Buku yang ditulis oleh ST Kartono,
guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta ini mengingatkan bahwa menjadi guru
pertama-tama adalah untuk murid, melayani keingintahuan siswa, dan membangun
antusiasme belajar. buku ini merupakan kumpulan tulisan opini antara Juni 2008
hinga Maret 2011.
Buku ini terdiri dari 3 Bab. Bab 1
tentang Membangun Impian sebagai Guru. Bab 2 Menghidupi nilai, mengasah
Keterampilan mendidik. Bab 3 tentang Perjumpaan dengan Murid.
Pada setiap bab terdapat opini
tentang bagaimana profesi guru seharusnya dijalankan dan pengalaman pribadi
penulis ketika menjalankan profesinya sebagai guru.
Kebanggaan
Menjadi Guru
Kebanggaan menjadi guru hendaknya
ditanamkan betul dalam diri pendidik. Sekarang ini profesi guru banyak diminati
oleh orang-orang muda. Para calon mahasiswa memilih jurusan keguruan dengan
semangat berdasarkan pilihan mereka sendiri. Kebaikan demi kebaikan sekolah
pasti akan muncul dari para guru yang optimistik.
Tugas guru semakin komplesks dan
berkembang. Banyak pekerjaan administrasi yang cukup menyita perhatian guru.
Tanpa disadari guru sering menjadi guru untuk aparat pemerintah, menjadi guru
untuk dinas pendidikan, menjadi guru untuk aturan-aturan, menjadi guru untuk
kepentingan dagang di sekolah, atau menjadi guru untuk berjualan paham.
Itulah yang terjadi pada kondisi guru
sekarang ini. Banyak melupakan tugas pokoknya mendidik siswa. Guru lebih
disibukkan dengan urusan administrasi. Guru lebih tergopoh-gopoh menemui
panggilan kepala sekolah atau dinas pendidikan ketimbang menemui siswa. Guru
lebih takut dipecat atau dimutasi oleh pejabat pemerintah tapi tidak takut
mempersiapkan tampilan keteladanan kepada siswa. Guru cenderung lebih
tergopoh-gopoh mengerjakan tugas dari dinas ketimbang tugas pokoknya sebagai
pengajar. Saat dipanggil pejabat atau pemerintah maka dia akan bersegera.
Ketimbang memenuhi panggilan jam mengajar.
Menjalani
Profesi Guru dengan Optimis
Tidak sedikit guru yang menjalankan
profesinya tanpa kegembiraan. Keluhan tentang ketersediaan waktu yang minim.
Sementara itu dia harus mengajarkan materi ini itu, tidak boleh ada materi yang
terlewat. Materi pelajaran yang sangat banyak, tetapi waktu tidak mencukupi.
Guru hendaknya jangan hanya mengeluh
saja, tetapi harus menemukan cara
penyelesaiannya. Guru bukan seorang penonton, tetapi menjadi pemain. Menjadi
sutradara yang mencipta cerita. Menjadi pemain yang menentukan baik-buruknya
permainan. Gonta ganti kurikulum tidak perlu direpotkan. Pahami semangat dasar
pergantian kurikulum itu, singkirkan materi aksesoris. Rujukkan materi pada
buku-buku utama. ST Kartono telah membuktikannya dengan menjadi guru selama 17
tahun tidak sekalipun memakai buku pelajaran atau paket dari siapa pun dan dari
penerbit manapun.
Cara berpikir yang optimistik akan
menempatkan kesulitan sebagai sebuah tantangan. Jam pelajaran yang terbatas,
kurikulum dan buku yang selalu berganti, serta cekaknya finansial justru
menjadi tantangan untuk disiasati, diatasi, dan dihadapi serta diselesaikan. Jika
guru masih mengeluh tentang siswanya, mempersoalkan berbagai faktor
persekolahan sebagai kendala untuk menunaikan tugas keguruannya, maka perlu
dipikirkan ulang cara berpikir guru itu sendiri.
Guru harus optimis dengan
pekerjaannya. Hanya guru yang mempunyai semangat sajalah yang dapat menularkan
semangatnya, hanya guru yang mempunyai gambaran positif sajalah yang mampu
memberikan apresiasi positif kepada siswanya.
