Persaingan Demi Senjata
Paling Mematikan Di Dunia
Kita sudah belajar apa
itu Perang Dunia II di pelajaran sejarah di sekolah. Meski harus diakui
pelajaran Sejarah kita, memang terjebak dalam angka dan menghafal semata.
Sebagai pengingat, dalam perang itu, Amerika Serikat-Inggris Raya-Uni Soviet
(sekarang Rusia) memimpin pasukan sekutu melawan Pasukan Fasis;
Jerman-Jepang-Italia. Dan sambil mengenang perjuangan Indonesia saat itu, saya
benar-benar bersemangat membaca buku ini.
Buku bergenre Non-Fiksi
Populer ini betulan lezat sebab diceritakan seperti Novel thriller. Cara yang
hebat untuk orang-orang yang menganggap sejarah itu membosankan. Saya bahkan
bisa lebih paham kondisi perang dunia dan segala macamnya, dari buku ini.
Soalnya, membaca buku ini rasanya tuh persis saat kamu lagi nonton film
dokumenter, atau bahkan yang lebih santai—buku ini persis saat kita lagi duduk,
buka channel TV, terus nonton tayangan behind the scene dari sebuah film yang
lagi mau tayang di Bioskop. Ada banyak tokoh yang terlibat, berkomentar,
berkisah, bahkan bersaksi yang tentu saja tetap memerhatikan alur/plot. Kita
akan menemukan dialog dalam buku ini yang tidak akan kita temukan di buku Non-Fiksi
biasanya.
Contohnya :
Gold menikmati
percakapan-percakapan seperti ini dan bahkan merasa nyaman untuk mengemukakan
kekhawatirannya tentang Uni Soviet, termasuk perjanjian Stalin dan Hitler.
“Apa-apaan itu?” tanya
Gold
“Dengar bodoh,” kata
Sam sambil tertawa, “yang Uni Soviet butuhkan lebih dari apapun di dunia saat
ini adalah waktu, waktu yang sangat berharga.” Stalin sama sekali tidak
memiliki keinginan untuk menepatinya, kata Sam, tapi perjanjian itu memberikan
Soviet waktu untuk membangun kekuatan militer. “Dan jika saatnya tiba, kamu
lihat saja, kami akan menyapu bersih Jerman dan Hitler seperti yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya.” (hal. 44 )
Buku ini dibuka dengan
dunia yang tercengang akibat hasil eksperimen baru yang dilakukan Otto Hahn,
seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman; sebuah neutron dapat membelah atom
Uranium menjadi dua. Yang akhirnya diberi nama Fisi Uranium.
Pada tahun 1938, atom
bisa pecah itu sangat mustahil, pengetahuan saat itu hanya sebatas bahwa semua
yang ada di semesta ini tersusun dari partikel-partikel kecil bernama atom, dan
dari atom itu ada partikel yang lebih kecil lagi; nukleus, proton-neutron,
elektron, dan inti pusat. Sebatas itu. Dan jika atom bisa terbelah,
pertanyaannya;
(1) Energi besar macam
apa yang mampu membelah atom? Dalam kasus ini atom uranium
(2) Jika memang atom
uranium bisa terbelah, atom-atom tersebut akan melepaskan energi saat terbelah
dua. Jadi, berapa banyak energi yang dilepaskan?
Jika dihitung-hitung,
energi yang terlepas itu hanya cukup untuk membuat sebutir pasir mengentak.
Masalahnya, atom berukuran sangat kecil melebihi sebutir pasir. Dan dengan 238
proton dan neutron, Uranium adalah atom terbesar di alam (dan tentu saja ukurannya
tetap luar biasa kecil). Satu ons Uranium memiliki sekitar
100.000.000.000.000.000.000 atom. Otomatis, jika kita memiliki setidaknya 25 kg
Uranium dan dapat membuat semua atom Uranium itu membelah dan melepaskan energi
secara bersamaan, kita akan memiliki senjata penghancur masal. Mengerikan ya?
Itulah yang dirasakan
semua ilmuwan pada masa itu. Berita besar itu menyebar cepat dibawa angin,
berbagai journal menyiarkan penemuan baru itu. Membuat Neils Bohr, Otto Frisch
dan sederetan ilmuwan pada masa itu heboh, bersemangat sekaligus frustasi.
Albert Einsten bahkan mengirim surat ke Franklin D. Roosevelt (Presiden
Amerika) yang berisikan kecemasan luar biasa mengingat penemuan itu dilakukan
oleh ilmuwan Jerman, dan kemungkinan besar Hitler (yang sedang rakus-rakusnya
memperluas wilayah) memanfaatkan itu sebagai senjata mereka. Bom atom, senjata
pemusnah paling berbahaya yang pernah dibuat. Dugaan mereka benar.
