Saudara, saya
Soekram, tokoh sebuah cerita yang ditulis oleh pengarang. Ia seenaknya saja
memberi saya nama Soekram, yang konon artinya berasal dari bahasa asing yang
artinya – ah, saya lupa. Tapi sudahlah. Apapun nama saya, saya harus menerimanya,
bukan? Pengarang itu sudah payah sekali kesehatannya, kalau tiba-tiba ia mati,
dan cerita tentang saya belum selesai, bagaimana nasib saya – yang menjadi
tokoh utama ceritanya? Saya tidak bisa ditinggalkannya begitu saja, bukan? Saya
mohon Saudara berbuat sesuatu.
Begitulah sinopsis yang terpampang di bagian belakang sampul buku, menarik bukan? Jujur selain karena suka dengan pengarangnya, buku ini menarik dari segi ceritanya. Awalnya saya pikir ini hanya menceritakan konflik antara pengarang dan tokoh yang dikarangnya. Ternyata, bukan! Ditulis dalam 3 cerita, pengarang telah mati, pengarang belum mati dan pengarang tak pernah mati, Sapardi Djoko Damono mengemas kisah Soekram dalam alur yang semau-mau pengarang, semau-mau tokohnya namun bermakna.
Mengapa ia tak selesai ditulis? Mengapa ia tak bisa menentukan jalan ceritanya sendiri? Mengapa ia tak bisa menjadi pengarang? Mengapa kisah cintanya disusun rumit? Antara Soekram dan Ida, Soekram dan Rosa, Soekram dan istrinya (tentu saja) serta Soekram dan Siti Nurbaya. Inilah alasan mengapa tokoh itu loncat keluar dari kisahnya dan menuntut untuk menulis jalan ceritanya sendiri.
Bagian cerita pertama menceritakan Soekram yang pulang dari masa mengajarnya di daerah dan kembali ke tanah Jawa bersama isterinya, semenjak di daerah, Soekram berselingkuh dengan Ida, perasaan Soekram sangat kompleks antara lari ke Ida atau isterinya di rumah. Semasa di Tanah Jawa, Soekram mengajar di universitas (menurut saya ini kampus Trisakti) dan bertemu dengan mahasiswanya yang mengagumi Soekram karena juangnya untuk Indonesia, Rosa, yang entah kenapa dari sekedar makan siang bareng di kampus menjadi bobo bareng di hotel. Berlatar kejadian tragedi 98, Soekram dihadapkan untuk memilih antara mahasiswanya atau para dosen, cerita di akhiri dengan bentrok mahasiswa dan aparat.
Bagian kedua, jujur saya bingung, tiba-tiba cerita lompat begitu saja ke masa kecil Soekram dan keluarganya. Kenapa Soekram menjadi ikut-ikutan politik juga dijelaskan dan lebih banyak membahas agama serta politik. Dibanding keluarganya yang lain, nenek Soekramlah yang paling sering dan selalu menasehati Soekram untuk sholat.
“Kau sudah sholat, Soekram? – hal. 113
Lalu dibayangkannya sosok Maria yang dia taksir dan menurut dia, Maria juga naksir, secara tidak langsung merayunya ke gereja.
“O ya, ayahku bilang ia pernah melihatmu ikut misa di
Gereja Kota Baru. Mungkin ia salah lihat” – Hal. 117
Soekram yang tidak pernah sholat dan berharap menjadi
pacar Maria pun bingung, mana agamanya. Ketika bingung dengan agamanya, ayahnya
yang fanatik partai banteng pun menyuruh-nyuruh Soekram untuk menjadi kader
partai. Sedangkan adiknya, berandalan pemberontak yang berjuang untuk mengusir
para “londoh” dari tanah Jawa akhirnya harus mendekam di penjara.
Petani
itu tersungkur, darah di dadanya
Matanya
masih menyala juga
Tidak
akan kumaafkan setan-setan ini
Tak
boleh berkeliaran setan-setan ini
Soekram yang menjadi kader partai
agar terlihat berguna dan tidak mau kalah dengan adiknya, selalu diingatkan
sesuatu oleh teman-temannya :
“Kau
boleh makan pasir, Soekram. Ini bukan padang pasir” – hal. 113
Dan sampailah pada cerita akhir
yang menurutku sangat mengada-ada, Soekram pergi ke Sumatera untuk membantu
perjuangan Datuk Meringgih dan jadilah cinta segitiga antara Datuk – Soekram –
Siti Nurbaya. Karena bagian ini adalah kemauan Soekram dan dia yang menulis
kisah ceritanya, Soekramlah pemenang dari segala-galanya.
Ujung-ujungnya penulis datang dan
marah-marah, lama kelamaan pengarang kesal dengan tokoh ciptaannya, namun tak
berani juga mematikan tokoh tersebut karena bagaimanapun pengarang bisa mati
namun tokoh ciptaan akan terus abadi.
Overall, saya terhibur sekali
dengan kisah Soekram, bahasa yang digunakan sangat menyentuh karena memang yang
menulis penyair hehe. Saya juga agak sedikit takjub dengan tokohnya yang muslim
walau bukan muslim yang baik, diselipkan beberapa doa dan bacaan shalawat nabi
SAW. Walau sinopsisnya begitu, nyatanya kisah Soekram dikemas dengan tema yang
sangat kompleks. Sukses banget buku ini bikin kesal sama tokoh dan
pengarangnya. Pikiran saya pun setiap baca kisah beliau adalah : ini serius
nih? Sambil ketawa-tawa. Novel karya penyair besar Indonesia ini sangat
menunjukan hubungan yang rumit sekaligus paling sejati antara pengarang dan
tokoh utama tulisannya. Menurut saya, teman-teman yang sangat menyukai kisah
sedikit rumit dan bikin kesal namun dikemas dalam bahasa sastra yang kental,
buku ini wajib sekali dibaca!
JUDUL : TRILOGI SOEKRAM
PENGARANG :
SAPARDI DJOKO DAMONO
PENERBIT : GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA
JML HALAMAN : 270 HAL
0 komentar:
Posting Komentar