Segala kedaraannya
tersaji hijau muda
Melayang di lembaran
surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat
sauh
(Surat Kertas Hijau. Sitor Situmorang, 1953)
Novel yang terinspirasi
dari puisi... Baiklah. Kali pertama lihat buku ini serius penasaran banget.
Kenapa covernya ikan? Ikan mas koki yang sedang duduk sangat kontras dengan
judulnya yang puitis; “Semusim dan, semusim lagi.” terus pas dibalik, niat saya
ingin baca blurb-nya tapi cuma ada puisi-nya Sitor Situmorang yang berjudul,
“Surat Kertas Hijau.” yang ternyata, “Semusim, dan Semusim Lagi” adalah kutipan
dari bait ketiga puisi Sitor Situmorang tersebut. Dan ternyata, ini keren. Dari
sebait puisi jadi novel. Kreatif. Dan, benar-benar tidak ada satupun bocoran
dari isi novel ini. Jadi, saya beli saja.
Maka, ketika saya
membaca buku ini semua pertanyaan saya terjawab. Kenapa Ikan. Kenapa Semusim,
dan semusim lagi. Kenapa hijau. Kenapa unik begini. Karena tokohnya pun unik
sekali.
Jadi, penulis memulai
kisahnya saat “Aku” menerima dua surat. Surat pertama dari universitas tempat
ia ingin melanjutkan pendidikan, dan surat kedua tanpa nama dan alamat
pengirim, dan tidak ditulis tangan tapi diketik rapi. Ketika “Aku” membuka
surat itu, ternyata isinya surat dari seseorang yang mengaku ayah si Aku yang
mengajaknya bertemu di kota S. Si Ayah meminta Aku untuk memghubungi temannya
yang bernama depan J.J sebagai satu-satunya perantara. Bagi saya, surat itu
kayak surat bos ke bawahan daripada surat seorang ayah yang sudah lama tidak
bertemu dengan anaknya. Kaku, dingin dan formal.
Di mulai dengan kata;
Anak, sudah tujuh belas tahun umurmu sekarang dan aku tidak berani berharap kau
masih ingat padaku. dst
Diakhiri dengan kalimat, Kunjungi aku di kota
S. Dengan Cinta, Ayah.
Lalu saya mengernyit
soal inisial S. Benar-benar ditulis S saja. Bukan Surabaya, Subang, Semarang,
Singapura dan lain-lain.
Saya merasa novel ini
agak ‘menakutkan’ dengan gaya penceritaannya yang intens, serius, eksploratif
dan mencekam. Dengan memakai sudut pandang pertama, Penulis pinter banget
menggambarkan bagaimana si Aku dengan cara si Aku itu sendiri. Saya sudah
kesengsem sejak BAB pertama. Bagi saya tokoh-tokoh di buku ini freak semua. Tokoh
“Aku” yang cerewet, banyak omong,
melantur kemana-mana kalau monolog, selalu suka makan biskuit Ritz, dan
suka dengan suara decit kursi karena katanya itu seperti suara tikus mencicit
saat digorok (aneh kan dia), lalu tentang Ibunya yang berprofesi sebagai dokter
bedah otak yang selalu sibuk. Ibunya aneh juga. Dia menonton TV tapi suaranya
di mute (nonton tanpa ada suara apa bagusnya coba?) terus Ibunya tanpa sebab
apa-apa berteriak histeris lalu berhenti sendiri dan pergi masuk kamar.
Ditambah lagi ayahnya si “Aku” yang selama ini hilang, secara misterius ngirim
surat dan ngajak ketemuan si “Aku” di kota S tapi pakai perantara temannya.
Aneh mereka semua.
Penulisnya juga sengaja
menampilkan novel ini seperti pantomim dan misterius. Jadi setiap ada sesi yang
seharusnya penulis mencantumkan nama tokoh si “Aku”, misalnya :
“Dona!” pekik Ibuku
sambil menyebut namaku.