Jerman sudah
menghentikan penjualan Uranium dari tambang-tambang Cekoslovakia, wilayah yang
diambil alih mereka. Jerman juga membangun pabrik air berat (bahan membuat bom
atom) di Norwegia. Dan mendadak, semua artikel, jurnal, makalah atau surat
kabar yang membahas mengenai percobaan fisi Uranium menghilang begitu saja. Tak
ada lagi bahasan. Dalam hal ini, Georgi Flerov (Fisikawan Soviet) berkomentar,
“Keheningan ini bukanlah karena ketiadaannya penelitian. Dengan kata lain,
hukum kerahasiaan telah diterapkan dan ini merupakan bukti terbaik akan adanya
penelitian besar-besaran yang sedang dilakukan di luar negeri.” (hal. 59-60)
Dari sini, pembaca
dibawa ke perasaan waswas setiap orang bahwa Jerman akan membangun bom atom
yang bisa digunakan Hitler dalam menaklukan dunia. Pembaca juga dibawa untuk
menelusuri perjuangan negara-negara (Jerman, Amerika, Inggris, Uni Soviet) yang
berlomba membuat bom atom lebih dulu. Sabotase, operasi intelijen, pembunuhan
dan segala intrik-taktik dikerahkan demi menjadi pemenang.
Buku ini seru sekali.
Saya menangkap kalau semua orang diceritakan terpaksa membuat bom atom. Dan
selain perjuangan ilmuwan, kita juga bisa ikut merasakan perjuangan Kelompok
Pemberontak Norwegia yang berjuang untuk meledakkan pabrik Air berat milik
Jerman. Mereka menyusup, mengintai dengan senjata pemberian Inggris dan juga
senjata terkahir; Pil kematian. Karena jika mereka sampai tertangkap, lebih
baik makan pil itu daripada harus disiksa di kamp konsentrasi.
Selain itu, ada
beberapa poin yang membuat saya berpikir tentang;
1. Amerika.
Diceritakan, negara ini melakukan segala cara demi menghentikan upaya Jerman
membuat bom Atom, dari yang paling intelek (mengumpulkan semua ilmuwan Amerika
untuk membuat Bom) sampai yang paling kotor;
rencana menculik pemimpin proyek Bom Atom Jerman.
2. Inggris. Saya
mendapat kesan kalau negara ini lumayan anteng dan mendingan ketimbang Amerika
dalam hal persaingan membuat bom. Sayangnya mereka ceroboh karena KGB (badan
intelijen Uni Soviet) berhasil mendapatkan informasi rahasia negara mereka
dengan sangat lancar.
“Kami berdua merasa
sangat ngeri akan bahayanya tidak melakukan apapun. Bagaimana jika musuh
berhasil membuat bom atom sebelum kami?” (Winston Churcill, hal. 70)
3. Uni Soviet. Yang
lebih fokus mencuri informasi cara membuat bom daripada berpikir sendiri.
Wilayah mereka yang terus diserang Jerman, membuat Uni Soviet begitu terdesak
dan tak punya waktu selain pakai cara pintas, mengirim intelijen ke Inggris dan
Amerika untuk mencari tahu informasi lebih banyak tentang cara pembuatan bom.
Bagi Soviet, mereka memang bersekutu dengan Amerika, tapi itu karena mereka
punya musuh yang sama. Bukan karena mereka berteman. Amerika memang membantu
Soviet dalam menghadapi Jerman, dalam segi senjata. Bukan hal lain. Tapi Soviet
tahu, kalau Amerika tidak menolong atas dasar ketulusan. Amerika hanya ingin
melihat Jerman kalah. Tapi tanpa harus repot-repot menyerang, sebut saja main
bersih. (ya, begitulah Amerika.)
Terhadap kasus ini,
Soviet punya prinsip,
“Saat kamu tahu bahwa
kamu sedang dimanfaatkan, kamu memiliki hak untuk menjadi cerdas.” ujar
Alexander Feklisov (Anggota Intelijen Soviet, hal. 48)
4. Jepang. Tidak
diceritakan banyak, tetapi cukup jelas keinginan Jepang untuk membangun
Kekaisaran di Asia. Dan kemarahan mereka saat Amerika menghentikan ekspor
minyak untuk menekan Jepang menghentikan laju pasukan mereka lebih jauh. Hal
itu justru membuat Jepang menghajar Amerika lewat kiriman Bom di Pearl Harbor
(pangkalan militer Amerika)
5. Jerman, yang sibuk
mempropagandakan motto “Jerman Yang Lebih Hebat” demi membangun kekaisaran di
Eropa. Yang harus diakui gentlenya, Jerman sama sekali tidak melakukan apa-apa
terhadap saingannya dalam membuat bom. Mereka hanya membuat bom dalam
diam, justru negara lain yang heboh dan
terus mengganggu aktivitas penelitian Jerman. (terlepas dari rakusnya Hitler
saat itu)
6. Norwegia. Mau tidak
mau patuh pada Jerman, tapi mereka tentu saja punya pejuang yang memberontak
pada NAZI.