Tantangan paling besar para guru
bukanlah memahamkan pelajaran kepada siswa. Tetapi siswa yang tidak bergairah
atau ogah-ogahan di kelas. Irama persekolahan yang banyak libur atau
libur-masuk-libur-masuk, terasa efeknya di kelas. Disinilah pentingnya seorang
guru membuat suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan bagi siswa.
Dimulai dari
Kepala Sekolah
Mendidik, menyampaikan nilai-nilai (value)
atau mengajarkan keutamaan hidup adalah tugas utama seorang guru. Ada
pemandangan unik di sebuah sekolah dimana kepala sekolahnya menyambut siswa
yang datang. Dengan senyuman, menyalami siswa yang melintas menuju kelas. Agar
dapat menyalami para siswanya, kepala sekolah harus hadir lebih awal.
Berlawanan dengan kebiasaan atasan yang selalu hadir belakangan. Dia tidak
mungkin dalam waktu singkat menghafal satu per satu nama siswa,
sekurang-kurangnya memberikan keyakinan kepada para siswa bahwa sekolah adalah
rumah kedua yang nyaman untuk setiap orang muda belajar, tumbuh, dan
berkembang. Kepala sekolah dan semua guru di sekolah menjadi orang tua yang
menyejukkan setiap hati.
Pemisahan Kelas
Penelitian Carl Glickman (1991)
menyimpulkan hasil bahwa tidak ada keuntungan yang diperoleh dengan menempatkan
siswa ke dalam kelas berdasarkan kemampuan akademisna. Siswa yang berprestasi
lebih tinggi cenderung tidak menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik
ketika ia bersama dengan siswa-siswa yang berprestasi sama tingginya. Di sisi
lain, siswa yang prestasi belajarnya kurang justru semakin menurun prestasi
belajarnya ketika ia dikelompokkan dengan siswa lain yang memiliki prestasi
yang setara. Ada kebosanan yang dirasakan di dalam kelas yang kurang pintar. para
siswa di kelas demikian mempunyai gambaran diri buruk, tidak sehebat kelas
pintar.
Mengenal Murid
Satu perangkat penting bagi sebagian guru di sekolah
adalah album foto siswa tiap kelas. Ini membantu dalam mengisi raport. Tidak
sedikit guru yang menempuh cara-cara kebatinan, setengah menerawang ketika
menuliskan angka-angka dalam raport. Jangan-jangan, penilaian menyangkut
perilaku dan afeksi siswa ditentukan berdasarkan buram-terangnya foto.
Disayangkan jika relasi guru dan siswa dikelas hanya
sekedarnya tanpa saling mengenal. Murid harus mengenal gurunya, sementara guru
tidak perlu mengenal muridnya.
Padahal kondisi ini bisa disiasati. Misalnya dengan
seorang guru yang meminta siswanya memasang papan nama di dadanya pada
bulan-bulan pertama memulai pelajaran demi memudahkan menghafal nama siswa. Menghafal
nama siswa menjadi awal mengenal lebih lanjut seluruh konteks kehidupan siswa,
latar belakang keluarganya, atau penunjukan akan terasa lebih menyentuh siswa
dengan menyebut namanya. Bandingkan dengan cara guru menunjuk siswa dengan kata
ganti ‘kamu’, ‘kau’, ‘lu’, atau ‘itu yang berbaju merah’, ‘itu yang duduk di
belakang sendiri’.
Buku ini sangat aplikatif. Sering terjadi dalam
keseharian seorang guru. Mungkin saja banyak guru yang mengalami kejadian
seperti yang diceritakan oleh Kartono. Namun kepiawaian Kartono dalam
mendokumentasikan kejadian itu yang membuatnya menjadi berarti.
Judul buku : Menjadi guru untuk Muridku
Penulis : ST Kartono
Cetakan ke :
5
Tahun terbit :
2015
Tebal halaman :
271 halaman
Peresensi :
Supadilah
0 komentar:
Posting Komentar