Nagara,
Ragana, Naraga.
Mantra
yang diajarkan untuk dirapalkan, sebagai sandi dalam misi menemukan mustika
naga.
Mantra
yang kosakatanya berasal dari aksara Hanacaraka dalam Sundayana dengan makna
yang mendalam. Aksara Na berarti api atau sesuatu yang menyala. Aksara Ga
berarti Yang Maha Kuasa. Dan aksara Ra berarti Yang Maha Cahaya. Urip iku urup,
hidup itu nyala.
Adalah
Sarpayatna Taksaka (Saka), seorang pelukis yang terpilih menjalankan misi tugas
naga. Sebuah misi yang terlalu dini diterimanya, bertahun-tahun yang lalu
sebelum Romonya mengilang. Misi yang dimulai sejak pada sebuah malam yang
sunyi, Romonya menyerahkan sebuah keris, keris Nagasasra, benda pusaka
peninggalan kerajaan Majapahit.
Hidup
Saka setelah itu adalah sebuah misi yang sangat rahasia untuk menemukan keris
Kyai Sabuk Inten, pusaka Majapahit lainnya sebagai kunci menuju mustika naga
yang hilang, Saka adalah manusia naga.
Berbagai
situs sejarah, cerita leluhur, ditelusurinya satu persatu, dari tanah
Jawa hingga Timur Indonesia. Histori kebesaran masa lalu yang berbukti nyata,
hingga cerita tanpa wujud yang dapat diindera, hanya melalui tutur dari guru ke
guru dicari petunjuk dan kebenarannya. Penelusurannya membawanya pada kisah
naga dan garuda.
Adalah
Tarkeisya Gaganeswara Garudeya (Keisya), sang manusia garuda. Wanita yang
dijumpai dalam pencarian rahasianya. Wanita dengan masa lalu yang berselimut
duka. Naga adalah laki-laki, dan garuda adalah perempuan.
Pada
cinta naga, rindu garuda berlabuh. Cinta mereka adalah rindu yang masih.
Kelak,
kata-kataku menjadi batu, terukir sebagai nisanku yang meriwayatkan:
"pernah hidup seorang manusia naga, Sarpayatna Taksaka, yang sepanjang
hayatnya dipersembahkan untuk mencintai seorang garuda, Tarkesya Gaganeswara
Garudeya, dan ajal takan pernah memisahkan keduanya".
Demikian
senandung cinta Saka bagi Keisya.
Berlembar-lembar
buku diisi oleh ungkapan cinta rindu Saka pada pujaannya, sebaliknya Keisya.
Saka dengan gaya bahasa meliuk, Keisya sederhana namun tak juga mengurangi
makna kedalaman rasa cintanya pada pemuda pemburu mustika.
Namun,
perjalanan cinta dan pencarian mereka adalah perjalanan yang tak mudah. Dari
Melbourne, Jepang, Bali, Malang, hingga Yogyakarta, berbagai rahasia masa lalu, penghianatan,
kasih tak sampai, terungkap sepanjang langkah menuju penyatuan cinta dalam sebuah pernikahan yang
diakui masyarakat kebanyakan.
Gaya
tulisan khas Candra Malik sudah sangat akrab bagi saya ketika cerita di
lembar-lembar awal novel ini terbaca. Sebagai seorang yang dikenal dengan
budayawan sufi, tidaklah mengherankan jika tulisan beliau bernuansa budaya
lokal, khususnya di tanah jawa, dipadu dengan petuah-petuah keimanan dan
keIslaman bernada sufistik.
Hanya
saja, saya cukup dibuat kaget pada bagian-bagian yang menggambarkan kemesraan
Saka dan Keisya memadu kasih dan cinta. Menurut saya, Gus Can sangat
berani dan liar menuangkan daya
khayalnya yang dibungkus dengan pemilihan kata yang halus, menggunakan
perumpamaan dan istilah berkelas. Di beberapa seting terasa sangat kontras
dengan pesan-pesan budi yang tersirat dalam novel.
Namun
demikian, keliaran daya khayal yang dituangkan beliau, membuat saya mampu
menangkap pesan tentang perbedaan cinta dan nafsu. Di sisi lain, bagian dialog
percintaan Saka-Keisya juga merupakan penegasan dari bagian lain novel ini
ketika membahas lambang Taiji, hitam putih.
Di dalam
putih terdapat hitam meski senoktah, pun di dalam hitam terkandung putih meski
setitik. Yang hitam mengalami putih dan yang putih mengalami hitam. Jadi, tidak
ada baik yang hanya baik. Tak ada pula buruk yang hanya buruk (hal.51)
Untuk
kesekian kali, saya kembali terkesan dengan karya penulis. Sederhana dalam
kata, berat dalam makna.
Anda dan
saya bisa jadi berpendapat beda, cobalah dibaca.
Judul
Buku : Mustika Naga
Penulis
: Candra Malik
Penerbit
: PT. Gramedia
Th
Terbit : 2015
Tebal
: 194 halaman
- Saidah
Rauf_Masohi -
0 komentar:
Posting Komentar