Kisah bermula dari sekelompok pemain rugby yang bertubuh besar-besar dan
berumur 20 tahun-an ingin mengadakan kembali pertandingan di Peru. Mereka
menyewa pesawat Fairchild dan berangkat dengan 45 orang. Keberangkatan mereka
terpaksa berhenti di Argentina karena cuaca buruk dan berangkat kembali esok
harinya, melaju ke Pegunungan Andes namun naas, pesawat tersebut hancur dan
terpisah menjadi 2 bagian. 16 orang langsung meninggal, 1 kemudian menghilang
karena mencoba menyelamatkan diri dan tersisa 28 orang yang selamat namun
diantaranya mendapati luka yang cukup parah.
Makanan yang tersisa hanya berupa cemilan dan coklat-coklat, anggur dan
beberapa bungkus rokok. Pakaian pun hanya yang mereka kenakan, karena
koper-koper mereka berada di ekor pesawat dan jatuh jauh dari tempat mereka
berada. Mereka yang selamat cukup optimis kalau mereka akan tertolong karena
mereka melihat dan mendengar pesawat di atas mereka, namun pesawat-pesawat
tersebut hanya melintas dan tak melihat mereka.
Perjuangan dimulai, dengan salju yang terus turun dan menghujani mereka,
luka yang tak sembuh-sembuh, persediaan makanan habis, mereka harus berjuang
bertahan sampai tim penyelamat datang. Lalu, seseorang diantara mereka, Roberto
Canessa, seorang mahasiswa kedokteran tingkat 2, mengambil inisiatif untuk
mencari makanan lain agar mereka bertahan dan gagasan tersebut adalah memakan
daging teman mereka sendiri. Dengan bongkahan pesawat untuk dijadikan pisau,
mereka memotong sedikit demi sedikit daging yang ada dan membekukan di tumpukan
salju, jika matahari terlihat, mereka mengeringkan daging tersebut di atas
pesawat. Awalnya, mereka pun tidak mau dan akhirnya mengalah oleh rasa lapar.
Tak mau menyerah oleh keadaan, mereka membentuk tim ekspedisi untuk
mencari bantuan, tim pertama gagal, barulah tim kedua berhasil mencapai bangkai
ekor pesawat dan mereka menemukan koper-koper, makanan, serta radio. Bagai
menemukan harta karun, begitu pikir mereka saat itu. Namun, sayangnya bencana
tak henti-hentinya datang dan longsor salju menewaskan 8 orang dari mereka yang
selamat. Satu persatu dari mereka pun meninggal sampai tersisa 16 orang.
Ekspedisi ketiga, mereka mengirim 3 orang untuk berjalan lebih jauh lagi, namun
yang satu dikirim kembali karena bekal daging manusia yang dibawa ternyata tak
cukup untuk 3 orang. Nanda dan Roberto akhirnya berhasil menemukan sapi di
pinggir sungai dan ditolong oleh pengembala. Akhirnya, selama 72 hari bertahan
mereka dapat makanan yang layak. Dipandu oleh Nando, kepolisian Peru berhasil
menyelamatkan 14 orang lainnya. Dengan kondisi mengerikan dan kritis, mereka
langsung dilarikan ke Rumah Sakit, sebagian dari mereka bercerita bahwa mereka
memakan daging temannya sendiri untuk bertahan hidup. Keluarga dari para korban
tentu saja ada yang menerima namun ada juga yang tetap tidak ikhlas mendengar
berita tersebut.
Buku ini menurut saya banyak mengajarkan pelajaran hidup, ketika mereka
berada dalam titik lemah dan berjuang untuk tidak mati, mereka tetap berdoa
kepada Tuhannya dan menyebut doa tersebut sebagai doa Rosario. Tidak menyerah
pada keadaan, justru mereka tetap merasa beruntung karena banyak lainnya yang
lebih menderita dibanding mereka. Piers Paul Read menggambarkan kisah ini
begitu baik sehingga pembaca pun ikut merasa kengerian dan kesedihan yang
mereka alami. Emosi akan pro dan kontra ketika mereka memakan daging temannya
sendiri pun ikut saya rasakan, sekaligus penggambarannya membuat saya ingin
muntah. So, this Is a good books, pokoknya baca sendiri biar kerasa mencekamnya
perjuangan mereka.
Tanggal Terbit
|
:
|
April 2007
|
Bahasa
|
:
|
Indonesia
|
Penerbit
|
:
|
|
Halaman
|
:
|
390
|
Penulis
|
:
|
Piers Paul Read
|
0 komentar:
Posting Komentar