Judul Buku: Health Behaviour
and Health Education (Theory, Research, and Practice) 4th Edition
Penulis: Karena Glanz,
Barbara K. Rimer, K. Viswanath
Penerbit: Jossey-Bass A
Wiley Imprint
Jumlah halaman: 14 halaman
(1 chapter)
Pekan lalu (karena pekan ini jatah saya
besok), saya belum sempet ngelanjutin mbaca buku utama pemikat hati hadiah dari
Allah melalui seseorang #eaaa (apa sih?), The Miracle of Endorphine. Sebenernya
ini bentuk dari belum nemunya saya, akan waktu yang tepat dan ajek untuk mbaca
dan ngeresume (malah curhat). Ada yang bisa ngasih saran? Kalo nge-ODOJ kan
udah ada jadwalnya, kalo mbaca and ngeresume belum nemu yang oke. Anyway, saya
pekan lalu itu akhirnya fokus membaca pesenan bahan translate-an dari mahasiswi
Kedokteran Gigi tentang kesehatan. Nah, saya akan resume salah satu bagian
dalam buku tersebut. Semoga pada paham, karena saya ndak begitu paham
sebenernya. :p
Bagian yang saya baca mengenai teori-teori
komunikasi terkait kesehatan. Ternyata bidang kesehatan juga membahas tentang teori
terbaik yang harus digunakan di media, dalam berkampanye untuk meningkatkan
kesehatan publik secara umum. Hebat. Keren. Ada 4 perspektif yang mempengaruhi
efek media yang diberikan ke masyarakat: (1) gap pendidikan, (2) pengaturan
agenda kampanye di media, (3) penelitian tentang penanaman isu di masyarakat,
dan (4) komunikasi tentang resiko mengenai kesehatan ke masyarakat.
GAP PENDIDIKAN/PENGETAHUAN
Dulu orang secara umum berpendapat bahwa
sebuah permasalahan mengakar yang terjadi di masyarakat bisa diselesaikan
dengan memberitahu masyarakat melalui media. Padahal hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberitahuan melalui media tidak efektif, karena masyarakat
dengan level pendidikan yang lebih tinggi, biasanya tau lebih banyak isu
dibandingkan dengan masyarakat berlevel pendidikan rendah. Hasil penelitian ini
dirangkum dalam the Knowledge Gap Hypothesis oleh Tichenor, Donohuem dan Olien
(1970). Mereka menyatakan bahwa informasi yang diberikan media hanya akan
melestarikan gap pendidikan yang ada dalam masyarakat. Yang level pendidikannya
tinggi jadi tambah tau, sedangkan yang level pendidikannya rendah, nggak bakal
banyak tau juga. Hipotesis ini tentu menarik perhatian kaum intelektual dan
pembuat kebijakan.
Namun gap pendidikan ini bukannya nggak
bisa diperkecil. Menurut Viswanath dan Finnegan (1996), ada beberapa faktor
yang bisa memperkecil gap pendidikan di masyarakat akan daya serap informasi
mengenai kesehatan, antara lain:
Faktor Konten Dan Saluran Masuknya
Informasi
Masyarakat yang terbiasa mengakses
informasi dari media cetak biasanya memiliki level pendidikan yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang mengakses informasi melalui televisi. Hal ini bisa
diakali dari penyebaran informasi melalui media televisi, karena biaya aksesnya
yang lebih terjangkau. Tapi tidak sampai
di sini saja, pemberian informasi ini juga harus dibantu dengan diskusi
interpersonal.
Konflik Dan Mobilisasi Sosial
Gap pendidikan akan berkurang jika ada
konflik sosial atau mobilisasi komunitas lokal terjadi, karena ini akan memantik
masyarakat untuk mengadakan diskusi-diskusi interpersonal.
Struktur Komunitas dan Pluralisme
Studi menunjukkan bahwa gap pendidikan
akan lebih mungkin muncul di komunitas-komunitas yang skalanya besar dan
bersifat lebih plural dibandingkan dengan pada komunitas berskala kecil dan
tidak terlalu plural.
Faktor-Faktor Motivasional
Sebagian peneliti (Ettema dan Kline, 1977)
menyatakan bahwa gap pendidikan sebenarnya tidak harus dikaitkan dengan
perbedaan dari level pendidikan formal yang kurang atau tingkat ekonomi, namun
lebih ke motivasi diri, minat dan sejenisnya. Hal ini didukung oleh hasil studi
yang melaporkan bahwa pengaruh gabungan antara pengetahuan dengan variabel
individual (minat, motivasi) lebih besar dibandingkan gabungan pengetahuan dengan
pendidikan. Tapi bukti berlawanan juga ada dalam studi kampanye kesehatan
lainnya yang menyatakan bahwa diantara orang-orang yang termotivasi, mereka
yang berpendidikan lebih tau banyak tentang diet dan nutrisi dibandingkan
dengan mereka yang kurang berpendidikan.
Pengaturan Agenda
Penulis zaman dulu berpendapat bahwa
apa-apa yang ditampilkan media akan membentuk opini publik. Namun penulis di
zaman sesudahnya menambahkan bahwa media memang membentuk opini publik, namun
publik juga memberikan pengaruh akan apa yang dimuat media dengan yang tidak.
