Judul Buku : Kyai Kocak VS Liberal Ronde #2
Penulis : Abdul Mutaqin
Penerbit : Salsabila
Jumlah Hal : 228
Tahun Terbit : Februari 2014
Peresume : Novi Trilisiana, IM2
Kyai Kocak
VS Liberal Ronde #2 adalah bagian dari seri Rehat Bersama Kyai Kocak yang ditulis
oleh seorang Guru Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan
UIN Jakarta. Buku ini mengunakan pendekatan santai dan humor dalam mengimbangi
logika liberalisme. Melalui tokoh fiksi Kyai Adung yang simpel dan berisi, buku
ini sangat cocok untuk semua kalangan remaja dan dewasa.
Penulis bermanuver melalui sudut pandang Kyai
Adung untuk mematahkan usaha segelintir orang yang ingin meliberalisasikan
agama. Kyai Adung yang dianggap kolot tetap nyentrik dengan kekonyolannya
kepada Pahlawan Bertopeng__sebutan aktivis liberal dalam buku ini. Karakter
Kyai Adung yang blak-blakan
semestinya membuat pembaca yang menuhankan nafsu dan logika harus belajar lebih
karena ternyata logika mereka sangat lemah dan nafsu mereka keterlaluan.
Terdapat 39 bab yang bisa dinikmati sekali
duduk sampai selesai. Dan diawali dengan tagline,
“Daripada sok ngikut liberal mending ngikut Kyaikocakisme! Setuju?” Ketiga puluh Sembilan bab tersebut juga
diawali dengan sebuah prolog mengenai Pahlawan Bertopeng. Berikut adalah
kutipannya, “Pahlawan bertopeng adalah istilah yang dicomot Kyai Adung untuk
menyebut siapa saja yang gemar melontarkan pendapat, wacana atau pembelaan
mereka terhadap paham dan kelompok yang secara kasat mata jelas-jelas
menyimpang dari kebenaran yang telah diterima secara ijma’ (sesuai kesepakatan para ulama). Mereka mencemplungkan diri dalam kancah wacana Ghozwul Fikr secara sukarela, karena pesanan atau sekadar cari
sensasi belaka. Ada juga yang fokus melempar-lempar kicauan di media sosial
yang ‘ngerusak’. Walau begitu, mereka
merasa keren karena berani bebas berpendapat nyeleneh sekalipun itu menyangkut
hal penting dalam agama.”
Ada bab yang menyentil berjudul Ngambek dan rasanya sayang kalau tidak
saya tulis ulang percakapan ala Kyai Adung dan Si Dimun berikut ini.
“Ya, diubah!”
“Pagimana ngubah surga dan neraka, Mas
Dimun?”
“Sudah saatnya dogma orang di luar Islam itu
masuk neraka diubah.”
“Diubah bagaimana?”
“Mereka juga berhak masuk surga seperti
kita!”
“Lha? Kalau mereka ingin masuk surga bareng-bareng,
ya, hayo jadi muslim yang taat. Bukan teologi Islam tentang surga dan nerakanya
yang diubah. Kalau engga mau, ya, yakini saja konsep surga mereka
masing-masing. Gitu aja, kok, reppooot.”
“Egois!”
“Kan, mereka punya konsep surga sendiri?”
Kyai Adung bingung.
“Betul. Tapi jika Islam tetap ngotot bahwa
yang masuk surga Cuma orang Islam, itu melukai perasaan mereka.”
“Lha, itu, ‘kan konsep Islam. Mereka masuk
surga juga berdasar konsep agamanya masing-masing. Mengapa harus terluka?”
“Iya, tapi tetap tidak etis.”
“Yang etis bagaimana?”
“Kita masuk surga bareng-bareng. Tak peduli
agamanya apa. Islam harus berpandangan seperti itu. Itu namanya rahmatan lil ‘alamin.”
“Kalau enggak bisa diubah, bagaimana?”
“Saya keluar dari Islam!”
“Ente enggak takut murtad terus masuk
neraka?”
“Saya beragama bukan karena ingin surga dan
takut neraka. Saya beragama karena ingin menunjukkan watak agama yang toleran!”
“Ah, ente kalap, tuh. Jangan main-main, Mas
Dimun. Entar beneran murtad, lho,” Kyai Adung santai.
“Itu urusan saya. Bagi saya, agama untuk
memberikan kasih sayang kepada sesama. Untuk apa beragama dengan dogma yang
menyakiti orang?”
Akhirnya Kyai Adung malas menimpali obrolan
soal surga dan neraka lagi. Malah, si Dimun dibawa ke restoran untuk diajak
makan siang.
Makan.
Selesai makan.
“Tengs,
Kyai. Gila, enak benar dagingnya.”
“Itu babi, tahu!”
“Wot?”
“Babi. Emang nape?”
“Babi itu haram!”
“Lha, ente yang makan. Ane, mah kagak!”
“Tapi…”
“Tapi, apa? Murtad juga haram, tahu! Udaaah,
enggak usah dipikirin. Itu orang yang ente kasihani supaya bisa masuk surga
bareng ente, hampir saban hari makan babi. Yang penting, ‘kan masuk surga
juga!”
“Tapi…”
“Yah, ente kagak takut neraka, malah takut
makan babi.”
“Huek! Huek! Huek!”
Qiqiqiqi
Sambil lari ke rest room, orang itu meracau tidak karuan. Di rest room, si Dimun memuntahkan semua isi perutnya hingga tak
tersisa. Perutnya kembali keroncongan. Dengan wajah campur aduk antara kesal,
sewot, dan gondok, si Dimun kembali ke meja hidang. Dilihatnya Kyai Adung sudah
pergi. Iseng dia bertanya pada pelayan restoran.
“Mba, maaf, tadi menu yang dipesan orang
kolot itu, apa saja, ya?”
“Orang yang kolot yang mana, ya?”
“Yang tadi makan bareng saya.”
“Oh itu. Sudah dibayar, Mas.”
“Maksud saya, menu daging yang tadi saya
makan.”
“Ooh. Ayam rica-rica dan stik domba muda,
Mas.”
“Wot?”
Wkwkwkwkwkwkw…
Si Dimun melongo. Rupanya dia dikerjai Kyai
Adung. Hatinya dongkol. Rupanya daging babi hanya tipuan Kyai Adung. Dalam hati
si Dimun malu sendiri, kenapa dia ngotot bilang babi haram, sementara dia
sendiri mau murtad.
Itulah sebagian cuplikan isi buku yang
menggambarkan gaya Kyai Adung memberi pelajaran. Masih ada kisah lainnya yang
kalau dibaca, pembaca akan dibuat mulai dari ketawa sampai introspeksi diri.
Logika percakapannya memang masuk akal namun pada alur ceritanya sangat terasa
fiktifnya. Yah, namanya juga dikemas dengan pendekatan Kyaikocakisme. Ada-ada saja tapi oke!
0 komentar:
Posting Komentar