Judul buku : Il Principe (Sang Pangeran) - Terjemahan
Penulis : Niccolo Marchiavelli
Penerjemah : Dwi Ekasari Aryani
Penerbit : Narasi
Cetakan : 2014
Peresume. : Deri IM1
Michael Hart
(penulis buku 100 orang yang paling berpengaruh dalam sejarah) mengatakan bahwa
ini adalah buku pedoman para diktator. Bahkan kabarnya Napoleon saja sampai
menyimpan buku ini di bawah bantal tidurnya. Sedangkan Benito Mussolini
(diktator Italia di Perang Dunia II) menjadikan buku ini sebagai kajian
referensi dalam karya tulis doktoralnya. Sama halnya dengan Lenin, Hitler, dan
Stalin serta para diktator lainnya. Tidak heran karena sebenarnya buku ini
perpaduan antara kejujuran dan kegilaan dalam merebut kekuasaan. Bagaimana trik
licik dan tipu muslihat diungkap di buku ini berdasar pada pengalaman para
penguasa eropa di zaman tersebut. Tidak melulu kegilaan yang diungkap di sini,
namun Marchavelli juga mengungkap bagaimana agar seorang pangeran (penguasa)
dicintai rakyatnya. Hanya saja dia mencoba menyajikan konsepsi tersebut yang
digabung dengan kegilaan tadi. Pada akhirnya dia menyarankan agar seorang
pangeran harus tahu pada kondisi seperti apa dia menggunakan cara-cara yang
gila dan pada kondisi lain dia harus menggunakan cara-cara jujur yang penuh
damai. Buku ini memang benar-benar secara real menggabungkan kejujuran dan
kegilaan.
-Niccolo
Marchavelli-
Marchavelli
sebenarnya adalah orang biasa yang lahir di Florence pada tahun 1469. Buku ini
ditulis pada tahun 1513 sebagai hadiah bagi keluarga Medici, diktator di wilayah
Florence, Italia. Di buku ini tanpa malu Marchiavelli mengungkap bagaimana
moral para penguasa dengan apa adanya. Dia sebenarnya sadar bahwa dengan cara
yang licik dan penuh tipu muslihat adalah cara yang tidak bermoral. Akan tetapi
dengan cara itulah ternyata para penguasa memperoleh kekuatan. Memperoleh
kekuatan untuk merebut kekuasaan. Karena keterusterangannya dalam buku ini,
Marchiavelli dijadikan sebuah sinonim negatif untuk kelicikan dan kepalsuan.
Orang yang terlihat ambisius untuk mencapai sesuatu dengan menggunakan segala
cara akan disebut Marchiavelis.
-Mereka yang
menjadi pangeran karena tipu muslihat-
Pada bagian
ini Marchiavelli mengungkap beberapa kisah para pangeran merebut tahta
menggunakan cara-cara yang gila dan tidak biasa. Khas cikal bakal diktator. Ia
mengisahkan bahwa pada zaman itu, Agathocles adalah seorang Raja Syracuse dari
Sicilian meraih singgahsana penguasa, padahal awalnya dia berasalah dari
kalangan masyarakat terhina dan paling rendah. Orangtua Agathocles hanya berprofesi
sebagai pembuat tembikar, namun karena kelicikan dan kepintarannya dia berhasil
menjadi raja di Syracuse. Perjalanannya dimulai ketika dia masuk di dunia
militer. Hingga memperoleh karir tertinggi di militer dia kemudian menjadi
Administrator di Syracuse. Dalam perjalanannya dia bekerja sama dengan kaum
Carthaginian untuk menjalankan siasat liciknya. Sebagai seorang Administrator
dia punya kewenangan dalam merumuskan kebijakan. Oleh sebab dalih itu, dia
mengundang seuluruh agenda senat ke suatu tempat. Para senator mengira bahwa
diundangnya mereka adalah untuk membicarakan masalah penting, akan tetapi
ternyata Agathocles malah membunuh mereka dan juga beberapa orang kaya yang
hadir pada saat itu. Dengan cara ini Agathocles berhasil meraih kekuasaan tanpa
menimbulkan pemberontakan sipil. Caranya dalam mempertahankan kekuasaanpun
sangat brilian. Beberapa kali usaha untuk merebut wilayah kekuasaannya berakhir
sia-sia meski Agathocles sudah kalah. Dia berhasil memaksa pihak lawan harus
menandatangani perjanjian walaupun mereka berada di pihak yang menang. Sehingga
mau tak mau lawannya harus tetap menyerahkan wilaya Syracuse tetap kepadanya.
