Kimya
Sang Putri Rumi
Kimya, ya itu
namaku. Bahkan sebelum aku lahir namaku telah jauh jauh hari disiapkan.
Tepatnya oleh seorang pengembara yang akan melakukan perjalanan ke Damaskus.
Menurut Evdokia ibuku, ia seolah mengetahui anak yang dikandung. Bagai seorang
peramal ia mengatakan “bayi ini akan tumbuh menjadi anak perempuan. Namanya
Kimya. Masa depan gemilang menantinya” h. 24. Evdokia dan Faroukh babaku hanya
saling pandang.
Ibuku seorang
Kristiani taat sedang babaku seorang muallaf yang rajin menjalankan rukun islam
walau ia selalu absen mendengar khutbah sang Imam di mesjid tepatnya pelataran
gereja. Meski berada di dua keyakinan beda aku tumbuh baik. Kami tinggal di desa
tepat di lereng gunung nun jauh dari hiruk pikuk kota dan cahaya.
Masa hidupku
adalah masa dimana tulisan dianggap kuno, aneh layak purba. Tapi tidak
denganku, pertama kali aku mengenal tulisan lewat seorang pendeta atau pastur
yakni bahasa Yunani. Gejolak kekuasaan menyelimuti wilayah timur, Eropa dan
timur tengah—jika dialokasikan pandangan saat ini. Seperti kaum barbar Frank yang
hendak masuk Palestina. Sultan Alauddin Keykobad adalah pemimpin Konya pada
masanya berkisar tahun 1239 M. Bahauddin Walad, siapa ia? Adalah baba dari
Jalaluddin Rumi. Tak ada sangkut paut dengan baba Jalal justru dengan Jalal lah
aku, Kimya, mengenal sosok (itu) yang masyhur dengan nama Maulana. Melalui
mimpi aku mengenal Maulana walau kami tak sekalipun bertemu. Tapi nama itu
pernah dibicarakan oleh Ahmed. Orang yang tinggal di Gua. Aku dan Maulana
bertemu dalam cerita.
Pater Chrisostom,
inilah ‘malapetaka’ ku yang menyebrangi singgasana langit. Bukan bukan meluhuri kuasaNya melainkan menapaki
jalan menujuNya. Semua berasal dari bahasa, dari kata yang tak aku mengerti
namun membuat hati sejuk, sesejuk senyum pagi di bukit cinta sang alam. Doost, apa itu doost? Ahmed mengajarkan kata itu kepadaku. Asal katanya dari
Persia. Dia berasal dari Konya yang memutuskan hidup di pedalaman hutan jauh
dari kota dan dekat dengan desaku. Mendengar kata itu rasanya taka sing bagiku
namun sejatinya aku baru kali ini mendengarnya. “doost berarti kekasih, yang kucintai, yang kurindukan” katanya
menekankan.
Konstantinopel ibarat
kerajaan super mewah dengan ornament yang memikat sahaja. Keberadaannya tak
ditakluk nalar bagai imajinasi yang terdesain hebat di gurun (dunia) fana. Pada
masa nahkodanya terjadi perang salib IV yang digawangi dua kutub gereja, gereja
timur dan gereja latin. Dengan satu keyakinan saja sudah terjebak angkara murka
apalagi jika beda keyakinan. Itu gambar kuasa, padahal dunia tak pernah milik
seorang maupun siapa kecuali ia adalah budak dunia. Bagai beban yang tak
tertahan dipundak hingga sesak pada jiwa, merana di hati dan susah di raga. Ini
benar kisahku, Kimya, bagian sejarah walau semesta tak mencatat tapi memori
tetap lestari di benak raga bumi.
