Menyeimbangkan Pemikiran Pendidikan Barat dan Islam
Judul Buku : Pedoman Pendidikan Modern
Penulis : KH. R. Zainuddin
Fananie
Penerbit : Fananie Center
Tebal Halaman : 140 halaman
Dalam
pendidikan Indonesia, rasanya kita sudah tak asing mendengar nama pejuang
pendidikan seperti KH Hajar Dewantara, RA Kartini dan pejuang pendidikan
lainnya. Mereka dinilai sukses menanamkan dan menyebarkan virus nasionalisme
melalui karyanya. Tidak mengherankan, gelar pahlawan nasional pun berhak
disandangnya. Sebuah pengakuan penting yang diberikan kepada pemerintah untuk
orang yang berjasa mengharumkan nama bangsa.
Tapi
ada yang seringkali luput dari dunia pendidikan Indonesia, yakni peran ulama
dan kyai dalam mencerdaskan anak bangsa. Sebagai bangsa yang mayoritas Islam,
kita agaknya terlalu sering melupakan peran ulama. Padahal, selain
memperjuangkan kepentingan nasional dengan gerakan revolusionernya, para ulama
juga memberikan pendidikan ilmu dunia dan pembinaan ilmu akhirat kepada rakyat.
Mereka dapat dikatakan sosok muslim pejuang yang menegaskan, cinta tanah air
adalah bagian dari keimanan.
Salah
satu ulama yang sekaligus pendidik dapat ditemui dalam kepribadian dan sosok KH
Zainuddin Fananie, salah satu founding
fathers Pondok Pesantren Islam modern Gontor. Ulama yang pernah
berkontribusi aktif dalam pergerakan Islam dan kebangsaan ini menjadi sosok
pendidik yang menganggumkan. Dalam kerja nyata, beliau pernah menjadi konsul
Muhammadiyah di Sumatera Selatan, aktif dalam Partai Sarekat Islam Indonesia
dan pernah menjabat Pekerja Badan Harian
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tak hanya berhenti dalam beramal, ulama besar
ini juga menyumbang delapan buku penting yang mengajarkan kepemimpinan,
pendidikan, rumah tangga dan kepribadian muslim.
Secara
umum, buku yang ditulis ulang setelah hampir 76 tahun tersimpan di Belanda ini
menggagas konsep pemikiran pendidikan yang cukup visioner. Pertama, belakangan
ini kita sering mendengar pemerintah terus menggaungkan pendidikan karakter.
Banyak yang menilai, konsep itu murni pemikiran Barat. Tapi ternyata pandangan
itu dirasakan kurang tepat setelah Anda membaca buku. Sebab, KH Zainuddin
Fananie ternyata sudah aktif sejak dahulu mengembangkan konsep pendidikan
karakter.
Beliau
membagi pendidikan menjadi dua, pendidikan jasmani (pendidikan kekuatan fisik)
dan ruhani (pendidikan kesehatan mental). Pendidikan ruhani dibagi menjadi dua,
pendidikan akal dan budi pekerti. Pendidikan akal bertujuan agar peserta didik
menjadi pribadi yang logis, kreatif dan kritis. Sedangkan budi pekerti bertujuan
menghasilkan manusia Indonesia yang berintegritas, hati yang suci dan terus
bergerak dalam upaya berlomba-lomba dalam kebaikan.
Kedua, konsep
pendidikan rumah (homeschooling) Sejujurnya, penulis dibuat kaget bahwa konsep
pendidikan homeschooling yang belakangan cukup ramai diperbincangkan ternyata
sudah dikembangkan kyai kharismatik ini. Dalam salah satu pandangannya, KH
Zainuddin Fananie menyatakan, “Jika sekolahan tidak membuat anak semakin baik,
maka orang tua dapat mendidik anaknya di rumah. Dengan syarat, ada peraturan
dan dipakainya sistem pendidikan sekolahan, orang tua menjadi gurunya”
Pandangan
ini meninggalkan tiga pesan penting dalam kehidupan orang tua dan anak.
Pertama, jika mempercayakan anak ke sekolahan, maka orang tua tetap tidak boleh
melepaskan tanggung jawab mendidik dan mengasuhnya. Kedua, pendidikan di rumah
(pendidikan keluarga) adalah pendidikan informal bagi anak dan sekolahan
pertama bagi setiap manusia. Ketiga, sekolah harus mengajarkan pendidikan
keagamaan (dalam hal ini, agama Islam) bukan hanya mendidik kecerdasan
(berpijak pada intelektualisme semata) seperti yang digaungkan KI Hajar
Dewantara.
Ketiga,
dewasa ini kita mengenal adanya pramuka di setiap sekolah. Sungguh tak banyak
yang tahu, dimana kolonial sudah berkembang pendidikan serupa yang dinamakan
kepanduan. Mereka (pandu) mendasarkan gerakannya kepada tiga janji: janji
membela bangsa dan agama, menolong orang lain dan menjalankan undang-undang
pandu yang terdiri dari sepuluh bagian. Pendidikan kepanduan dirasakan penting
dalam mendidik manusia Indonesia agar mandiri, cerdas, kreatif dan kuat
fisiknya. Itu mengapa, kegiatan kepanduan mengarah kepada tujuan besar tersebut
seperti kemping (Fananie mengistilahkannya “Kamping”, olahraga, games edukatif
dan lainnya.
Keempat,
pentingnya memberikan reward and punishment (penghargaan dan hukuman).
Apresiasi perlu diberikan kepada peserta didik yang disiplin, menorehkan
prestasi dan memiliki rekam jejak yang baik. Hukuman diberikan kepada peserta
didik yang melanggar aturan sehingga menimbulkan efek jera sehingga tak
mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Untuk memberikan hukuman, KH
Zainuddin Fananie menekankan beberapa eiika seperti tidak mengandung kekerasan,
seimbang dengan kesalahan yang diperbuatnya, tidak diskriminatif dan bersifat
mendidik.
Itulah
sekelumit pemikiran pendidikan seorang ulama yang sekaligus pejuang pendidikan
di Indonesia. Selayaknya pemikir Islam, beliau tak hanya menekankan aspek
materialisme dalam mendidik generasi masa depan sebagaimana dikumandangkan
pemikiran pendidikan Barat yang mengacu kepada Yunani dan Romawi. KH Zainuddin
Fananie, menjelaskan konsep pendidikan yang integral dengan berpijak kepada apa
yang disebut dalam dunia pendidikan modern sebagai dimensi kognitif
(pengetahuan/intelektual), afektif (emosional) dan psikomotorik (spiritual). Melalui
buku ini, beliau juga mengajak kita untuk berfikir seimbang dengan tidak
sepenuhnya anti Barat, sebagai modernitas banyak berasal dari Barat, tetapi
menyaring pemikiran Barat yang sesuai dengan konsep ke-Indonesiaan dan
ke-Islaman.
0 komentar:
Posting Komentar