Kategori : Buku
Judul : Panggil Aku Kartini Saja
Penerbit : Lentera Dipantara
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Peresume : Puspita IM 1
Sebagaimana biasanya
ketika bulan April tiba, selain gegap gempita memperingati hari Bumi, Indonesia
biasanya cukup dibuat ramai oleh perayaan hari Kartini. Sekolah-sekolah bahkan
beberapa instansi pemerintah akan mengenakan pakaian adat selama sehari. Jujur
sih saya sering merasa geli, apa hubungannya Kartini dengan pakaian adat?
Terlepas dari style Kartini yang
sanggulan dan mengenakan kebaya, berfoto anggun dan dipasang di dinding sebagai
gambar pahlawan, saya amat sangat yakin bahwa apa yang diusung oleh Kartini
lebih dari sekedar masalah kebaya.
Selain soal berkebaya
yang (menurut saya) hampir tidak ada korelasinya dengan idealism yang diusung
oleh Kartini, ada lagi hal yang menjadi rutinitas intelektual masa kini.
Memperdebatkan mengenai jasa Kartini di masa lampau. Ada yang mengatakan bahwa
Kartini hanyalah alat Belanda untuk menanamkan feminism di negeri ini, ada pula
yang mengatakan Kartini adalah produk western
yang dilebih-lebihkan, karena sejatinya masih banyak pahlawan perempuan di
Indonesia yang (mungkin) lebih hebat dari Kartini tapi tidak diekspos
besar-besaran.
So, saya memutuskan
untuk membaca sejarah Kartini melalui buku ini. Jika ada yang mengatakan bahwa
Kartini hanyalah sosok biasa-biasa saja, sepintas jika dilihat di permukaan saya
turut mengamini. Dia belum sampai mendirikan sekolah sebesar sekolah keputrian
Nyi Ahmad Dahlan, Kartini juga mungkin tidak seberani Cut Nyak Dien yang turun
ke medan perang membawa rencong untuk membunuh penjajah. Kartini hanyalah
seorang perempuan yang bermodal pena, hobi menulis surat dan banyak curhat
dengan sahabat-sahabatnya di Belanda. Namun, di sinilah saya akhirnya berhasil
menangkap kecerdasan Kartini. Bahwa dia manusia yang berjihad dengan pena.
Iya…..curhat aja bisa membuat perubahan. Berarti curhatnya dia penuh strategi
dong? Jelas!!!! Dan strategi ini yang menurut saya tidak dimiliki oleh beberapa
pahlawan perempuan Indonesia yang mungkin sama keren dengan beliau tapi kurang
terangkat media. Kartini menuliskan apa yang selama ini menajadi pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran ini diarsip oleh sahabat-sahabatnya dan bisa diakses
generasi berikutnya.
Judul “Panggil Aku Kartini
Saja” seolah-olah menegaskan bahwa Kartini hanyalah manusia biasa saja. Dia
lahir dari kalangan keluarga bangsawan Jawa. Akan tetapi ibu Kartini hanyalah
seorang selir. Sebagai anak selir, kedudukan Kartini tetaplah dipandang sebelah
mata jika dibandingkan dengan anak-anak ayahnya dari istri sah. Di dalam buku
ini masih diperdebatkan siapa yang mengasuh Kartini saat masih kecil. Dalam
adat Jawa, seorang selir tidak tinggal di rumah Bupati (Ayah Kartini seorang
bupati). Bahkan Kartini sebagai anak selir hanya menempati rumah di kompleks rumah Bupati tapi bukan rumah
utama. Banyak yang menyebutkan kalau Kartini waktu itu diasuh oleh emban atau
bahasa keren jaman sekarang “nanny”.
Lagipula, orang-orang yang berpengaruh dengan pemikiran Kartini (yang sering
disebut di dalam surat) adalah ayah dan kakak-kakak laki-lakinya.
Jika saya amati lebih
jauh dari penulisan Pramoedya, saya memandang Kartini sebagai sosok koleris.
Kartini memiliki beberapa kakak perempuan. Tetapi kakak perempuan Kartini ini
nerimo, ketika mereka dipingit di usia 12 tahun, tidak diizinkan sekolah karena
peraturan adat, mereka pasrah saja. Kakak perempuan Kartini santai saja
menjalani kehidupan di pingitan, menunggu dilamar lalu menjadi istri bupati
atau pejabat pemerintah di masa itu. Sedangkan Kartini merasa tidak cukup, dia
ingin melanjutkan sekolah lagi seperti kakak-kakak laki-lakinya.
Pada suatu hari Kartini
mengobrol dengan teman Belandanya di sekolah. Teman Kartini yang bernama Lesty
mengatakan kalau dia ingin menjadi guru. Lesty kemudian menanyakan kepada
Kartini apakah cita-citanya? Ia menjawab, “Tidak tahu.” Pada masa itulah awal
kegelisahan Kartini akan masa depan.
Pada awalnya
surat-surat Kartini terkesan cukup labil, hanya memikirkan diri sendiri.
Bagaimana dia mengeluhkan kerinduannya untuk belajar bahasa Belanda, akan
tetapi sejak lulus dia kesulitan mencari partner yang bisa diajak berbicara
dalam bahasa Belanda. Namun semakin lama, semakin bertambah dewasa usianya,
pemikiran Kartini terlihat semakin matang.
Terlihat pada surat-surat
berikutnya. Kartini mulai peduli dengan keadaan bangsa. Ia menyampaikan kepada
teman-teman Belandanya, ada beberapa orang Belanda baik yang ia kenal, tapi
banyak juga yang jahat. Kartini membahas mengenai kekejaman Belanda dalam
memeras rakyat Indonesia, kerasisan kulit putih terhadap cokelat, bagaimana
para Belanda itu enggan menggunakan bahasa Belanda ketika berbicara dengan
pribumi. Para penjajah ini menggunakan Melayu babu agar masayarakat Jawa tidak
bisa menguasai bahasa Belanda dan terus-terusan tidak terpelajar. Kartini juga
mengkritik habis-habisan para pejabat pemerintah pribumi yang bersedia
diketekin oleh Belanda demi jabatan dan prestise.
Dia mengatakan orang banyak orang Jawa yang gila hormat (dan ia jadikan bahan
tertawaan), tapi Belanda pun juga sama saja. Di sisi lain Kartini tetap
memberikan apresiasi terhadap Belanda yang bersikap baik, pun juga dengan
pribumi yang tak lelah berjuang. Kartini tak henti memuji pendiri Sarekat
Dagang Islam. Kadang saya justru berpikir, kenapa kita di masa sekarang
ribut-ribut membandingkan Kartini dengan pahlawan perempuan yang lain. Saya
pikir, kalau saja Kartini kenal dengan mereka, ia pasti senang sekali karena
bertemu dengan orang-orang yang mempunyai visi yang sama.
0 komentar:
Posting Komentar