Ada banyak bahasa yang
dipakai dunia, setahuku setelah mendengar dari Ahmed yakni Arab, Persia, Yunani
dan Islam dengan bahasa Turkoman. Venesia, Saxon, Frank sedang tiga bahasa itu
ada di barat. Diriku berikut warga desa menggunakan bahasa turkoman yang asal
bahasa dipakai yaitu yunani. Seiring perkembangan islam bahasa yunani seperti
terkelupas. “Rasa heran mengapa begitu banyak bahasa yang dipakai
manusia?”kataku, “Apa yang kita ketahui akan kehendakNya? Walau banyak jalan
menujuNya bahkan tak terbatas. Apabila kau bias melaluinya, setiap orang akan
menyadari bahwa tujuannya selalu sama”
terang Ahmed, “jadi, semua akan berbicara bahasa yang sama nantinya?, tapi
bahasa apa yang dipakai?” Tanya Kimya mengalun. “kau tahu, ku piker saat itu
kita tak perlu lagi bercakap-cakap. Kesunyian adalah bahasa kita bersama”
tuntas Ahmed. H. 77
Daratan Anatolia
dan Taurus, dua wilayah yang dibidik dua imperium besar Bizantium dan Persia, sedang
di sisi lain kaum (barbar) Mongol siapsiap menerkam kekuasaan. Seberapa genting
keadaan itu? Aku tak tahu pasti hanya menerawang seberapa bertahan aku ini
sebagai Kimya di masanya. Wasiat terakhir Pater sebelum meninggal di sebrang
tetangga desa diperuntukkan khusus buatku menuliskan suster Andrea dari Biara
Santo Peter, Konya. Isi surat itu aku tahu berbunyi demikian setelah aku
menanyakan kepada Ahmed yang asyik dengan rumah gua nya, sendiri di lereng
gunung. Sekonyong-konyong rasa bahagiaku menggelembung ke angkasa yang disambut
langit ceria. Semua itu tiada lain agar aku dapat belajar lebih banyak. Walau
dalam pandangan keluarga maupun warga desa aku kategori anak perempuan aneh.
Karena asyik dengan duniaku. Begitu kata mereka yang memahami dan memang aku
pun merasa tak paham seperti halnya mereka. Tentang keasyikanku.
Masalah Kimya
sekarang sudah menjadi pembicaraan masyarakat desa yang seolah ikut andil dalam
memutuskan kepergiannya ke Konya h.96-97. Hal demikian sama sekali tidak
mengganggu keputusanku untuk pergi ke Konya guna menuntut ilmu walau dalam
pandangan warga hal itu tidak akan bias mendatangkan makanan. Semua itu aku
makan bulatbulat agar tidak mengecoh tekad dalam benak dan pikiran ini.
Aku berlabuh di Kose
Dagh, tahun 1243 M/641 H., Kimya jatuh di usia 11 tahun. Aku tinggal dengan
Maulana families. Mereka hangat saat menerimaku sebagai anggota keluarga.
Banyak hal menjadi ‘sesuatu’ yang bermakna selama tinggal di sana. Walau
‘sesuatu’ itu menggelantung di pikiran karena aku tak tahu bicara tentang apa
sesuatu itu.
Kerra mendengar
dengan jelas apa yang dipesankan oleh suaminya Maulana Jalaluddin Rumi, “ini
Syamsuddin sahabat karib jiwaku, kau harus memperlakukannya sebagai hal paling
berharga dari diriku.”h.145. Pesan tersebut coba aku cerna walau kadang
bersinggungan dengan hasrat si empu pesan. Tapi biarlah mungkin suatu saat
jawaban akan menghampiri kebingunganku saat ini. Tutur Kimya. Berkhayal tentang
Konya, tentang madrasah—sekolah,
tentang belajar dan lain hal di sini? Semua itu hanya terjadi dalam baying
saja. Menurutnya—Maulana, aku adalah murid terbaiknya padahal sejak tiba dan
bertemu dengan beliau di Konya, penampakan-penampakan akan rutinitas belajar
telah Nampak di pelupuk mata sejatinya tapi kenyataan menginginkan lain belum
pernah aku—Kimya menginjakkan kaki sekali saja di madrasah dan menuntut ilmu seperti
muridnya yang lain. Namun Justru yang keluar dari mulutnya bahwa aku adalah
murid terbaiknya? Bagaimana hal itu bias demikian? Bagaimana hal itu bias aku
terima begitu saja selain daripada memasak menjadi rutinitasku yang baru
bersama Kerra dan anak bungsu mereka (Kerra dengan Jalal) yakni Alim? Walaupun
memang aku tidak meniadakan kalau di samping itu selagi kami, aku dengan
Maulana, bersama di rumah selalu ia sempatkan melantunkan puisi bait demi bait
yang seperti pesan hidup. Begitulah yang dapat aku cerna. Atau di saat kami
berdua pergi ke luar ia selalu mengisahkan tentang kehidupan paripurna dari
tokoh terbaik dan aku terima hal demikian itu, terasa aneh memang namun membuatku
nyaman.
Maulana seperti
juga Faroukh? Faroukh adalah babaku, Maulana pun iya hanya rasarasanya ia
lebih, teman, sahabat, guru, orang baik/sholeh, arif/bijak, dan tentram kala
berada di sisinya. Jelmaan dari makhluk sucikah ia? Hem, entahlah bagiku ia itu
alarm yang meraihku dengan sajaksajak cintaNya yang rupawan.
