Kategori Bacaan : Non Fiksi
Judul Buku : Mendidik Anak di Era
Digital (Kiat Menangkal Efek Buruk Teknologi terhadap Anak)
Halaman : 256
Penulis : Yee-Jin Shin
Penerbit : Noura Books
Alasan
saya memilih buku ini untuk di resume bulan Mei 2015 ini setelah salah satu
teman membagi link kajian AQL di Youtube berjudul, “Pendekatan Kepada Anak
Sesuai Perkembangan Otaknya” oleh Dr. dr. Tiara Aninditha yang didalamnya juga
memaparkan bahaya paparan gadget bagi
anak-anak. Lalu saya juga teringat berita di tahun 2005 bahwa Madonna membatasi
anak-anaknya hanya menonton film 2 jam per minggu, itu pun setelah filmnya
sudah ia tonton dan dianggap aman.
Selain
itu, pada 2014 lalu Jurnalis NY Times kaget dengan jawaban Steve Jobs bahwa
dirinya membatasi gadget kepada anak-anaknya. Jurnalis tersebut menulis, “… I never asked
Mr. Jobs what his children did instead of using the gadgets he built, so I
reached out to Walter Isaacson, the author of “Steve Jobs,” who spent a lot of
time at their home.
“Every evening Steve
made a point of having dinner at the big long table in their kitchen,
discussing books and history and a variety of things,” he said. “No one ever
pulled out an iPad or computer. The kids did not seem addicted at all to
devices.”
Hal
ini mungkin berbeda dengan apa yang terlihat saat ini pada kebanyakan
anak-anak. Anak-anak jaman sekarang, di tahun 2015, sudah biasa dengan gadget, bahkan hafal cara pengoperasian gadget tersebut.
Dalam
buku ini, isinya banyak yang penting tapi tidak mungkin saya tuliskan semua isi
bukunya. Jadi saya usahakan untuk meresume isinya per bab. Sebagai awalan, saya
akan tulis (semacam) kata pengantar dalam bukunya, yang oleh penulis bukunya
diberi judul, “Digital Parenting Bagi Orangtua Bijak”.
“Selama
lebih dari dua puluh tahun berprofesi sebagai psikiater anak, saya membaca dan
menghibur anak-anak yang tersakiti jiwanya di klinik kesehatan mental anak.
Setelah sekian lama mencoba memahami pikiran dan perasaan mereka, saya pun
menyadari adanya “tren” yang membuat mental mereka menjadi lemah.
Di
klinik, sambil memperhatikan perkembangan tren pendidikan anak usia dini, saya
menemukan masalah perkembangan bahasa dan kehidupan sosial yang dihadapi
anak-anak yang terpapar video dan materi pelajaran sejak dini. Masalah sosial
pun muncul saat semakin banyak anak mengalami penderitaan karena menghadapi
tindak kekerasan di sekolah maupun kekerasan seksual.
Di
samping itu, setelah menyadari banyak sekali anak yang datang klinik belakangan
ini karena mereka tidak bisa mengatasi keresahan dan kegelisahan diri, bersifat
impulsif, dan sulit bersosialisasi dengan teman-teman sebaya mereka, saya
menyadari bahwa kini jumlah anak-anak yang tidak dpaat berkembang, baik dalam
aspek emosi maupun sosial, meningkat tajam. Barang yang dikenal secara luas
sebagai perangkat digital yang berada dalam genggaman anak itu ibarat candu.
Yang
saya maksud dengan candu pada perangkat digital adalah perangkat tersebut
menciptakan ketergantungan yang cukup parah dan seolah belum bisa dipisahkan
dari anak-anak yang sedang berkembang dalam pola disiplin dan kontrol diri.
Lebih parah lagi, mental mereka akan rusak jika mereka berfokus ke sana. Mereka
lebih cepat tumbuh besar dibandingkan anak-anak xaman dulu, tetapi jiwa mereka
lambat berkembang. Perangkat digital sepertinya telah menjadi penyebab utama
anak-anak yang “matang semu” belakangan ini.
Para
orangtua menyambut baik perangkat digital, antara lain TV, komputer, ponsel
cerdas, dan komputer tablet. Peralatan tersebut dianggap dapat membantu
mengasuh anak dalam berbagai situasi, misalnya dapat menjadi alat bantu belajar
yang canggih hingga menjadi mainan bagi anak mereka. Namun, sekarang kita harus
menghadapi dampak dari perangkat digital yang mengendalikan kita.
Para
petinggi, Google, Apple, Yahoo, dan bidang TI lainnya yang ada di Silicon
Valley, Amerika, menyekolahkan anak mereka ke sekolah Waldorf yang tidak
menyediakan fasilitas komputer. Alasannya karena komputer tidak cocok untuk sekolah. Di Perancis, misalnya, murid
SD dan SMP dilarang menggunakan ponsel di sekolah, sedangkan di Jerman dan
Finlandia, anak-anak dibatasi dalam menggunakan ponsel.
Negara-negara
berpendidikan maju telah mengawasi dampak negatif perangkat digital terhadap
anak dan berfokus pada cara mengasuh anak dalam lingkungan digital secara sehat
dan bijak. Namun, mengapa Korea sebagai negara adidaya di bidang TI justru
mengalami kemunduran dalam tren itu?
Hal
itu terjadi karena kurangnya kesadaran keluarga dan masyarakat sehingga
lingkungan digital tumbuh subur dan mengakibatkan masalah-masalah baru. Saat
menyadari betapa peliknya masalah yang saya temukan di klinik dan menyadari
pentingnya metode digital parenting yang
bagus, saya pun memutuskan untuk menulis buku yang ditujukan bagi para orangtua
di Korea.
Saya
merasa perlu membantu para orangtua agar bisa mengawasi anak dengan bijak dan
agar anak dapat tumbuh dewasa, baik secara fisik maupun mental. Saya
menyarankan agar orangtua membaca buku ini lebih dulu sebelum sibuk mengurus
diri sendiri dan berdalih ingin memberikan kesempatan bermain kosakata bahasa
Inggris kepada anak dengan cara yang lebih menyenangkan dengan perangkat
digital.
Buku
ini menjelaskan secara detail bagaimana dunia digital mempengaruhi pola pikir
anak. Di samping itu, buku ini menunjukkan panduan teori dan praktik yang dapat
digunakan untuk mengawasi anak dalam dunia digital. Orangtua perlu
mempraktikkan apa yang disampaikan dalam buku ini setelah membaca
berulang-ulang dan memahaminya.”
0 komentar:
Posting Komentar