Mestinya kan gitu. Tapi
si penulis (mbak Dwi) malah memilih untuk nulis novel ini kayak gini;
“......! (namaku)”
Ibuku memekik, sambil menyebut namaku.
Saya geleng-geleng
kepala. Maka, sejak awal hingga ending cerita, saya nggak pernah tahu siapa
nama “Aku”. Entah apa maksud penulis melakukan itu. Apakah Aku itu bisa saja
mewakili kita semua para pembaca, bahwa setiap kita bisa seperti itu. Apa
memang tokoh itu memang ada namanya hanya saja penulis memilih mensensor
namanya. yang jelas, buku ini out of the box. Bagus. Wajar juara 1 lomba DKJ
2012.
Selain itu, lewat buku
ini. Saya jadi banyak tahu segala judul buku yang mesti dibaca lantaran si Aku
sangat suka membaca buku. Saya bahkan baru tahu kalau ternyata Indonesia pernah
merepresi pria gondrong gara-gara si Aku yang ngoceh sana-sini.
Membaca buku ini
benar-benar saya dapat banyak list buku dari si Aku. Antara lain ; The
Stranger, The Bell Jar, The Sun Also Rises, Kafka on the Shore, The Art of
Loving, Fateless, Olenka. War and Peace, Of Mice and Men. Nine Stories, Seribu
Kunang-Kunang di Manhattan, A House for Mr. Biswas, Go Down, Moses. Rumah Kaca,
Breakfast at Tiffany’s. The Solitaire Mystery. Snow Country. Tortila Flat. Yang
Terempas dan Yang Putus. Invicible Cities, Einstein’s Dreams. (Nah, kamu
sendiri, dari buku-buku ini sudah baca yang mana? haha)
Meskipun ada beberapa reviewer yang bilang
kalau penulis buku ini terkesan pamer karena banyaknya list buku yang dia
masukkan di novel ini, dan banyaknya ocehan-ocehan yang dia ungkapkan, toh saya
biasa saja. Soalnya, buat saya buku yang bagus selalu ngasih informasi baru
untuk pembaca. Saya jadi dapet informasi lagi. dan... meskipun bagus, selalu
ada minusnya. Kadang saking suka melanturnya sifat si “Aku” aku kadang bosan
sama omongan dia. Terkesan alurnya jadi
lambat banget. Soalnya lima halaman bisa habis untuk ocehan dia saja. Ocehan
itu bisa tentang masa kecil dia, pengalaman dia, dan apapun. Dan, saya tidak
rekomendasi novel ini dibaca sama anak kecil atau remaja meskipun tokohnya
remaja. Ya karena novel ini termasuk roman, ada cinta-cintanya dan
bumbu-bumbunya yang pasti akan membuat saya sembunyikan buku ini kalau
keponakan saya datang.
Tapi untuk keseluruhan
cerita, buku ini menggambarkan remaja “anak rumahan” yang belum tau apa-apa
sekali dan keterkejutan jiwanya ketika harus berada di dunia luar. Sebuah
representatif yang bagus untuk anak yang kesepian, nggak punya sosok orangtua
yang memedulikannya. Di ending cerita, saya sangat apresiasi sekali. Saya
sampai nangis karena akhirnya penulis memberi ending yang, katakanlah, bijaksana.
Buku ini bagus. Mencuri
perhatian sejak di awal, walau agak ngeselin di tengah-tengah, tapi berakhir
dengan ‘adil’. Adil karena ada banyak sekali yang “Aku” alami mulai dari pergi
sendirian ke kota asing, jatuh cinta, patah hati, dan melakukan hal-hal di luar
batas kewajaran dalam perjalanan bertemu ayahnya. Jadi, apakah “Aku” bisa
bertemu dengan ayahnya? Atau ayahnya adalah sosok rekayasa? Atau ayahnya itu
tidak ada sama sekali? Silakan membaca sendiri ya.
Judul Buku : Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis : Andina Dwifatma
Tebal Halaman: 232
Halaman
Penerbit : GPU
Peresume : Ika
1 komentar:
Wah.. bikin penasaran euy
Posting Komentar