“Jadi kau bahagia rupanya,”senyumnya seakan
berkata “dan hatiku mengembang bahagia karena kebahagiaanmu”h.145. “anugerah
Allah kadang sangat sulit dihargai manusia. Namun, begitulah, anugerah adalah
anugerah.”h.147. kata-kata itu seperti menari di atas pikiran ini. Tak tahu apa
maknanya tapi hati tersanjung dibuatnya. Katakata Kerra, Maulana dan sekarang
Syam teman karib sang guru.
“Tabriz adalah
mesjid mesjid yang membiru lelangit yang cerah terang, sedangkan Konya adalah
kota cahaya. Mawarmawar kota Tabriz kecil dan berwarna kuning pucat dan hatinya
berdarah-darah. Belum ada mawar seperti itu di Konya. Tetapi suatu hari nanti,
mawar seperti itu akan tumbuh dan berkembang”h.152. Itu yang pernah Syam
katakan saat perjumpaan kami di dapur dengan keadaan diriku yang berjibaku di
dunia cita rasa. Sungguh, aku tak mengerti dengan katakatanya, hanya anggukan
kosong saat aku merespon ucapannya. Lagilagi aku dibuat mabuk kepayang dengan
berbagai kalimat yang membuatku takjub. Ya Allah inikah pelajaran berharga itu?
Hingga aku mengulang katakata itu dalam ingatan, tetap saja aku tak karuan
dibuatnya, tak mengerti.
“Hati ingin menerima semuanya dengan lapang dada.
Tidak bias hanya mengingini sisi kue yang kita sukai. Hati menginginkan
semuanya, apa yang dipandang baik atau buruk, apa yang dianggap bahagia atau
pun yang kita sangka sebagai penderitaan, dan hati tidak mengenal imbalan
maupun hukuman. Bisakah kau membayangkannya?”sahut Sadruddin. h.160.
Perkataannya menjadi hiasan obat mujarrab bagiku disaat aku menginginkan
sosoknya, sosok suami yang setia disisi. Ya Syam ia adalah suamiku, tak berapa
lama setelah ia kembali dari Damaskus dalam diam—saat pergi—yang membuat hati
Maulana rapuh, kesepian karena teman sang jiwa pergi tanpa pesan. Untuk
me-normalkan keberadaannya di Konya, maksudku tidak beranjak pergi lagi maka
hubungan/ikatan dua keluarga di satukan walau ia—Syam—tidak tahu dimana
keluarganya berada. Aku menikah sesaat setelah dating tandatanda baligh, atas
kemauanku, tanpa paksaan. Kerra yang menyampaikan pesan Maulana kepadaku apakah
aku bersedia jika dinikahkan dengan Syam.
“Maulana telah memasuki dunia tanpa dimensi.
Dan, bila dikehendaki Allah siapapun yang menyintainya akan turut memasukinya.
Dunia yang tak kau kenal anakku. Harta karun terpendam di jalan itu dan bila
Allah berkehendak, suatu saat harta itu akan menghampirimu. Tetapi ingat,
kepedihan harus dijalin dengan benang-benang cinta dan kesabaran. Jangan
biarkan kepedihan itu meracunimu. Sebuah karpet yang indah tidak terjalin dalam
waktu sehari. Kau baru berada di permulaan.”h.161. Sadruddin menjelaskan kepada
Ahmed salah satu murid Maulana yang merasa gurunya telah kehilangan pendirian
setelah keberadaan Syam meresahkan muridmurid Maulana yang lain. Mereka (Syam
dan Maulana terutama) seakan lupa dengan keberadaan para muridnya yang haus
dengan kearifannya saat belajar tentang makna kebesaranNya. Sadruddin adalah
salah satu teman Maulana yang memiliki tingkat kearifan sama dengannya.
Maulana sering
menegaskan bahwa cinta adalah sungai kehidupan abadi. Cinta ibu kepada suami
dan anak adalah sebuah sungai dan sungai itu akan membawa kita semua menuju
lautan yangs ama. h.166. pesan itu seperti nyanyian yang melenakkan sang jiwa.
Hem, tutur bahasa yang agung.
Orang-orang ramai
memperbincangkan dan menghakimi tentang apapun yang pada dasarnya tidak mereka
ketahui. h.175. Begitulah ketusku dalam hati saat pergi kepasar untuk membeli
berbagai keperluan kantor (dapur). Mereka seperti iba kala melihatku, yang
katanya, aku tidak bahagia atas pernikahanku dengan Syam. Memang apa bahagia
itu? Menurutku aku bahagia saat ia menghampiriku dan bercakap-cakap (walau ia
sendiri yang seolah berpesan tentang makna hidup yakni tentang entitas Tuhan,
sedang aku diam terhanyut dalam pelukan cintanya). Aku hanya ingin menikmati
cinta, walau sepi kian menjalari. Dan ia Syam, dalam selasela kebersamaan kami
ia menyisipkan pesan bahwa cintaku tidak boleh melebihi cinta kepadaNya dan ia
menegaskan bahwa dirinya hanyalah debu dalam lautan fana, sekedar menjalani
titah. Lalu cinta, apa itu cinta? Saat bersama dengan ia maka cinta itu ada?
