Selasa, 04 September 2018

Mustika Naga


Nagara, Ragana, Naraga.
Mantra yang diajarkan untuk dirapalkan, sebagai sandi dalam misi menemukan mustika naga.

Mantra yang kosakatanya berasal dari aksara Hanacaraka dalam Sundayana dengan makna yang mendalam. Aksara Na berarti api atau sesuatu yang menyala. Aksara Ga berarti Yang Maha Kuasa. Dan aksara Ra berarti Yang Maha Cahaya. Urip iku urup, hidup itu nyala.

Adalah Sarpayatna Taksaka (Saka), seorang pelukis yang terpilih menjalankan misi tugas naga. Sebuah misi yang terlalu dini diterimanya, bertahun-tahun yang lalu sebelum Romonya mengilang. Misi yang dimulai sejak pada sebuah malam yang sunyi, Romonya menyerahkan sebuah keris, keris Nagasasra, benda pusaka peninggalan kerajaan Majapahit.

Hidup Saka setelah itu adalah sebuah misi yang sangat rahasia untuk menemukan keris Kyai Sabuk Inten, pusaka Majapahit lainnya sebagai kunci menuju mustika naga yang hilang, Saka adalah manusia naga.

Berbagai situs sejarah, cerita leluhur,  ditelusurinya satu persatu, dari tanah Jawa hingga Timur Indonesia. Histori kebesaran masa lalu yang berbukti nyata, hingga cerita tanpa wujud yang dapat diindera, hanya melalui tutur dari guru ke guru dicari petunjuk dan kebenarannya. Penelusurannya membawanya pada kisah naga dan garuda.

Adalah Tarkeisya Gaganeswara Garudeya (Keisya), sang manusia garuda. Wanita yang dijumpai dalam pencarian rahasianya. Wanita dengan masa lalu yang berselimut duka. Naga adalah laki-laki, dan garuda adalah perempuan.
Pada cinta naga, rindu garuda berlabuh. Cinta mereka adalah rindu yang masih.

Kelak, kata-kataku menjadi batu, terukir sebagai nisanku yang meriwayatkan: "pernah hidup seorang manusia naga, Sarpayatna Taksaka, yang sepanjang hayatnya dipersembahkan untuk mencintai seorang garuda, Tarkesya Gaganeswara Garudeya, dan ajal takan pernah memisahkan keduanya".
Demikian senandung cinta Saka bagi Keisya.

Berlembar-lembar buku diisi oleh ungkapan cinta rindu Saka pada pujaannya, sebaliknya Keisya. Saka dengan gaya bahasa meliuk, Keisya sederhana namun tak juga mengurangi makna kedalaman rasa cintanya pada pemuda pemburu mustika.

Namun, perjalanan cinta dan pencarian mereka adalah perjalanan yang tak mudah. Dari Melbourne, Jepang, Bali, Malang, hingga Yogyakarta,  berbagai rahasia masa lalu, penghianatan, kasih tak sampai, terungkap sepanjang langkah menuju  penyatuan cinta dalam sebuah pernikahan yang diakui masyarakat kebanyakan.

Gaya tulisan khas Candra Malik sudah sangat akrab bagi saya ketika cerita di lembar-lembar awal novel ini terbaca. Sebagai seorang yang dikenal dengan budayawan sufi, tidaklah mengherankan jika tulisan beliau bernuansa budaya lokal, khususnya di tanah jawa, dipadu dengan petuah-petuah keimanan dan keIslaman bernada sufistik.

Hanya saja, saya cukup dibuat kaget pada bagian-bagian yang menggambarkan kemesraan Saka dan Keisya memadu kasih dan cinta. Menurut saya, Gus Can sangat berani   dan liar menuangkan daya khayalnya yang dibungkus dengan pemilihan kata yang halus, menggunakan perumpamaan dan istilah berkelas. Di beberapa seting terasa sangat kontras dengan pesan-pesan budi yang tersirat dalam novel.

Namun demikian, keliaran daya khayal yang dituangkan beliau, membuat saya mampu menangkap pesan tentang perbedaan cinta dan nafsu. Di sisi lain, bagian dialog percintaan Saka-Keisya juga merupakan penegasan dari bagian lain novel ini ketika membahas lambang Taiji, hitam putih.
Di dalam putih terdapat hitam meski senoktah, pun di dalam hitam terkandung putih meski setitik. Yang hitam mengalami putih dan yang putih mengalami hitam. Jadi, tidak ada baik yang hanya baik. Tak ada pula buruk yang hanya buruk (hal.51)

Untuk kesekian kali, saya kembali terkesan dengan karya penulis. Sederhana dalam kata, berat dalam makna.
Anda dan saya bisa jadi berpendapat beda, cobalah dibaca.

Judul Buku  : Mustika Naga
Penulis        : Candra Malik
Penerbit      : PT. Gramedia
Th Terbit     : 2015
Tebal          : 194 halaman

Saidah Rauf_Masohi -

0 komentar: