“Kakek Kia
Meninggal”, menjadi bab pertama dari novel ini yang langsung menyedot
perhatian, terutama ketika tokoh utama berkisah dengan polos tentang kehidupan
keluarganya yang mirip cuaca di benua Australia. Disini, tokoh utama mengungkapkan
bagaimana rasanya ditinggal orang yang paling diandalkan tapi versi uraian
anak-anak.
Bisa
dibilang, ini adalah novel karya Ziggy yang pertama saya baca dan akhirnya
nagih untuk membaca karyanya yang lain. Dengan iming-iming dicover novel sebagai
“Pemenang II Sayembara Menulis DKJ 2014”, lantas saya langsung membeli buku
ini. Sebab saya cenderung suka membaca karya juara-juara dari lomba karena
karya itu pasti sudah melalui seleksi ketat dari para kurator dan tentu punya
alasan mengapa jadi juara.
Novel ini
berkisah tentang Ava, gadis kecil berusia tujuh tahun yang punya kemampuan
linguistik yang bagus. Dia suka sekali membawa kamus bahasa Indonesia kemana-mana.
Kamus itu adalah satu-satunya kenang-kenangan dari kakek Kia. Masalah Ava sudah
ada sejak lama, ketika ayahnya memanggilnya Saliva atau Ludah karena menganggap
Ava tidak berguna. Tapi selepas kakek Kia meninggal,kehidupan Ava semakin parah
karena tidak ada lagi yang memarahi ayah. Ava sekeluarga harus pindah ke Rusun
Nero. Disana, ia berkenalan dengan P, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun
yang juga memiliki nasib yang sama dengan Ava. P tidak punya nama, P juga punya
ayah yang jahat (dalam pembicaraan mereka) tapi P tidak punya mama, Ava punya.
Meskipun mamanya sering sibuk sendiri terutama ketika bertengkar dengan ayah. Tapi
Bbersama P, Ava akhirnya menjalani petualangan. Mereka berpindah dari satu
tempat ke tempat lain hanya karena untuk pergi ke tanah lada, jauh dari ayah
mereka. Dan yang sedikit maksa dari novel ini adalah percakapan romantis a la
anak-anak. Saya sampai kerut kening dibuatnya. Mungkin saya yang skeptis.
Mungkin tidak.
Menurut
saya ini novel ironi dan satir, dimana ada banyak sindiran polos dari pihak anak
untuk para orangtua. Membaca percakapan antara Ava dan P lumayan bikin nyengir
dan kadang-kadang kayak lagi diejek. Terlihat kalau penulis berusaha meletakkan
semua pandangannya menjadi pandangan anak kecil yang polos dan kritis. Contohnya
begini;
“Kok, mama kamu mau, ya, menikah sama orang yang mau
memotong kakinya?” komentarku
“Mama kamu juga sama aja. Kenapa dia mau menikah
sama Papa kamu yang jahat begitu? Mama aku, sih, mendingan. Karena Papa jahat,
dia kabur. Mama kamu, kok, nggak kabur?”
“Soalnya. Mama sayang aku. Kalau kabur, nanti aku
tinggal sendirian sama Papa, dong. Seperti kamu.”
“Iya. Tapi, kalau Mama kamu sayang sama kamu, dia
kaburnya bawa kamu.”
Aku memikirkannya sebentar. “Hari ini, Mama bawa aku
kabur ke hotel dari Papa.”
“Iya. Kayak gitu, kabur bareng kamu. Seharusnya dia
kabur dari dulu.”
“Dulu sih, ada rumah yang bagus. Kalau kabur, sayang
rumahnya. Sekarang kan kaburnya dari Rusun Nero, jadi nggak sayang kalau
kabur.”
Saya jadi
ingat pesan seorang psikolog anak, bahwa dilarang keras bertengkar di depan
anak. Kasus Ava dan P, memang mereka berdua tidak jadi anak yang brutal tapi malah
hancur dari dalam. Lalu poin berikutnya, lingkungan dan teman sebaya yang cukup
memengaruhi psikologis. Saya lumayan syok baca ending novel ini. syok. Ada
banyak plot-twist di akhir-akhir cerita dan jangan pernah harap happy ending.
Justru endingnya bikin saya termenung dan beberapa saat kemudian bilang, “apaan
nih?!” karena saya heran sama pemikiran P dan kepatuhan Ava. Mungkin karena P
cuma punya Ava, Ava cuma punya P. Ada rasa percaya dan memiliki yang sulit
dijelaskan diantara mereka. Jadi penulis mencoba menghadirkan perasaan “have to
always together” padahal kan mereka masih anak-anak.
Buku ini
adalah salah satu buku yang mewakili suara hati anak korban KDRT. Baik Ava atau
P mereka sama-sama refleksi dari itu semua.
Yang mengganggu saya dari buku ini; karena hobinya bawa kamus
kemana-mana, Ava suka mencari kosakata yang baru ia dengar dan menjelaskan arti
kata itu kembali. Daripada gemas, saya sedikit mengantuk setiap masuk ke dalam
sesi/kalimat ketika Ava menjelaskan arti suatu kata lengkap dengan keterangan
kb, kk, dan sebagainya persis seperti di kamus. Mungkin karena saya tahu
artinya atau merasa kayak lagi diceramahi anak kecil. Terlebih penulis
mengambil sudut pandang pertama. Tidak buruk, karena unik. Tapi bikin pembaca
jadi bener-bener harus sabar.
Terlepas
dari itu, saya suka kepandaian penulis mengaitkan bab 1 ke bab berikutnya dan
menghubungkan cerita dengan penyair termahsyur Chairil Anwar, Lagu Me yang
selalu dinyanyikan P, Cuaca di Australia, Cerpen The Egg, The Prince, dan
lain-lain. Kelihatan sekali kalau penulis wawasan sastranya luas. Saya jadi
banyak tahu juga sekelumit dunia sastra dari novel ini.
Terakhir,
buku ini sindiran halus, sehalus Ava ketika mengatakan; malam itu, aku tidur di dalam kamar mandi.
Judul
Buku : Di Tanah Lada
Penulis : Ziggy ZezsyazeoviennazabarizkieTebal Halaman : 240 Halaman
Penerbit : GPU
Peresume : Ika
0 komentar:
Posting Komentar