Buku
pertama dari tetralogy pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dengan latar abad
ke-19 dengan Minke sebagai tokoh utama dengan latar tempat Wonokromo Jawa
Timur.
Pada
bagian pertama telah diresumekan bagaimana Minke mendapat olok-olok atas
namanya, warna kulitnya dan bangsanya sebagai pribumi. Namun Minke begitu
percaya diri dan mengidolakan ratu Wihelmina yang belia, kaya dan berkuasa.
Hingga ia berjumpa dengan indo Annelies Mellema. Putri Nyai Ontosoroh. Kisah
cinta mereka berkembang namun bukan dengan tanpa hambatan.
Ayah
Minke, sekarang adalah bupati kota B, sangatlah berang mengetahui putranya
tinggal di rumah seorang nyai. Merencanakan dan melakukan pemulangana Minke dengan
penuh nuansa politik. Membuat Annelies dan Nyai was-was namun juga semakin
menurunkan minat dan respek Minke terhadap budaya jawa yang diusung
ayahandanya. Demi baktinya pada bunda, ia rela melakukan yang diminta ayahnya,
menjadi protocol dalam pelantikan ayahnya menjadi bupati.
Dalam
kesempatan itu pula ia berkenalan dengan keluarga de Croix. Terutama dengan
Sarah dan Miriam yang membuka wacananya tentang suasana politik saat itu, dan
bagaimana politik etis telah menuai banyak pro kontra di Hindia Belanda maupun
di Amsterdam.
Sepulang
dari kota B setelah pengukuhan ayahanda menjadi bupati, ujian terhadap Minke
dan keluarga Nyai Ontosoroh bukanlah berkurang. Misteri si Gendut yang
mengikuti gerak gerik Minke membawa mereka ke rumah tionghoa tetangga Nyai. Dan
mendapati Tuan Mellema telah terbujur kaku dengan mulut berbusa. Berita pun
segera menyebar. Polisi datang mengamankan. NYai Ontosoroh, Minke dan Annelies
menjadi tokoh utama yang didatangkan pihak pengadilan putih guna mendapatkan
dan menguatkan bukti pembunuhan terhadap tuan Mellema. Hubungan Minke dan
Annelies seakan dikuliti di bawah pengadilan. Dijadikan olok-olok, dan memicu
eksistensi MInke untuk beradu kata dalam berita. Surat kabar-surat kabar baik
pribumi maupun Belanda mengabarkan berita tersebut dengan gayanya
masing-masing. Sebagian besar menyudutkan posisi Minke dan keluarga Nyai, walau
mereka hanya sebagai saksi. Minke dengan gaya tulisannya pula melawan dengan
mengemukaka kebenaran dan menyatakan bahwa ranahnya sudah menajdi pelecehan terhadap
bangsa pribumi. Tulisan-tulisan Minke membawa hasil, dengan mengalirnya simpati
kepada keluarga Nyai. Walaupun tidak banyak merubah keputusan pengadilan putih.
Kematian
tuan Mellema dan terungkapnya seorang tionghoa sebagai pembunuhnya serta mendapat
hukuman dipengadilan tidak serta merta membuat Nyai dan keluarga tenang dan
menjalani kehidupan dengan normal. Namun, justru gugatan terhadap
kewarganegaraan Annelies dan hak asuhnya menjadi polemic tersendiri. Tuan
Mellema masih memiliki istri yang sah di Amsterdam, dengan seorang putra,
Mauritus Mellema. Dan Nyai Ontosoroh bukanlah isteri yang dinikahi secara sah
di pengadilan Belanda. Sehingga Annelies harus dikembalikan ke Belanda bersama
isteri dan anak sah dari Tuan Mellema. Nyai dan Minke bukanlah siapa-siapa
dalam hukum putih yang berlaku saat itu. Keputusasaan nyaris menghinggapi Nyai
dan Minke, ditambah pula Annelies yang sakit jiwanya. Namun, mereka belum kalah
jika belum berusaha, Minke dengan tulisan-tulisanya yang mengkritik hukum
Negara Belanda yang mendiskreditkan pribumi, Nyai yang berusaha menyewa advokat
Belanda adalah upaya pantang menyerah.
Akankah
Minke berhasil menyamakan kedudukan pribumi dengan Belanda. Pastinya sudah
dapat ditebak. Apakah Annelies akan tetap bersama keluarganya di Wonokromo atau
harus dengan orang tak dikenalnya di Amsterdam. Menjadi sehatkah Annelies atau
semakin sakit. Itulah tantangannya.
Judul
buku : Bumi Manusia
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Nusantara
Tahun
terbit : 2002
Halaman : 536 hal
Juni 2018
- - Erna
Maryati -
0 komentar:
Posting Komentar