Novel
yang dicetak pertama kali di bulan September 2015 ini tidak menarik perhatian
saya sama sekali, sampai sekuel
ceritanya terbit tahun ini. Sepotong kalimat
penasaran muncul di dalam hati:
kalau ada cerita tentang ‘pergi’ kenapa cerita ‘pulang’ diterbitkan
lebih dulu. Bukankah sebelum seseorang melakukan perjalanan pulang ia harus
melakukan pergi lebih dulu? Maka dua hari kemudian novel ‘Pulang’ dan ‘Pergi’
menjadi teman pembunuh sepi saat itu.
Paragraph
pertama, bab pertama, pembukaan cerita
yang langsung mencuri hati. This is about love at first paragraph.
Aku
tidak takut.
Jika
setiap manusia memiliki lima emosi,yaitu bahagia, sedih, takut, jijik dan
kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut. Kalian
kira itu omong kosong? Gurauan? Tidak. Lihatlah wajahku, lihat bola mataku.
Kalian tidak akan menemukan walau semili rasa takut.
Begitulah
Tere Liye mengawali cerita tentang Bujang. Laki-laki yang lahir dan besar di
kepulauan Sumatra. Mamak Midah, ibu yang melahirkan Bujang, adalah wanita
solihah yang mulia. Wanita yang telah mengikat putra semata wayangnya dengan
sebuah janji sepanjang hayat.
Mamak
berbisik lembut, ‘Mamak akan mengizinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja
dengan merobek separuh hati mamak. Pergilah anakku, temukan masa depanmu.
Sungguh besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan
pulang pada hakikat sejati yang ada dalam dirimu. Pulang…’
Kau
boleh lupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampung ini. Melupakan seluruh
didikan yang Mamak berikan. Melupakan agama yang Mamak ajarkan diam-diam jika
bapak tidak ada di rumah. Berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi
atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan
menyentuh tuak dan segala minuman haram.. berjanjilah..
Aku
mengangguk.
Dan
sepertinya saya langsung paham, apa makna ‘Pulang’ yang dimaksud oleh penulis.
Malam
itu, di tengah hujan deras, di tengah rimba lebat lereng Bukit Barisan, hanya
aku yang masih sehat. Hanya aku yang masih bisa berdiri tegak. Aku mencengkeram
tombak pemberian Bapak. Aku berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan dan
bersitatap dengan monster mengerikan itu. Jika aku harus mati, aku akan
melakukan perlawanan terbaik.
Malam
itu usiaku memang baru lima belas, tapi fisikku tinggi besar seperti seorang
pemuda. Usiaku memang masih anak-anak, tapi di darahku mengalir pekat keturunan
seorang jagal paling masyhur di seluruh Pulau Sumatra. Sebut nama kakekku satu
kali, maka satu kota akan bergegas mengunci jendela dan pintu, meringkuk di
dalam kamar.
Malam
itu, dadaku telah dibelah. Rasa takut telah dikeluarkan dari sana. Hari itu aku
menyadari warisan leluhurku yang menakjubkan, aku tidak mengenal lagi definisi
rasa takut.
Bujang,
lahir dari benih seorang tukang jagal, namun mendapatkan pengasuhan seorang
wanita berakhlaq mulia. Lahir dan dibesarkan di belantara rimba Sumatra.
Perpaduan semuanya melahirkan seorang anak yang tegap, kuat, lincah sekaligus
cerdas dan berhati lurus. Menjadikan ia seorang yang sangat layak untuk menjadi
pemimpin hebat dan kuat.
Setelah
dua puluh tahun berlalu, takdir itupun sampai pada Bujang. Ia menjadi pemimpin
yang disegani sekaligus ditakuti. Hanya saja, ia menjadi pemimpin untuk sebuah
organisasi preman, organisasi shadow economy.
Maka
keseruan makin terasa ketika baca novel ini, sambil kita membayangkan film
Matix karena banyak adegan berantem dan tembak-tembakannya. Atau sambil
membayangkan film Karate Kid, karena banyak bercerita tentang proses Bujang
belajar seni bela diri dan filosofi pertempuran. Entah kenapa dua judul film
itu yang muncul di kepala saya, ketauan kan saya hidup sejak tahun kapan..
Tapi
yang jelas, membaca novel ini, kita jadi ikutan belajar tentang shadow economy.
Sesuatu yang tak akan dipelajari di sekolah. Namun sangat jelas terjadi di
masyarakat. Agaknya bang Tere punya cara unik untuk berbagi ilmunya.
Akhir
kata, suka banget sama novel ini, karena cocok banget buat direkomendasiin ke
anak laki saya yang belum terlalu seneng baca novel. Sangat macho tapi tetap
mampu mengasah sisi emosi kemanusiaan.
Mamak,
Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaramu, tapi juga
pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan,
segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk
pulang. Anakmu telah pulang
Judul
buku : Pulang
Penerbit : Replubika
Penulis : Tere Liye
Jmlah
hal : 400
- - Trisa -
0 komentar:
Posting Komentar