Kita Yang Terbolak-Balik
Sejumlah
permasalahan yang terjadi di negeri bernama Indonesia seakan tak pernah
berhenti. Di negeri yang kaya ini rupanya terjadi pola pikir yang salah kaprah.
Dalam hal pembangunan yang seharusnya melibatkan rakyat, nyatanya
peran rakyat dipangkas dan dilewati dengan dalih efektivitas. Hal ini membuat
rakyat berperan sebagai objek, bukan subjek pembangunan. Dalam kasus
pembangunan kawasan industri atau hiburan yang terkendala melewati kawasan
rakyat, cara-cara instan pun dilakukan oknum pemerintah.
Pembakaran
pasar demi memuluskan sebuah proyek adalah hal lumrah yang sering kita dengar.
Berbagai macam penyakit pengenyampingan rakyat itu membikin kita bertanya,
apakah negara ini milik pemerintah atau bukan. "Rakyat adalah milik
negara, bukan Negara milik Rakyat. Itu pun dengan catatan bahwa Negara bukanlah
milik Negara itu sendiri..." (Halaman 37).
Berbagai
kasus sosial-kultural yang terjadi seperti anak sekolah yang tak lulus ujian
lalu bergayutan di pucuk rerantingan, seorang isteri yang santai membunuh sang
suami atau anak lelaki yang mudah memenggal leher familinya sendiri. Apakah
para pelaku kejahatan dan sadisme yang teramat istimewa itu akan kita suruh
bercermin ataukah mereka adalah justru cermin terpampang di depan wajah kita?
(Halaman 40).
Inilah
yang dikatakan oleh Cak Nun sebagai tatanan dunia yang dibolak-balik. Contohnya
pada judul Cerdas, Terampil, dan Jujur, tetapi Melarat. Pemilik bengkel
kesal pada karyawannya yang terlalu jujur dan tidak tahu cara menyerap
pasien karena kejujurannya. Mobil orang baik-baik, dia bilang apa adanya. Tidak
mau bilang kurang ini dan itu. Setiap saran diarahkan untuk melakukan
penghematan. Kan ini 'merugikan' pemilik bengkel.
Lalu di
Kontraktor Pembangunan, budayawan dan intelektual ini menyindir lewat dialog
kakak terhadap adiknya yang calon walikota, tentang salah pandang yang terjadi
pada pejabat. "Para pejabat pendahulumu yang salah sangka terhadap rakyat
dan terhadap dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan
rakyat, sementara rakyat mereka kira bawahan, dan menganggap rakyat itu
kecil" (halaman 62).
Ditutupnya, karena itu jangan suruh rakyat
berpartisipasi dalam pembangunan. Sebab merekalah pemilik pembangunan.
Dengan
menggunakan bahasa satire, Cak Nun menyentil dengan halus kesalahan
berpikir masyarakat kita. Seperti pada "Guru, kok Manjat
Kelapa!" kita dihadapkan pada realitas berpikir masyarakat yang masih
ditinggikan gengsi. Guru Mataki, yang suka manjat-manjat kelapa dan jualan ke
pasar, dianggap kurang menjaga citranya sebagai seorang guru.
Maka, Cak Nun menyindir, "Guru macam itu!
Guru itu terhormat. Guru itu panutan masyarakat. Ia wajib menjaga perilakunya
sehari-hari, tak boleh nongkrong di warung, tak boleh berpakaian seperti
penggembala kerbau, apalagi memanjat kelapa dan bawa rengek ke pasar!"
(Halaman 211). Inilah bangsa kita.
Terlalu mengagungkan gengsi. Mementingkan
status, gelar, dan pangkat. Padahal apa yang dilakukan guru Mataki adalah
pekerjaan halal, mulia, dan terhormat. Bahkan jadi panutan.
Rupanya,
budaya feodalisme bertahan apik pada masyarakat bangsa kita. Menyentuh
semua lapisan masyarakat dari tingkat atas hingga kelas bawah. Begitulah wajah
bangsa Indonesia, yang berarti wajah kita juga. Serba terbolak-balik. Seperti
judul bukunya, Gelandangan Di Kampung Sendiri.
Harusnya kita menjadi tuan di kampung sendiri,
tapi nyatanya, begitulah. Dan, dengan jujur pula itu harus kita akui.
Kegundahannya
ini disampaikan dengan apik oleh budayawan dan intelektual lewat buku ini.
Berbagai
peristiwa yang ringan dan berat disampaikan. Bagi saya, pemaparan Cak Nun lugas
dan mengena. Tidak hanya tema besar yang disajikan, tema sederhana pun
disampaikan dengan berani dan apa adanya.
Meskipun banyak kritik dan sindiran, buku ini
menambah cinta kita pada bangsa, dalam upaya membawa ke arah yang lebih baik.
Judul Buku :
Gelandangan di Kampung Sendiri
Penulis : Emha Ainun Najib
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, April 2018
Tebal
Halaman : viii+296
halaman
ISBN : 978-602-291-472-3
- Supadilah -
0 komentar:
Posting Komentar