Awalnya
saya tidak tertarik dengan novel ini sebab covernya dan karena saya mengira ini
adalah novel sejarah. Tapi melihat review beberapa pembaca dan kekaguman
terhadap penulisnya, akhirnya saya membeli buku ini. Nyatanya saya mampu
menyelesaikan membaca dalam waktu beberapa jam saja, dan ini kali ketiga saya
membacanya, dan kali ketiga pula saya tidak mampu menahan air mata saat membaca
bagian tersedih dari novel ini.
Empat
sekawan; Arin, Iyan, Kamil, dan Ramli. Menghabiskan hari-hari mengupas
Indonesia bersama Abak Zainuddin. Mereka memanggil Abak Zainuddin dengan
sebutan Abak Indonesia. Beliau sudah seperti orang tua sendiri bagi mereka.
Besar di
kota kecil namun hidup dengan semangat yang besar dan cinta yang menggelora
pada tanah air. Setelah tamat tsanawiyah,
empat sekawan ini semakin jarang bertemu. Apalagi Arin, ia melanjutkan sekolah ke luar
kota.
Salah
satu yang saya suka dari novel ini adalah penulis selalu menyelipkan beberapa
kata atau bait syair puisi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai keagamaan dan
kebangsaan. Selain itu, cara penyajian setiap kisah yang terjadi juga menarik meski ada beberapa yang terlalu
didramatisir. Tapi, ya namanya juga novel 😁 kadang gak menarik kalau gak
dramatis.
Konflik
pertama muncul ketika Kamil mengirim surat kepada Arin. Ia mengutarakan
perasaannya. Namun Arin tidak mau persahabatan mereka rusak akibat rasa yang
belum boleh ada diantara mereka. Lalu konflik berikutnya, meninggalnya Abak
Indonesia, gempa bumi 30 Spetember yang
mengguncang Sumatera Barat dan merenggut ibu Kamil, hingga perpisahan Arin
dengan keluarganya sebab Ayah Arin mendapat modal untuk usaha di pulau Jawa.
Arin
harus tinggal di rumah Mak Utiah -mamak jauhnya. Mak Utiah lah yang melunasi
seluruh tunggakan uang sekolah Arin. Awalnya Arin sangat bersyukur Mak Utiah
mau berbaik hati. Namun, dari sinilah duka itu dimulai. Mak Utiah melarangnya
ke sekolah, dilarang keluar rumah, memberi kabar kepada keluarga dan teman,
handphone disita, juga dilarang menulis -yang sudah menjadi kegemarannya sejak
lama. Arin bahkan diperlakukan seperti pembantu. Boy -anak lelaki Mak Utiah
hanya diam saja melihat ayahnya berlaku sangat tidak adil pada Arin.
Puncaknya,
suatu hari Mak Utiah mendapati Arin sedang menulis. Ia merobek-robek semua
kertas di meja belajar Arin. Arin protes, namun protesnya itu berujung
penyiksaan Mak Utiah terhadapnya. Ia
diseret keluar kamar oleh Mak Utiah, beberapa kali kepalanya dibenturkan ke
dinding. Kepalan tinju juga mendarat hebat di kedua matanya. Tubuh Arin lunglai
jatuh ke lantai. Darah bercucuran melukis lantai, tapi Mak Utiah tidak peduli.
Arin lelah melawan, ia letih menjerit.
Pasrah. Beberapa saat kemudian Boy datang dengan beberapa tetangga. Arin
dilarikan ke rumah sakit dan Mak Utiah langsung dibawa ke kantor polisi.
Di rumah
sakit, dokter menyarankan operasi sebab
kangker Arin -yang ia derita sebelumnya- semakin menyebar, diperparah dengan
benturan di kepala Arin, ditambah lagi Arin kini buta. Keluarganya sudah
memusyawarahkan operasi, dan mengusahakan donor mata untuk Arin.
Apakah
operasi arin berjalan lancar, hingga kankernya dapat diangkat dan apakah Arin
bisa melihat lagi lalu melanjutkan karya-karyanya?
Baca deh,
seru 😁
Kelebihan
novel ini adalah jalan cerita yang menarik, diksi yang tepat, puitis dan ending
nya tidak mudah ditebak. Juga terdapat banyak sekali nilai-nilai positif yang
dapat diambil dari kisah-kisah para tokohnya. Namun novel ini juga memiliki
kekurangan yakni opening yang agak membosankan. Penulis memulai dengan syair
tentang Indonesia dan problemanya sepanjang satu bab. Selain itu, penulis juga
tidak menyebutkan bahwa sebelumnya -sebelum penyiksaan yang dilakukan Mak Utiah
terhadapnya, Arin sudah menderita kanker.
Selebihnya
novel ini keren
Sekian,
terima kasih
Judul : Penyair Merah Putih
Penulis : Mardhiyan Novita MZ
Penerbit : Kuntum
Th
terbit : 2011
Halaman : 142 + vii
-
- Khadijatul AZ -
0 komentar:
Posting Komentar