Penulis : Parlindungan
Marpaung
Judul : Setengah
Pecah Setengah Utuh
Tahun : 2012
Penerbit : Erlangga
Resume Bagian 2
Seperti gambut yang harus dibakar terlebih dahulu agar dapat
digunakan, seperti liat yang harus ditempa dengan cara dibanting, dipukul, bahkan
diinjak injak, dan dibakar pada proses akhirnya. Seperti itu pula telur yang
harus dipecahkan terlebih dahulu agar dapat digunakan.
Tidak jarang, bahkan sering kali kita mengetahui bahwa
seseorang perlu melewati masa-masa sulit terlebih dahulu, sebelum mencapai
sebuah kesuksesan. Masa sulitlah yang seringkali menempa kita menjadi sosok
yang kuat, tangguh, juga bijaksana. Masa sulit juga merupakan salah satu cara
Tuhan untuk mengingatkan kita untuk selalu bersyukur karena dimasa sulit kita
bisa merasakan secuil nikmat menjadi sesuatu yang luar biasa, lalu kita
bersykur atas itu. Bukankan dengan bersyukur nikmat yang kita miliki dijanjikan
Tuhan akan menjadi berkali kali lipat?
Tuhan tidak akan menempatkan kita dimasa sulit melebihi dari
batas kemampuan kita. Masa sulit, seberapapun sulitnya, kita harus percaya
untuk bisa melewatinya entah itu baik atau buruk, tergantung cara kita untuk
menyikapinya. Bukankah untuk naik kelas kita perlu ujian terlebih dahulu? Namun
tidak semua manusia menginginkannya dan memilih tetap berada di zona nyaman
agar tidak terkena masalah dan tetap berada ditempat yang sama tanpa kemajuan,
pada akhirnya (mungkin) akan menyesal.
Diceritakan seorang prajurit ditugaskan untuk bertempur
dimedan perang. Di medan perang banyak prajurit yang meninggal, cacat dan
luka-luka. Setelah perang usai prajurit ini menelpon orang tuanya
memberitahukan bahwa dia selamat dan akan pulang minggu depan. Mendengar hal
tersebut orang tua sangat bahagia, namun prajurit mengajukan permohonan untuk membawa
serta temannya yang kehilangan tangan kanan dan kaki kirinya. Menanggapi
permohonan anaknya, sang ibu awalnya berempati lalu berkata “nak, apabila kita
menampungnya dirumah, bagaimana kita merewatnya? Kita sekeluarga akan kerepotan
mengurusnya. Belum lagi kita akan kita mengeluarkan banyak biaya untuknya,
sebaiknya engkau carikan tempat rehabilitasi atau tempat penampungan yang
sesuai untuk kondisinya agar dia nyaman disana, jangan dirumah kita”. Mendengar
tanggapan sang ibu, prajurit mengiakan dengan lirih. Ketika waktu kepulangan si
prajurit tiba, orang tua tidak kunjung mendapati anaknya hingga tiga minggu
kemudian mereka mendapatkan kabar dari komandan bahwa prajurit telah meninggal
dengan melopat dari gedung lantai 8 dan orang tua diminta untuk ke kamar mayat
utuk melihat kondisi zenazah anaknya. Namun betapa terkejutnya mereka melihat
jasad anaknya tanpa tangan kanan dan kaki kiri. Ternyata “teman” yang dimaksud
prajurit itu adalah dirinya sendiri, menurut keterangan teman-temannya, usai
menelpon orang tuanya si prajurit tampak murung dan tidak ingin pulang, hingga
akhirnya dia depresi dan memutuskan untuk bunuh diri dari pada harus merepotkan
kedua orang tuanya untuk mengurusnya.
Tidak ada penyesalan yang lebih besar sang ibu melebihi apa
yang dirasakannya untuk tetap memilih “aman”. Kita senantiasa menghindari masa
sulit atau ingin segera keluar dari masa sulit, tapi apakah kita juga
senantiasa memikirkan dampaknya?
Khairisa_IM2 (13 Mei 2015)
0 komentar:
Posting Komentar