30 April 1945, Adolf
Hitler bunuh diri karena kekalahan-kekalahan Jerman selama perang Dunia
II. Rupanya Jerman gagal membuat bom.
Mereka menyerah. Pembuatan bom mereka berhenti begitu saja sebab pemicu awal mereka (Air berat) sudah
ludes dimusnahkan negara oposisi. Di satu sisi, Uni Soviet belum juga berhasil
membuat bom. Tapi Amerika yang sudah setengah jalan, memilih tetap melanjutkan
pembuatan bom dengan alasan masih berperang dengan Jepang.
Dan pada akhirnya, kita
sama-sama tahu. Negara mana yang membuat bom atom pertama kali, dan kepada
siapa bom itu mereka jatuhkan. Amerika. Dan, saya tertegun saat membaca salah
satu paragraf yang menyatakan perasaan ngeri para Ilmuwan saat bom itu
ditunjukkan ke wajah dunia.
Serupa novel thriller,
ada beberapa bagian di buku ini yang membuat saya punya banyak ekspresi saat
membaca; tersenyum, sedih dan miris. Semua itu tak lepas dari penulis yang
pandai sekali mengemas dan mengumpulkan potongan-potongan data dan kesaksian
semua orang yang terlibat pada masa itu menjadi tulisan yang keren, punya
alur/plot dan mudah dipahami. Kita sudah tahu soal sejarah Perang Dunia II,
tapi keunggulannya, buku ini mengungkap hal lain selama perang. Akan ada banyak
hal yang kita ketahui saat membaca buku ini. Dan tentu saja tak perlu menghafal
karena ini mirip saat duduk bareng teman dan ngobrol soal novel yang baru kelr
dibaca. Mengalir begitu saja.
Ada beberapa typo di buku
ini, dan karena ini bukan Novel betulan yang tokohnya terbatas, agak sulit bagi
saya mengingat orang-orang yang diceritakan di dalam buku. Dalam suatu bab bisa
saja membahas si A dari Amerika, lalu beranjak ke B dari Soviet, lalu ke C, D,
E, F, G sampai saya harus bolak-balik lembar buku karena kelupaan, “Lah ini
siapa ya tadi?”. soalnya banyak banget orang-orangnya.
Meskipun begitu, tenang
saja. Mereka yang disebut sangat banyak ini tetap memiliki benang merah yang
terhubung—yakni bom atom. Selain itu, saya jadi tahu siapa saja dalang pembuat
bom atom dari tiap negara, saya juga banyak menemukan kata-kata inspiratif dan
belajar istilah-istilah keren dalam dunia spionase, fisika, penelitian dll di
buku ini. Penulis juga memasukkan dokumentasi foto-foto wajah asli setiap tokoh
sehingga saya langsung terbayang. Membaca lanjut buku ini semakin membuat saya
berpikir banyak hal. Salah satunya; betapa dahsyatnya perang itu, betapa
dahsyatnya sebuah ambisi. Penulis mengakhiri buku ini sampai pada meletusnya perang
dunia II, perasaan-perasaan tertekan para ilmuwan yang terus dipaksa pemerintah
untuk membuat bom, dan juga renungan yang alangkah baiknya jika teman-teman
dapat membaca buku ini sendiri. Dan menemukannya sendiri.
Terakhir, terlepas dari
keegoisan mereka, saya salut pada
keteguhan hati orang-orang di buku ini. Termasuk kepada Hitler. Dalam sebuah
pertemuan dengan para Jenderalnya, Hitler pernah berkata,
“Saat memulai perang,
yang penting bukanlah yang benar, tetapi kemenangan. Tutup hati kalian dari
belas kasihan! Bersikaplah brutal! Orang yang lebih kuat adalah yang benar!”
(hal. 31)
Hitler tahu kalau
sebenarnya orang yang paling kuat itu yang benar, makanya dia memilih bersikap
seperti setan gila agar bisa menang. Hitler tidak pernah peduli jika dianggap
sebagai pihak yang bersalah dalam peperangan ini. Dia percaya diri dengan
kejahatannya. Itu membuat saya merenung, kalau orang zalim saja bisa percaya
diri dengan perbuatan jahatnya, kenapa kita kadang minder dengan perbuatan
baik?
Judul Buku : BOMB
Penulis : Steve Sheinkin
Tebal Halaman : 346
Halaman
Penerbit : Noura Books
Peresume : Ika