JUDUL BUKU : KEZALIMAN
MEDIA MASSA TERHADAP UMAT ISLAM
PENULIS : MOHAMAD
FADHILAH ZEIN
PENERBIT : PUSTAKA
AL KAUTSAR
CETAKAN PERTAMA :
MEI 2013
JUMLAH HALAMAN : XXIV
HALAMAN, 198 HALAMAN
Masih adakah yang ingat akan adegan baku tembak yang begitu dramatisir tatkala
pasukan POLRI Densus 88 mengepung sebuah rumah di Temanggung yang diduga
didalamnya bersemayam buronan Teroris nomor wahid kala itu, Nurdin M Top.
Penayangan berita ini secara langsung dilakukan dua televisi nasional,
TVOne dan Metro TV. Namun, penulis buku ini menilai pemberitaan ini tak lebih
dari reality show, mengapa? Karena penulis menemukan persoalan mendasar terkait
hal ini.
Bagaimana mungkin sebuah operasi intelijen dan pemberantasan terorisme bisa
diliput media secara langsung dan seketika? Artinya posisi kamera seperti telah
diatur sedemikian rupa sebelum acara penggerebekan sehingga sudut pengambilan
gambarnya sempurna. Menurut penulis, umumnya untuk operasi penggerebekan
semacam tu, awak televisi datang terlambat, lalu gambarnya bergoyang-goyang,
angle-nya aneh karena medan yang sulit, gambar kabur dst. Bahkan seorang
pengamat media, Sudaryono Achmad menilai pemberitaan ekslusif kedua televisi
ini bukan sebuah prestasi jurnalisme, melainkan hanya sekedar kemampuan akses
ke aparat kepolisian.
Terkait kejadian ini memicu beberapa media massa dengan zalimnya menstigma
buruk terhadap umat Islam, menuduh organisasi tertentu terlibat dalam jaringan
terorisme, padahal tuduhan itu bagaikan pungguk merindukan bulan.
Salah satunya pemberitaan Metro TV yang memberi asumsi bahwasanya aktivitas
Rohani Islam (Rohis) di sekolah dan universitas sebagai sarang teroris baru.
Akibatnya Metro Mini, eh Metro TV dianggap televisi yang anti terhadap
aktivitas dakwah rohis. FYI, Mantan wartawan Media Grup Edy A. Effendi,
mengungkapkan adanya sikap diskriminatif di internal Metro TV terhadap umat
Islam. Mantan penulis editorial Media Indonesia itu menyatakan bahwa hasil
rekrutmen wartawan di Metro TV kebanyakan adalah nonmuslim. Bahkan ketika masih
bekerja di Media Grup dan mempertanyakan hal ini kepada atasannya tidak
digubris sama sekali.
Guru besar Ilmu Komunikasi dari UI, Harsoni Suwardi memaparkan faktor-faktor
yang membuat media massa memiliki pengaruh yang begitu kuat, diantara lain yaitu
media masa dapat mewacanakan sebuah peristiwa seusuai pandangannya
masing-masing.
Berjanggut, berjidat hitam, celana menggantung di atas mata kaki, istri,
anak atau saudara perempuan memakai cadar, dirumahnya terdapat buku-buku tentang
jihad. Itulah definisi tersangka teroris yang digambarkan oleh televisi.
Dampaknya jika masyarakat bertemu sosok seperti itu, maka orang itu patut
dicurigai sebagai pelaku terorisme. Pun dengan pemahaman Jihad yang menjelma
menjadi kosakata yang mengerikan karena selalu dikaitkan dengan terorisme.
Selain itu faktor lainnya adalah media massa memiliki hak untuk menyiarkan
suatu peristiwa politik atau tidak menyiarkannya. Hal ini terjadi dalam
pemberitaan terorisme, suara-suara kritis terhadap cara Densus 88 menggerebek
para terduga teroris nyaris tidak terdengar, tak seblow up pemberitaan stigma
teroris pada umat Islam.
Maka sangat tepat apa yang disampaikan Jerry D Gray dalam bukunya Dosa-dosa
Media Ameria, bahwasanya masyarakat harus mencermati apapun yang disuguhkan
media massa, “Bukan apa yang mereka katakan, melainkan apa yang mereka tidak
katakan.”
Pada sub bab ini dijelaskan pula cara bekerja media massa arus utama, yakni
memunculkan ke publik sebagian fakta dan menyembunyikan sebagian yang lain. Hal
ini sungguh menarik untuk dikupas.
Media massa seringkali hanya menjadikan polisi sebagai narasumber tunggal.
Memang ada sejumlah sumber dari pihak tersangka, seperti keluarga, teman atau
tetangga, namun tidak digali lebih mendalam. Adanya keterangan yang
menyangsikan tersangka terlibat dalam terorisme tidak dijadikan sebagai beritu
utama. Media massa pula acap kali mengabaikan kemungkinan keterkaitan
penyergapan tersangka teroris dengan kedatangan sejumlah pejabat negara
adikuasa.
Daya kritis media diuji dengan tindakan anggota Densus 88 yang menembak
mati orang-orang yang disangka terlibat kasus terorisme. Memang ada beberapa
media cetak dan online yang membahas hal ini, namun hal ini tak mampu mengubah
opini publik terhadap kebijakan Densus 88 dalam menembak mati sejumlah
tersangka teroris dengan berdalih tak ada cara lain selain dengan menembak
mati, karena para tersangka teroris ini digambarkan sangat berbahaya.
Seperti dikutip dari Republika.co.id (3/9/2012), ketua umum PP
Muhammadiyah, Din Syamsudin menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan ini,
menurutnya dengan anggaran yang besar Densus 88 harus bisa melumpuhkan
siapaaktor utama aksi-aksi terorisme, bukan hanya bisa menembak mati pelaku
terorisme pelaku kronco.
Sub Bab selanjutnya membahas kezaliman pemberitaan Front Pembela Islam,
FPI. Organisasi Islam yang sering disebut-sebut media massa tatkala menjelang
dan saat bulan Ramadhan.
Pantengin terus Indonesia membaca ya, untuk membaca lanjutan resume aye..
udah dulu ye.. sampai ketemu di resume selanjutnye... ^_^
Bandung, 15 Mei
2015
Ahmad Fauzi
Indonesia
Membaca 3
0 komentar:
Posting Komentar