Membunuh kawan seperjuangan, tidak memiliki iman, tidak memiliki belas kasihan
adalah kelaziman bagi seorang Agathocles. Walaupun cara itu tidak bermoral,
tapi itu tetap memberikan kekuatan baginya.
Sama halnya
dengan Oliverotto de Fermo yang ada pada masa pemerintahan Alexander IV, dia
awalnya ditinggalkan orang tuanya. Maka pengasuhan kemudian dilakukan oleh
pamannya, Giovanni Fogliani. Beranjak remaja dia dikirim ke pelatihan militer
di bawah pengawasan Paulo Vitelli. Dia tumbuh menjadi prajurit yang cerdas
dengan fisik yang kuat. Namun sepeninggal Vitelli, Oliverotto merasa bahwa
memiliki posisi yang lebih rendah daripada orang lain adalah hal yang hina, dia
kemudian membunuh beberapa pemimpin pasukan. Tak lama kemudian ia mengunjungi
kediaman pamannya setelah menjadi pimpinan pasukan militer. Melihat Oliverotto
telah tumbuh menjadi sosok yang kuat, Fogliani kemudian memberikan rumah dan
sedikit wilayahnya kepada keponakannya itu. Tapi cerita air susu dibalas air
tuba berawal di sini. Pada sebuah jamuan makan malam berkedok pembahasan serius
yang tertutup, Oliverotto membantai Fogliani beserta kerabat kerajaan lainnya.
Dia juga membunuh para pejabat yang hadir saat itu. Maka makin lapanglah dia
membentuk kekuasaannya sendiri.
Dalam buku
ini Marchiavelli memberikan jawaban pada pertanyaan mengapa beberapa orang di
diktatorian dapat hidup aman mempertahankan kekuasaan dari ancaman eksternal
maupun internal. Dia mengungkapkan bahwa kekejaman yang dilakukan para diktator
dieksploitasi dengan sangat baik dan sangat buruk secara bersamaan.
Dieksploitasi dengan sangat baik karena mereka hanya melakukannya sekali dengan
satu metode. Dieksploitasi dengan sangat buruk karena dengan dalih melindungi
semua pihak, maka kekejaman terpaksa harus dilakukan.
-Mengelola
yang dimiliki-
Marchavelli
juga mengungkapkan bahwa dalam menjalankan peperangan harus selalu menggunakan
pasukan sendiri. Hal ini bercermin pada raja-raja zaman sebelumnya yang
ternyata walaupun memperoleh kemenangan dalam sebuah peperangan, ternyata
“pasukan bayaran” yang diperbantukan dari kerajaan tetangga malah menjadi sebab
kejatuhan kekuasaannya. Marchiavelli mengungkapkan beberapa raja yang sukses
merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan pasukannya sendiri.
Pada bagian lain, dia juga menyatakan bahwa pasukan adalah hal penting dalam
menjalankan kekuasaan dibanding sanak kerabat ataupun keluarga si penguasa.
Di bagian
lain ia menekankan pada sebuah pernyataan bahwa orang-orang yang ingin menjadi
pangeran dan dapat melakukan semua hal dengan baik, harus belajar dari semua
hal yang tidak dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, seorang pangeran yang
ingin mempertahankan kedudukannya harus belajar bagaimana hal-hal tidak baik
itu berjalan dan menggunakan pengetahuan ini agar tidak melakukan hal yang
tidak berjalan dengan baik. Istilahnya penguasa harus belajar dari hal-hal yang
unwell-prepared dan menggunakan pengetahuannya pada hal ini untuk mewujudkan
kekuasaan yang well-prepared. Ia juga membahas mengenai liberalisme dan
kekejaman. Liberalisme sendiri dalam pemaparannya adalah menerapkan kebijakan
yang sangat mungkin menghadirkan penghinaan pada seorang penguasa. Seorang
penguasa, dalam pandangannya, harus memulai kekejaman dan lebiralisme pada apa
yang ingin ia lakukan dan ingin dia punya. Maka dari itu di akhir bagian ini
Marchiavelli menyatakan bahwa lebih baik jadi penguasa kikir yang dihina tapi
tidak dibenci, ketimbang jadi penguasa tamak yang dihina dan dibenci. Kebijakan
yang liberal dan kejam harus didasarkan pada proses penguatan kekuasaan dan
entitas yang ada di domain kekuasaan itu. Oleh karena itu seorang penguasa
tidak boleh keberatan jika dibilang kejam. Karena dari kekejaman itu akan
muncul keteraturan dan memunculkan kesetiaan tanpa syarat dari rakyat.
