Tidak lagi di Mesir akan tetapi di
Inggris, lanjutan kisah hidup Fahri berlanjut dalam Ayat-Ayat Cinta (AAC) 2.
Kehidupan Fahri disajikan untuk menggambarkan perspektif internasional terhadap
Islam yang ditulis dengan gaya khas Kang Abik. Luasnya wawasan Fahri terhadap
perbandingan agama menjadi modal dalam membangun hubungan dengan beragam
komunitas di Inggris. Fahri digambarkan sebagai sosok yang mudah bergaul, penuh
kebaikan, cerdas, dan mandiri. Novel ini setidaknya mengusung semangat seorang
Indonesia yang sukses di Mancanegara. Isi novel ini layak dibaca semua kalangan
meskipun antusiasme saya membaca AAC 2 menjadi menurun jika dibandingkan
membaca AAC 1 pada sekira tahun 2007.
Namanya juga Ayat-Ayat Cinta, tentu
tidak terlepas dari kisah cinta pria dan wanita. Fahri adalah sosok idola kaum
hawa dari berbagai etnis global. Istrinya yang bernama Aisha adalah keturunan
Jerman dan Turki sedangkan almarhumma istrinya yang kedua, Maria, berdarah Mesir.
Pada kenyataannya, jarang loh seorang pemuda Indonesia bisa mempersunting
wanita Eropa dan Mesir. Kang Abik memilih menceritakan yang jarang itu. Saat Aisha
menghilang di Palestina, Fahri mendapatkan perhatian dari wanita-wanita seperti
Heba yang keturunan Arab, Hulya sepupu Aisha, dan Keira, remaja Skotlandia.
Bukan karena kekayaan yang dimiliki Fahri tetapi ketulusan dari setiap perilaku
Fahri yang membuat para wanita menaruh hati padanya. Hingga kemudian Fahri
menikah untuk yang ketiga kalinya. Meskipun demikian, Fahri yang penuh kasih
juga memperlakukan baik para tetangga yang berlainan agama dengannya, seperti Nenek
Catarina seorang Yahudi dan keluarga Keira yang Kristiani. Cinta yang
ditawarkan dalam novel ini adalah cinta yang selayaknya dipancarkan dari diri setiap
muslim.
Semula saya duga, AAC 2 akan berisi
kisah romantis Fahri dan Aisha. Ternyata malah sebaliknya, Aisha menjadi tokoh
paling terzhalimi. Aisha hilang saat mengunjungi Palestina sementara teman
wartawan yang bersamanya ditemukan tewas mengenaskan. Aisha harus rela
kehilangan muka cantiknya karena suatu alasan yang membuat dirinya harus
menggesek-gesekan muka di tembok. Ia kemudian lebih memilih terlunta-lunta di
Inggris dengan menyamar sebagai Sabina. Suaranya juga berubah menjadi serak.
Aisha tidak ingin suaminya mengetahui penderitaannya. Baginya, kesedihan cukup
diadukan langsung pada Allah dan tidak ingin membuat Fahri sedih atas kondisi
dirinya. Bahkan saat Aisha ditolong untuk tinggal di rumah Fahri, suaminya tidak
mengenalinya sama sekali. Tak ada hati seorang istri yang tetap sabar menerima
kenyataan ini selain Aisha.
Sesungguhnya, Fahri teramat tersiksa
atas kepergian Aisha. Semua orang menganggap istrinya telah tewas tetapi Fahri
tetap yakin bahwa Aisha masih hidup. Hari-hari Fahri bagai pohon yang disiram
minyak tanah tetapi tetap berupaya menumbuhkan tunas. Beruntungnya, Fahri
memiliki keimanan yang kuat sehingga ia tetap menjalani hidup dengan
sebaik-baiknya. Ia tetap menjaga dan mengembangkan kekayaan istrinya dengan
membuka cabang minimarket dan butik di seantero Inggris Raya. Semata dijadikan
untuk amal jariyah kepada istrinya.
Kenyataan bahwa Sabina adalah Aisha
baru dibuka di akhir novel. Akan tetapi pembaca sudah bisa menebak siapa
sebenarnya Sabina. Kang Abik seperti menghendaki pembaca merasakan kepedihan
Sabina. Bagi saya, penggambaran seperti ini membuat saya gemas dan ingin segera
menamatkan isi buku dengan membaca sekilas demi sekilas. Syukurnya, ada
potongan-potongan paragraf sarat hikmah yang sering muncul sehingga sayang
untuk melompat-lompat dalam membacanya. Misalnya,
“Tiba-tiba Fahri ingat perkataan Imam
Abu Hanifah. Imam besar salah satu imam empat mazhab fiqih itu pernah
menjelaskan bahwa membaca sejarah hidup orang-orang saleh, lebih ia sukai daripada
belajar ilmu fiqih. Sebab membaca sejarah hidup orang-orang saleh –selain
mendapatkan hikmah-hikmah kehidupan yang berserakan– seringkali juga akan
mendapatkan ilmu yang berlimpah, termasuk ilmu fiqih. Bahkan fiqih dalam makna
seluas-luasnya.” (h. 362-363)
“Dengan menahan isak, Syaikh Muhammad
Abduh mengucapkan kalimat yang kemudian sangat terkenal di seantaro dunia
Islam, Al Islamu mahjuubun bil muslimin. Islam
tertutup oleh umat Islam. Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk
umat Islam. Dan perilaku-perilaku itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran
Islam…” (h. 388)
“Di dalam masjid, ratusan orang
menyimak dengan khusyuk kalimat-kalimat hikmah Al Haris Al Muhasibi yang diurai
dengan fasih oleh Fahri, Wa’lam annahu
laa thariqa aqrabu minash shidqi, wa laa daliila anjahu minal ‘ilmi, wa laa
zaada ablaghu minat taqwa. Dan ketahuilah, tidak ada jalan yang lebih dekat
dengan kejujuran, tidak ada dalil yang lebih berhasil dari ilmu, dan tidak ada
bekal yang lebih sampai dari takwa.” (h. 651)
Menurut saya, kelemahan dalam dalam
novel ini terletak pada penggambaran karakter yang menjadi sangat khas
Indonesia. Cenderung penurut dan masih memperhatikan adat ketimuran yang agak
kurang logis jika dilakukan oleh tokoh-tokoh etnis Skotlandia dan Turki. Selebihnya,
AAC 2 adalah novel santun yang menyentil realita kehidupan manusia saat ini
untuk menuju tatanan kehidupan yang jujur, berilmu, dan bertakwa. [NT]
Judul Buku : Ayat-Ayat Cinta 2 Sebuah Novel Pembangun Jiwa
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika Penerbit
Jumlah Halaman : vi + 697
Tahun Terbit : Desember 2015
Peresume : Novi Trilisiana
0 komentar:
Posting Komentar