Pada sebuah garis
waktu yang
merangkak maju, akan
ada saatnya
kau ingin melompat
mundur pada
titik-titik kenangan
tertentu. Namun
tiada guna, garis waktu
takkan
memperlambat gerakannya
barang
sedetik pun. Ia hanya
mampu maju
dan terus maju. Dan mau
tidak mau,
kita harus ikut
terseret dalam alurnya
Garis waktu adalah
rangkuman dari tulisan-tulisan penulis yang di tuangkan secara sporadis di
berbagai media sosial. Secara kontras pembaca akan cepat memahami bahwa buku
ini merepsentasikan peristiwa-peristiwa penting tentang “aku” dan “kamu”
terlepas kisah ini fakta atau fiktif semata. Menjadi menarik karena kekata yang
dituangkan penuh dengan kesusastraan.
Sesuai judulnya buku
ini tersusun runut secara kronologis berdasarkan bulan dan tahun, mengisahkan
segala cerita tentang “aku dan “kamu” mulai dari masa perkenalan, kasmaran,
patah hati, hingga pengikhlasan. Dan bagi saya, ini salah satu daya tarik buku
ini selain karena kata-kata nya yang puitis.
“Jatuh hati tidak
pernah bisa memilih.
Tuhan yang memilihkan.
Kita hanyalah korban.
Kecewa adalah
konsekuensi.
Bahagia adalah bonus.” (Mei, Tahun Kedua)
“Aku” sebentuk sosok
yang terlanjur mengagumi “Kamu”. Agaknya seperti itulah gambaran awal yang saya
tangkap dari buku ini. mengisahkan sosok “Aku” yang meski diabaikan
berkali-kali tetap berdiri teguh berharap ada secercah harapan yang mungkin
nanti akan terkuak. Benar saja, meski sakit dan kecewa berkali-kali,
perjuangannya pun bermuara sesuai harapan. “Aku” sempat sebahagia itu. Semangat
pagi telah berbeda dari biasanya. Lelah setelah beraktivitas menguap begitu
saja. Hanya dengan seulas pesan di ponsel “Apa Kabar?” Sekarang senyum “Aku”
tak lagi berpura-pura
“Aku” kemudian harus
mereguk pahitnya kehidupan di September Tahun Ketiga. “Kamu” memilih berpaling
ke lain hati. Mendua dibelakang namun tetap bermanis di depan. Sandiwara yang
terlalu jahat untuk “Aku”. Apa ini balasan atas pengorbanan dan kesetiaannya
selama ini?. “Aku” mundur dari sandiwara itu. Memilih pergi lalu bungkam seribu
bahasa. Di Oktober Tahun Ketiga “Aku” mencium bau penyesalan disana. Entah
karena telah mengkhianati “Aku” atau dikhianati olehnya. “Aku” berhasil
mengabaikannya meski di sudut terkecil di hati, nama “Kamu” masih bersemayaman
disana.
Tidak ada yang abadi,
baik
bahagia maupun luka.
Suatu saat
kita akan tiba di titik
menertawakan
rasa yang dulu sakit
atau
menangisi rasa yang
dulu indah
Judul buku : Garis
Waktu
Penulis : Fiersa Besari
Penerbit : Media Kita
Cetakan : V 2016
Jumlah hal :210
Peresume : Paramudika H
0 komentar:
Posting Komentar