Media masa kini tidak hanya menyampaikan isu di media untuk memberi tahu, namun
media juga mengatur cara penyampaian isu sehingga bisa mengatur, tidak hanya
opini, melainkan juga cara pandang publik terkait isu tertentu. Hal ini
didukung dengan simbol-simbol, gambar-gambar, cara penyampaian yang digunakan
media dalam mem-blow up sebuah isu ke masyarakat. Penelitian media terkini
menambahkan dua buah konsep dalam pengaturan agenda media, yaitu framing dan
priming.
Studi Tentang Penanaman isu
Studi ini memperhatikan dampak media massa
terhadap persepsi realitas publik. Televisi sebahai media visual yang
terjangkau menjadi perubah persepsi masyarakat yang paling hebat. Peneliti
menyatakan bahwa interaksi tinggi dengan televisi seringnya membawa masyarakat
untuk menganggap dunia tv sebagai hal yang nyata. Televisi sangat baik dalam
menanam persepsi muluk-muluk terhadap dunia nyata.
Ada 2 tipe penelitian terhadap studi
penanaman ini, yang pertama adalah analisis sistem pesan dari tv ke publik.
Hasil studi panjang menunjukkan bahwa
hasil pelacakan konten kejam di tv, ditemukan rata-rata 5 aksi kekerasan
setiap jam dalam program prime-time dan 20 aksi kekerasan pada program weekend
sianghari. Peneliti juga melacak komposisi gender, umur, etnis dan pekerjaan
yang sering mucnul di tv. Menurut data mereka, di dunia pertelevisian, jumlah
laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, kaum muda dan warga senior
kurang terwakili, sedangkan kaum profesional dan personil penyelenggara hukum
lebih terwakili.
Tipe penelitian kedua adalah analisis
penanaman isu. Peneliti menyatakan bahwa interaksi tinggi terhadap tv akan
meberi efek pada persepsi penonton akan realita sosial. Mereka yang lebih
sering nonton tv, akan lebih merasa bahwa dunia ini kejam dan menakutkan,
padahal sebenarnya tidak seperti itu. Akhirnya mereka jadi sulit mempercayai
orang lain, jadi lebih takut menjadi korban kejahatan, padahal hasil statistik
kejahatan tidak sebegitunya.
Jadi para peneliti studi penanaman isu
menyatakan bahwa pengaruh penanaman ppersepsi dari tv ke publik bergantung
kuantitas interaksi tv dengan si penonton. Selain itu, faktor umur, gender,
lingkungan tempat hidup, pendidikan juga mempengaruhi. Peneliti saat ini
mengembangkan penelitiannya pada efek-efek penanaman persepsi game-game online
dan dunia virtual terhadap dunia nyata pengguna.
Komunikasi Mengenai Resiko
Pada dasarnya studi komunikasi memeriksa
efek-efek media terhadap pengetahuan, kepercayaan dan perilaku publik.
Komunikasi yang dilancarkan media terkait resiko yang berhubungan dengan
kesehatan masyarakat, intinya harus bisa merubah perilaku masyarakat. Contoh
kasus kesuksesan komunikasi resiko ini terjadi di Afrika, yaitu pada kasus
AIDS. Komunikasi ini sukses karena dalam proses komunikasi, juga dimasukkan
nilai sosial di dalamnya.
Penggunaan Terencana Media
Ada 2 kategori penelitian dan aksi yang
mengaplikasikan teori komunikasi untuk mempromosikan perilaku kesehatan ke
masyarakat. Pertama, fokus ke efek-efek interaksi harian dengan media, terhadap
perilaku kesehatan publik. Misalnya dampak interaksi anak muda terhadap
kegiatan merokok di film-film, atau kekhawatiran berlebih terhadap kekerasan di
media.
Kedua adalah efek-efek penggunaan
terencana media untuk mencapai perilaku-perilaku kesehatan dan hubungannya
dengan kampanye media. Hal ini sudah dilakukan oleh the American legacy
Foundation dalam mengkampanyekan pengurangan penggunaan tembakau di kalangan
anak muda. Mereka menggunakan marketing tandingan berupa iklan-iklan peringatan
terhadap tipuan dan praktek-praktek marketing industri tembakau ayang agresif,
dengan gaya anak muda.
Kerangka Berita
Kerangka berita juga sangat penting dalam
kampanye kesehatan bagi publik. Banyak media yang menyampaikan informasi isu
atau permasalahan kesehatan tidak dari keseluruhan kerangka masalah yang ada.
Misalnya kasus obesitas anak di Kalifornia. Banyak media yang menyampaikan
bahwa kesalahan ada gaya hidup individu dan orang tua yang bersangkutan.
Padahal, ada faktor-faktor lain yang mendukung obesitas ini dan tidak
disampaikan media umum, antara lain sekolah-sekolah yang bekerja sama dengan
vendor fast food untuk menghemat pengeluaran konsumsi sekolah, pemerintah yang
kurang mensubsidi sekolah sehingga bisa menyediakan makanan sehat yang
terjangkau, dsb.
0 komentar:
Posting Komentar