Kekejaman ini juga akan menimimasi timbulnya pemberontakan. Penguasa bisa
menggunakan klaim bahwa kekejaman hanya berlaku untuk sedikit orang yang
mencoba mengusik keteraturan sistem yang ada. Ditambah tentu melindungi banyak
orang yang ada di domain kekuasaan tersebut.
-Penguasa
perlu ditakuti atau dicintai?-
Pada bagian
ini cukup memberikan sebuah insight yang unik. Dia mengungkapkan bahwa pada kondisi
yang sulit sang penguasa harus lebih ditakuti rakyatnya daripada dicintai
mereka. Hal ini didasarkan pada sifat tamak, egois, licik, dan munafik seorang
manusia. Manusia cenderung untuk tidak tahu terima kasih. Maka dari itu perlu
wibawa ketakutan yang dikembangkan seorang penguasa ketimbang wibawa cinta. Hal
ini akan memberikan keuntungan pada penguasa untuk dapat mempermudah kebijakan
berjalan. Seorang penguasa juga harus bisa ditakuti dengan cara apabila pada
kondisi dia tidak dicintai maka dia tidak boleh dibenci. Hal ini Marchiavelli
pertegas dengan sebuah case hukuman mati. Seorang penguasa berhak melakukan
hukuman mati dengan pembenaran yang cukup. Tapi jangan ambil apa yang menjadi
milik si terhukum mati, karena pada dasarnya sifat manusia lebih menerima
kematian seseorang dibanding kehilangan warisan dari orang tersebut. Hal ini
tentu akan menghindarkan penguasa dari pemberontakan rakyatnya.
-Bagaimana
para penguasa mempercayai seseorang-
Penguasa
harus memiliki orang yang dipercaya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
arahan-arahan dan kebijakan yang dia lakukan. Karena tanpa adanya orang yang
bisa dipercaya, maka rencana penguasa rentan untuk ditentang dan kekuasaannya
berpotensi untuk dijatuhkan. Marchiavelli menyatakan bahwa ada kalanya penguasa
harus berperilaku menjadi rubah dan harimau. Hal ini dilakukan agar dia tidak
dengan mudah dikhianati orang yang dipercayainya. Seekor harimau sangat lihai
dalam menerkam mangsanya, tapi sangat buruk dalam keamanan terhadap dirinya.
Sebaliknya, seekor rubah sangat lihai dalam menjaga dirinya walaupun dia sangat
sulit dalam memperoleh buruannya. Filosofi ini perlu dimiliki oleh para
penguasa dalam mengelola kepercayaan orang kepercayaannya.
-Bagaimana
sanjungan harus dihindari dan bagaimana mendapatkan nasihat-
Bagi seorang
penguasa, sanjungan ini amat berbahaya. Jika kadarnya terlalu banyak bisa
melenakan. Terlebih jika sanjungan ini malah membuat sang penguasa tidak bisa
kembali ke kesadaran yang biasanya. Dalam mengelola sanjungan, penguasa harus
lihai menarik maksud dari sanjungan yang disampaikan. Ia harus bisa secara
menyeluruh membaca berbagai hal di sekitar sanjungan tersebut. Kebenaran adalah
sebuah kemutlakan yang lebih baik dari pada sebuah sanjungan. Akan tetapi, jika
seorang penguasa lebih banyak menerima kebenaran dari rakyatnya (ungkapan jujur
dari rakyatnya), maka dia berpotensi kehilangan rasa hormat. Ingat pada kondisi
tertentu, penguasa harus ditakuti. Maka hal yang paling bijak adalah mengambil
pilihan yang lain. Dalam hal ini Marchiavelli menyatakan bahwa penguasa harus
memiliki penasihat. Penasihat inilah yang nantinya khusus memberikan kebenaran
kepadanya. Penguasa harus meminta sendiri nasihatnya. Dalam hal ini penguasa
yang harus berinisiatif karena menyangkut wibawa dan kedudukannya. Jadi, pada
kondisi apapun seorang penguasa harus bisa mengetahui kapan dia harus meminta
nasihat dari orang kepercayaannya dan kapan dia harus bertindak sendiri.
Seperti yang
diungkap penerbit di bagian pengantar, bahwa dengan adanya buku ini kita jadi
tahu bagaimana logika berpikir seorang diktator. Dengan demikian kita menjadi
lebih waspada dan juga paham bagaimana mencegah negeri ini jatuh ke tangan kaum
diktatorian Marchiavelis.
0 komentar:
Posting Komentar