Atau saat dalam kesendirian dimana kesenyapan dan kesunyian itu melanda, yang
memaparkan entitas Tuhan dalam pandangan rasa, raga dan roh itulah sebenarbenar
cinta? Katakata itu seperti meledek batinnya, ia mual, ingin sekali
mengenyahkannya namun ia tak kuasa dan menyerah dalam nada tangis yang mengguncang
langit. Aku hanya ingin merasakan cinta, itu saja. Pekiknya dalam tangis.
”Sinar matahari
bias saja disamarkan oleh gumpalan awan, tapi cahaya sang surya tetap menyinari
permukaan bumi. Sang mawar bias saja bersembunyi dari pandangan mata, tapi sang
angin akan menyebarkan keharumannya. Tidak tahukah kau, hati bias saja
merasakan apapun, tapi sang jiwa tidak pernah berhenti bercakap-cakap” h.181-182.
Inilah pesan balasan Syam kepada Maulana ketika pergi dalam diam.
”Aku tahu Kimya.
Kenangan masa lalu adalah tukang sihir licik yang sangat tangguh. Jika kau
tidak hati-hati, dia akan membujukmu untuk kembali ke masa lalu, dia akan
mereguk air murni kehidupanmu sendiri. Lantas, kau akan mendapati dirimu begitu
hampa ditemani kabut mimpi yang melenakkan.”h.195.
Kegembiraannya saat
Pater dating dan mengajarinya baca tulis huruf Yunani; gelora keingintahuannya,
saat pertama kali melihat huruf Persia, mengeja doost yang ditulis Ahmed di tanah berdebu. h.221.
”Ketika hatimu
terluka parah jangan, hanya ada tiga aturan main: jangan mengenyahkan kepedihan
itu, jangan pernah mencoba untuk mengerti, dan jangan tenggelam dalam kepedihan
itu. Buatlah dirimu berserah diri seperti sebatang pohon muda yang terperangkap
dalam badai. Biarkan badai itu menghantammu. Jangan pernah menentangnya dan
jangan pula membantah keberadaannya—bagaimana mungkin kita bias menafikan angin
dan hujan?—dan jangan pernah menyesalinya”h.245.
“Syam adalah tuan dari takdirnya sendiri”h.253.
Manusia tidak lebih dari noda debu yang saling bergesekan, tentu saja ada
saatnya hal itu membuat kita tak nyaman. H.256. Kehendak Tuhan itu untuk
dijalankan bukan dipertanyakan. Ada masanya saat kedamaian dan kehidupan
seperti dua aliran sungai yang mengalir berdampingan menuju lautan yang sama. h.266-267.
Pekerjaan itu hamper rampung sedang aku tidak melakukan apapun. ini hanyalah
permulaan.h.268-269.
Suarasuara cinta
yang menari dalam hati, padahal diri terperangkap dalam diam, lelah, letih,
lesu dan tak berdaya untuk mengecap berberapa diantara semua suara. Mawar yang
berdarah-darah, cahaya yang tetap bersinar, sebatang pohon muda, doost, masa lalu, cinta, mungkinkah
semua itu adalah permulaan dari sebuah jalan yang kan menuntunku dalam diam?
Hati yang selalu berdegup kencang itu kini perlahan lemah dan lepas dari tali
temali (urat). Tabib berkata kalau jantungku memang tidak baik, harus banyak
istirahat. Sudah berapa lama aku berbaring? Aku pun tak ingat pasti. Hanya
lilinlilin yang berbeda ukuran itu menyiratkan cahaya yang sama dan aku merasa
hangat dibuatnya. Tentang desa, Evdokia, Faroukh, Syam, Kerra, Maulana, Ahmed,
Pater dan banyak yang lainnya hati ini milik kalian. Dengan wajah tersenyum,
mata indah yang tertutup kelopak mata ia tidur selamanya. Akulah Kimya Sang
Putri Rumi.
Judul : Kimya Sang Putri
Rumi
Penulis : Muriel Maufroy
Penerbit, th.
Terbit : mizan, cetakan ke-2 2008
Hal : 272 hal.
ISBN : 979-433-481-2
Isaimamiqi
0 komentar:
Posting Komentar