Oleh Muhammad Sehol
Dalam Prosiding Simposium Nasional
Klaster Sains dan Teknologi
Tidak terelakkan lagi jika kemajuan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan dalam bidang sains dan teknologi
seperti beberapa negara maju yang sudah lebih dahulu terdepan dalam bidang ini.
Sebut saja Amerika, Jepang, sebagian besar negara Eropa serta beberapa negara
di kawasan Asia Pasifik, sains dan teknologi benar-benar menjadi life style
pada semua lapisan masyarakat oleh karena tersosialisasinya pemahaman sains dan
teknologi ini secara sistemik. Sebaliknya, berkaca pada negara sendiri, sains
dan teknologi di Indonesia yang hanya dipahami oleh sebagian kecil
masyarakatnya harus menghadapi sikap apatisme dan pesimisme pemerintah yang
menurunkan gairah para aktivis saintek.
Keemasan the first wave Indonesia di
masa Habibi menjadi realistik dengan peningkatkan potensi SDM pada masa itu
dengan mengirim mereka ke luar negeri untuk alih teknologi. Tetapi ternyata
misi mulia tersebut tidak semua orang menganggapnya seperti itu, malah banyak
kalangan memandang sebagai konsentrasi pihak tertentu karena belum tentu
relevan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, SDA yang
melimpah di negara ini menjadi target utama eksploitasi negara lain karena SDM
nya sendiri tidak dapat memanfaatkan secara excellent.
Well, dengan pendahuluan tadi, udah
kebayangkan gimana masalahnya apalagi sekarang adalah zamannya nano baik itu
nanosains maupun nanoteknologi. Negara-negara maju sudah berlomba-lomba untuk
mengembangkan teknologi ini bahkan dengan peningkatan dana untuk researchnya
dan dalam kuartal 5-10 tahun pengerjaan. Tujuannya untuk apa, yah sudah jelas
untuk menguasai pasar dunia, untuk menjadi kiblat pengembangan sains dan
teknologi. Di Indonesia sendiri, sekarang lagi tahap pengembangan diri setelah
tahap sosialisasinya di tahun 2007 oleh LIPI dan juga beberapa keluaran Jepang
yang sudah membuat komunitas Masyarakat Nano Indonesia (MNI). The only one nya
teknologi nano Indonesia yang telah dipatenkan adalah nano silica yang
mengandalkan SDA lokal khususnya pada kandungan pasir dan abu sekam padi yang
melimpah.
Potensi SDA lokal Indonesia memiliki
prospek yang cukup cerah untuk pengembangan iptek nano, inilah pertanyaan yang
harus kita jawab apakah sebagai peluang ataukah tantangan bagi kita yang
sekelumit saintek di negara ini. Sudah ada langkah positif dari salah satu
konglomerat Indonesia yaitu Mochtar Riady yang telah mengglontorkan dana
sebesar US$ 20 juta guna pembangunan Mochtar Riady Nano Center Technology
(MRNCT) yang dikonsentrasikan untuk pengembangan iptek nano. Seperti kita
ketahui, seharusnya terjadi sinergisitas iptek nano dengan dunia industri
sehingga hasil paten iptek tersebut dapat dilirik untuk mempunyai nilai ekonomi
yang tinggi, tetapi kenyataannya di negara ini, iptek nano hanya bernilai
ilmiah. Menjadi perhatian lebih bagi kita penerus generasi ini adalah langkah
awal yang ada seharusnya menjadi tindak lanjut yang komprehensif antara aktivis
saintek, dunia industri dan pemegang kebijakan agar target terbaik bagi bangsa
ini dapat terwujud.
Potensi prospektif yang sering
terabaikan yaitu dari cangkakng kepiting. Dominannya cangkana ini dianggap
hanya sebagai limbah, tetapi tidak di negara maju, komponen kimia dari cangkang
kepiting ini merupakan sumber devisa bagi negara mereka. Lalu pertanyaannya
adalah How? Jepang merupakan kota high industri, itu berarti jumlah limbah yang
dihasilkan pun besar, mereka mencari cara untuk menanggulanginya, dan
terfungsilah kitin dan kitosan yang dikandung pada cangkak kepiting sebagai
flocculant yaitu bahan pengendap atau penjernih air limbah.Estimasi dari 700
ton cangkak kepiting yang telah diolah menjadi kitin dan kitosan, di Jepang 500
ton nya digunakan sebagai flocculant, 100 ton digunakan pada industri kosmetik,
pangan, pakan, dan sisanya untuk dimanfaatkan di bidang lain seperti biokimia,
enzimologi, mikrobiologi, farmasi, gizi, pertanian, industri kertas dan
tekstil.
Khusus untuk pemanfaatan cangkang
kepiting pada iptek nano lebih ditekankan untuk mengeliminir dan mendegradasi
ancaman bahaya kontaminan terutama kontaminan logam berat yang masuk pada perairan.
Kitin berbeda dengan kitosan karena
kitosan adalah turunan dari kitin yang dipisahkan dengan deasetilasi kitin.
Dengan iptek nano, kitosan dianggap lebih bermanfaat sehingga banyak para
periset memanipulasi kitosan dari hasil konversi kitin pada beberapa situs
aktif nya sehingga didapatkan turunan kitosan yang dapat digunakan dengan lebih
efektif dan efisien dalam mengatasi limbah tercemar. Iptek nano juga
menyumbangkan hasil produk adsorben yang lebih survive dari aspek metode maupun
kualitasnya. Sebuah catatan yang diambil yaitu limbah yang tidak dianggap tidak
potensial sama sekali pun bisa memberi manfaat begitu besar jika diketahui
persis proses yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai ekonominya apalagi
dielaborasi dengan teknologi nano.
0 komentar:
Posting Komentar