Hampir 85%
migas Indonesia berada di tangan asing, namun meski kekayaan migas kita besar,
negeri kita tak mampu menyejahterakan rakyatnya (p.iii). Sejak awal Indonesia
tidak pernah punya kedaulatan terhadap sumber daya alamnya sendiri. Walaupun
Indonesia kaya akan sumber daya alam namun tidak memiliki kapasitas teknologi
untuk mengolahnya. Bahkan bilapun Indonesia mampu mengolahnya, ia masih
bergantung pada pasar dunia (p.vii).
Sumber
minyak yg menjanjikan secara komersil ditemukan di Indonesia sekitar tahun
1880-an dan 1890-an, sejak itu modal asing mulai dipenetrasikan dalam bisnis
migas di Indonesia. Mulanya hanya penjajah Belanda yang bermain, namun seiring
waktu Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang mulai ikut bermain. Dalam catatan
sejarah disebutkan bahwa minyak sudah digunakan oleh manusia sejak 6000 tahun
lalu untuk menyalakan obor dan api untuk memasak, ramuan untuk mengobati
penyakit kulit atau luka, bahkan digunakan untuk alas tidur.
Pasca
Revolusi Industri yang dimotori kaum kapitalis (pemilik modal), mereka
menemukan bahwa minyak bumi menjadi komoditas yang sangat menguntungkan untuk
dunia industri. Revolusi industri yang terjadi di Eropa, khususnya Prancis dan
Inggris menandakan tenaga manusia tergantikan dengan tenaga mesin secara
revolusioner, misalnya penemuan mesin uap oleh James Watt. Kebutuhan akan
minyak ini semakin meningkat ketika musim perang khususnya saat Perang Dunia I
dan II. Hal ini memicu para pedagang untuk melakukan pencarian sumber minyak di
seluruh dunia (p.16).
Indonesia
menjadi salah satu sasaran perburuan sumber minyak bumi. Tahun 1871 dibangun
sebuah camp tambang migas pertama di lereng gunung Ciremai, Jawa Barat.
Kemudian ditemukan sumber lainnya di Langkat, Sumut. Dari sini mulai terjadi
eksploitasi sumber minyak bumi dan mulai masuk berbagai pengusaha minyak asing
ke Indonesia. Beberapa perusahaan migas asing yang pernah didirikan antara lain
: Standar Oil (AS) milik Rockefeller, Royal Dutch, Shell Transport and Trading
yang kemudian fusi menjadi Royal Dutch-Shell (Belanda) yang kemudian
mengembangkan banyak anak perusahaan. Dua perusahaan ini bersaing ketat
memperebutkan migas di Indonesia.
Ketika Jepang akhirnya menjajah Indonesia dan sistem perbudakan dimulai, kilang-kilang minyak pun mulai dikuasai Jepang meskipun saat itu kondisinya 90% rusak parah karena sengaja dihancurkan oleh pemiliknya sebelum ditinggalkan. Perbudakaan pribumi saat itu dimulai dari pengerjakan kilang-kilang minyak yang rusak. Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom dan tentara Jepang kembali ke negaranya, pebisnis migas Belanda dan AS mulai masuk lagi ke Indonesia hingga kini.
Dalam
pandangan pengusaha migas, Pertamina dianggap sebagai penghambat bisnis migas
di Indonesia mengingat peran monopoli Pertamina sebagai pemegang kuasa kontrak
bagi para penguasa migas asing. Pertamina akhirnya dikriminilisasi untuk
menghancurkan Pertamina dengan bergulirnya wacana bahwa Pertamina sebagai BUMN
yang memonopoli bisnis migas di Indonesia telah menjadi penyebab terjadinya
inefisiensi dan perilaku penyimpang pengelolanya dlm bentuk korupsi. Agar
pengelolaan Pertamina efisien harus diprivatisasi dan dibiarkan bertarung
dengan pasar bebas internasional.
UU No. 22
Tahun 2001 diberlakukan yang hakikatnya penjelmaan kepentingan asing. Masalah
UU ini antara lain : dicabutnya monopoli Pertamina terhadap bisnis migas yang
berdampak pada lahirnya berbagai macam pajak baru. Akibatnya produksi migas
Indonesia turun dan harga minyak dunia naik. Kedua jebolnya APBN lain karena
harga minyak dalam negeri harus mengikuti harga minyak dunia. Jadi sebenarnya
pemerintah menaikkan harga BBM bukan untuk mengalihkan subsidi dari orang kaya
ke orang miskin melalui BLT, namun merupakan upaya sistematis untuk mendekati
harga minyak di pasaran dunia (p.129-130).
Dan pada
akhirnya kondisi ini memberikan peluang bagi pebisnis migas asing untuk brsaing
di Indonesia. Melalui UU ini juga terjadi pemandulan sistem production sharing
contract yang selama ini digunakan dengan perusahaan migas asing di Indonesia.
Sistem ini sebenarnya bertujuan untuk melepaskan monopoli Pertamina, namun
disisi lain perusahaan asing dapat melakukan monopoli dan oligopoli migas
(p.131). Perusahaan asing seperti Standar Oil mislanya terbukti telah
mengembangkan banyak anak perusahaan dalam bisnis migas di Indonesia.
Judul buku : MAFIA MIGAS VS PERTAMINA Membongkar
Skenario Asing di Indonesia
Penulis : Ismantoro Dwi YuwonoPenerbit : Galang Pustaka
Tahun Terbit : 2014
Halaman : 183
-THW-
0 komentar:
Posting Komentar