Siapa yang tidak suka coklat?. Dari anak kecil sampai dewasa kebanyakan suka dengan coklat, apalagi coklat ini salah satu jenis makanan yang prestisius. Bila pergi ke luar negeri, coklat tak luput dari oleh-oleh si penggemarnya.
Usut punya
usut coklat ini dihasilkan dari tanaman kakao, dan ternyata indonesia adalah
salah satu negara penghasil biji kakao terbesar di dunia. Percaya atau tidak
Indonesia mempunyai 1,9 juta ha lahan kakao. Sehingga kakao ini merupakan
penyumbang devisa negara. Irinisnya, kebanyakan petani kakao di Indonesia
termasuk dalam golongan menengah ke bawah.
Kata
Sambutan dari Direktur Jendral Perkebunan menjadi pendahulu buku ini
dilanjutkan sambutan dari gubernur Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Prof
Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec yang memberikan apresiasi atas hadirnya buku
ini.
Dimulai
dengan kisah sang Profesor yang hadir saat acara seminar kakao yang berlangsung
di Bogor tanggal 7 April 2015, sebagai salah satu narasumber. Profesor yang
usianya menjelang 70 tahun ini dengan mantap naik ke podium. Ia begitu gagah
dengan jasnya, tatapannya tajam seperti sepuluh tahun ketika ia menjadi
menteri. Ia pernah mengatakan kepada para petani. Pemerintah tidak punya uang
dan petani harus mampu menolong dirinya sendiri. Pemerintah mendorong petani
untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan. Pola pikir petani yang perlu
dirubah, yang menganggap bahwa usahanya tersebut tidak memberikan insentif yang
menarik secara ekonomi.
Dari data
Ditjebun, dari tahun 2011 sampai tahun 2014 luas areal kakao mengalami
penurunan. Ini merupakn fenomena yang janggal, mengingat saat ini bisnis coklat
tengah menggiurkan. ICCO meramalkan, dunia akan mengalami kelangkaan bahan baku
kakao pada tahun 2020, berarti ada sekitar 2 tahun lagi. Lalu kenapa pengembangan
kebun kakao masih belum menarik??
Dibuku ini
dijelaskan apa yang menjadi permasalahan pertanian di Indonesia. Banyak petani
yang jalan di tempat. Coba lihat Jepang, yang memiliki lahan pertanian
terbatas, sukses memperoleh surplus pertanian. Menariknya menurut Theodore
adalah pemerintah Jepang ternyata tidak menerapkan subsidi pada produk
pertaniaannya, namun bisa meraih surplus pertanian dan mampu melakukan ekspor.
Sementara di
India yang mendapat bantuan dana dari Amerika Serikat melalui USAID untuk
pengembangan pertanian tidak juga memperoleh hasil yang menggembirakan. Hampir
sama dengan Indonesia. Ternyata petani Jepang enggan menggunakan pestisidadan
memilih menggunakan pupuk organik. Bagi mereka membeli pestisida bukan
kebutuhan yang wajib disediakan. Mereka menerapkan teknologi pertanian sehingga
produksinyapun meningkat 90 persen. Petanipun mendapat return. Dalam hal ini tentunya petani akan bergairah menanam kakao
jika tanaman tersebut memberikan return yang
bagus.
Dalam buku
ini juga kita di ajak untuk melirik kelapa sawit. Dimana komoditas ini terlihat
begitu glamour di mata petani, sehingga terkadang petani dirayu untuk menerima
bantuan kakao. Penulis sebagai orang yang menangani kakao tentu merasa kakao
lebih menarik, namun faktanya berbeda. Namun ada beberapa petani kakao yang
bisa umroh dan anaknya sudah kuliah walaupun mereka tinggal di rumah panggung.
Beberapa LSM
kerap memanfaatkan petani kakao untuk mendapatkan bantuan dana dari perusahaan
besar. Umumnya perusahaan membeli kakao petani dengan harga yang sangat rendah,
namun disisi lain, mereka menutupinya denga dalih CSR bertema life, care, love,
save.
Kunci
keberhasilan meningkatkan produksi kakao yaitu peningktan skill dan pengetahuan
petani, serta pengetahuan terkait pasar dan mutu.
Dengan hadirnya buku yang berjudul membuat
petani kakao tersenyum ini, moga bisa memberikan inspirasi perihal kiat-kiat
agar petani kakao di indonesia bisa menikmati harga kakao yang tinggi.
Judul:
Membuat Petani Kakao Tersenyum
Penulis:
Azwar Abu Bakar
Penerbit:
byPASS
Tahun
terbit: 2015
Jumlah
halaman: 145
Peresensi:
Belia Laksmi Masril