatukan Nusantara. Tragedi di lapangan Bubat menjadi saksi bisu
sekaligus awal mula kekecewaan rakyat terhadap kerajaan Majapahit, utamanya
Gajah Mada. Tiada gading yang tak retak. Dibalik kebesaran namanya, Majapahit
menyimpan sejarah kelam dibawah kekuasaan Mahapatih Gajah Mada.
Terakhir, semoga kita sebagai
muslim dapat mengambil hikmah dari kisah masa lalu. Islam datang dengan jalan
damai dan sampai kapanpun akan tetap demikian. Tasaro mengajak kita untuk mawas
diri. Sejatinya setiap agama pada mulanya diturunkan dengan nilai-nilai yang
sama sebagaimana dijelaskan dalam Al Kitab (orisinil)
masing-masing. Namun pengikutnyalah yang kemudian menyelewengkan nilai-nilai
tersebut bahkan ada yang mengubah isi Al Kitab sesuai keinginannya. Maka nasihat
Cheng Ho yang sangat bijak adalah agar umat Islam senantiasa berpegang teguh
pada Kulan Cing (Al-Qur’an) karena itu
merupakan landasan hukum tertinggi umat Islam yang terjaga keasliannya sampai
hari Kiamat kelak, insyaAllah.
Yogyakarta, Mei 2016
-THW-
0 komentar:
Posting Komentar