Berawal dari teman sebangku saat SMP yang tiba-tiba
ngechat, “Udah baca novel Dilan belum?” waktu itu
novelnya lagi hits banget kayaknya, sampai kalo gak salah udah beberapa yg
upload resume nya disini, eh. Sampai akhirnya teman saya kirimin ebook-nya
tanpa diminta langsung 3 sekaligus. Hmmm. Niat banget sih dia, tapi kapan-kapan
saya pasti baca sih. Beberapa bulan kemudian, akhirnya saya iseng baca buku yg
pertama. Dan benar aja, saya baca sampai gak pindah dari tempat duduk kecuali
buat pipis, karena saya bacanya udah malem abis isya kayaknya. Setelah malam
itu saya bertekad buat baca 2 buku lanjutannya besoknya, yaitu hari sabtu dan
minggu.
Buku yg ingin saya resume ini buku yang ketiga, buku yang
paling bikin saya penasaran karena diambil dari sudut pandang laki-laki, yaitu
Dilan itu sendiri. Untuk yang belum baca bukunya, cerita ini dimulai pada tahun
1990 dimana Dilan, anak kelas 2 Fisika di sebuah SMA sekaligus panglima tempur
sebuah geng motor di Bandung yang jatuh cinta pada si cantik Milea, anak kelas
2 Biologi yang merupakan pindahan dari Jakarta. Di buku Dilan #1 (Dia adalah Dilanku Tahun 1990)
diceritakan bagaimana pendekatan Dilan ke Milea hingga akhirnya berpacaran
dengan segala drama yang menurut saya gak dibuat buat, saya pikir penulis
bener-bener bisa membuat kisah sederhana dua remaja SMA ini seperti asli begitu
adanya. Sedangkan buku Dilan #2 (Dia adalah Dilanku
Tahun 1991) merupakan cerita lanjutan saat mereka pacaran hingga
sangat disayangkan berpisah dan menjalani hidupnya masing-masing. Kedua buku
tersebut mengambil sudut pandang aku, dari Milea, yang mulai menuliskannya 20
tahun kemudian.
Awalnya kukira, apakah Pidi Baiq itu Milea? Soalnya di
buku ini dijelaskan kalo Milea yang lagi nulis, hehe. Tapi kok di sampul buku
nama penulisnya Pidi Baiq. Setauku Pidi Baiq kan laki-laki. Oiya, kalau kalian
pernah ke Bandung, dibawah jembatan Asia Afrika ada quote Pidi Baiq yang
ditulis disana. Saya sempet berharap nemu quote itu di buku ini tapi ga ketemu.
Hehe. Lanjut ke buku Milea, buku ini menjawab rasa penasaran pembaca tentang
bagaimana perasaan Dilan sebenarnya terhadap Milea dan kisah cinta mereka. Penulis
benar-benar apik dalam merangkai kalimat-kalimat yang bisa menggambarkan
suasana Bandung kala itu, Bandung yang jalanannya masih sepi, pohon-pohon
rindang nan asri disepanjangan jalan, dan Dago tanpa ada kemacetan sedikitpun!
Di novel ini Dilan tidak menceritakan secara utuh
bagaimana kisahnya dengan Milea, karena di buku sebelumnya Milea sudah
menjelaskan detail kisah mereka. Namun, secara khusus Dilan menjelaskan siapa
dirinya dan latar belakang keluarganya, juga mengungkapkan apa-apa saja yang
menurut Dilan perlu diketahui pembaca, tentang apa-apa saja yang saat itu ada
dipikiran seorang remaja SMA yang bisa dikatakan belum dapat berfikir matang
dan bijaksana tentang apa yang terjadi di kehidupannya. Menurut saya, buku ini
ringan karena tidak perlu mikir buat mengerti seperti apa menjadi Dilan. Oiya,
Dilan jago nulis puisi, jadi bertebaran puisi-puisi yang ditulis Dilan tentang
apapun, terkhusus tentang Melia sih. Dalam beberapa pandangan saya setuju
dengan Dilan bahwa tentu saja ia tidak suka dikekang, itu hidupnya sendiri, dan
cara Milea untuk membuat Dilan berubah menjadi anak baik yang taat peraturan
dan keluar dari geng motor supaya memikirkan masa depannya (karena
sebenarnya Dilan ini pintar) mungkin tidak harus dengan mengancam ‘putus’ (red.
mutusin Dilan). Tapi namanya juga masih sama-sama belum dewasa, jadi ya gitu
deh.
Di
buku ini, Dilan menjelaskan bahwa belakangan ia akhirnya tidak aktif lagi di
geng motor karena mulai sibuk dengan perkuliahannya dan grup band nya, sedikit
banyak itu bisa membuatnya melupakan rasa rindunya pada Milea. Sebenarnya masih
ada peluang bagi mereka untuk kembali berhubungan saat itu, tepatnya sebelum
Milea pindah ke Jakarta, namun karena Milea yakin Dilan sudah punya pacar,
begitupun Dilan yakin Melia sudah bersama pacar barunya, padahal dua-duanya
masih sendiri dan saling rindu maka akhirnya tidak ada kesempatan lagi bagi mereka
untuk bersama. Setidaknya saat itu. Hingga akhirnya ketika mereka bertemu lagi
di Jakarta, bukan pertemuan disengaja, akhirnya mereka mengetahui bahwa
masing-masing sudah memiliki pendamping.
Jika
di buku Dilan #2 (Dia
adalah Dilanku Tahun 1991), Melia pernah menulis seperti ini;
“Dilan,
kalau dulu aku berkata bahwa aku mencintai dirimu maka kukira itu adalah sebuah
pernyataan yang sudah cukup lengkap dan berlaku tidak hanya sampai di hari itu,
melainkan juga di hari ini dan untuk selama-lamanya. Karena sekarang aku
mungkin bukan aku yang dulu, waktu membawaku pergi, tetapi perasaan tetap sama,
bersifat menjalar, hingga ke depan! “
Maka
di buku Milea (Suara dari Dilan), Dilan menutup
tulisannya dengan;
“Rasa
sedih jika ada, itu harus berbatasuntuk member peluang munculnya harapan pada
hari-hari berikutnya, mengejar impian dan meraih kebahagiaan bersama seseorang
yang dapat menghabiskan sisa hidup kita dengannya. Dan sekarang, yang tetap di
dalam diriku adalah kenangan, disanalah kamu selalu. Terima kasih, Lia. Terima
kasih dulu kau pernah mau.“
Kalau
saya mau terima kasih nya ke Pidi Baiq yang sudah menuliskan kisah mereka
dengan sangat apik, juga terima kasih ke teman saya hehe, saya jadi ingat
jaman-jaman SMP suka banget baca novel genre begini. Dan itu udah lebih dari 10
tahun yang lalu ya. Jadi berasa nostalgia juga. Oiya, sebelum bikin resume ini
saya iseng googling nama ‘Milea Adnan Hussain’ dan ternyata orangnya beneran
ada. Cantik! Dia teman dekat Pidi Baiq, dan ini adalah kisahnya. Lalu seperti
apa Dilan?
Judul Buku : MILEA (Suara Dari
Dilan)
Nama
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit
: Pastel Books
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : 360 halaman
Bandar Lampung, 14 Agustus 2017
Mustika Rizky Amalia
0 komentar:
Posting Komentar