Judul
: 30 Paspor di Kelas Sang Profesor
Karya
: Jombang Santani Khairen
Tebal
: 328 Halaman
Penerbit
: Noura Books ( PT. Mizan Publika)
5
Terrafarma
Tak
usah kau risaukan, Ayah, aku berkelana bukan untuk dunia semata.
Jangan
Kau kusutkan keningmu, Ibu, langkah kakiku adalah hangatnya peluk dan doamu.
Mungkin
ini adalah akhir, dari pencarianku, terhadap diriku sendiri.
Di
tanah ini, aku terdampar dan mematrikan janji di dalam hati, kepada Sang
Mahapasti.
Mungkin
pula ini adalah awal dari semangat yang menggumpal.
Di
tepian teluk ini, napasku beradu sendu dengan inpian dan udara masa depan.
Dari
kebasnya rasa cinta dan benci, aku mengerti.
Dari
sebuah impian suci yang abadi, aku mengerti.
Dari
percikan suara alamyang berteriak sunyi, aku mengerti.
Dari
guratan firasat yang tak bertepi, aku mengerti.
Perjalananku
adalah perjalanan jauh ke dalam hati untuk hari esok yang lebih berarti.
Melepas
Kodi dan Mengajarkan Rajawali Terbang
Pada
abad ke-7, seorang pelaut tangguh mengangkat layar kapalnyamenyebrangi lautan.
Tujuannya adalah tanah subur di timur nun jauh dari daratan tempat tinggalnya,
menjelajahi dunia dari keingintahuannya yang tinggi proposalnya dibawa ke
mana-mana. Setelah ditolak raja Portugis dan Inggris, pria ini akhirnya
berhasil mendapatkan kepercayaan ratu Spanyol. Pada kemudian hari setelah
menjelajahi samudra berbulan-bulan, ia mendarat di sebuah tempat. “India!” Ia
berseru kepada semua awak kapalnya. “kita telah mendarat di India.”
Anda
mungkin sudah bisa tahu siapa yang saya maksud. Ya, ia adalah Chistopher
Colombus. Alih-alih mendarat di India seperti yang diharapkan Ratu Isabel yang
membiayai misi perjalanannya (untuk memperkuat poosisi Spanyol dalam
perdagangan rempah-rempah yang dibutuhkan Eropa dan terputus akibat perang
salib), colombus justru mendarat di sebuah benua yang kelak dinamai amerika.
Ini tentu di luar harapannya. Ia sendiri tak pernah sampai ke tanah India,
melainkan kesasar di benua lain. Lalu ia kembali ke Spanyol, menghadap ratu dan
dicemooh para penjelajah dunia lainnya yang mengambil rute berbeda menuju
pantai barat Afrika terus ke selatan hingga sampai di Tanjung Harapan. Mereka
jelas berada pada posisi yang lebih dekat dengan India yang sebenarnya. Namun,
alih-alih dihukum karena tersasar, Colombus justru diberi penghargaan raja
Ferdinand dan ratu Isabel. Bahkan hingga hari inikita mengenal namanya
sebagai penemu Benua Amerika. Ketika
dicemooh itulah Colombus berfilsafat, “kalau tak pernah mau kesasar, kalian tak
akan menemukan jalan baru.”
Berikan
Anak-anak tantangan Mereka Akan Menjadi Pemimpin
Saya
kira Colombus seratus persen benar. Kita semua tahu tidaklah penting apa yang
kita capai hari ini, atau saat ini. Yang lebih penting sesungguhnya adalah apa
yang kita bisa pelajari dari sebuah perjalanan itu sendiri dan apa yang bisa
kita lakukan di depan. Apalagi perjalanan itu adalah sebuah proses, bukan
perhentian akhir. Orang-orang besar itu adalah the climbers, bukan the campers,
apalagi the quitters. Berkat satu perjalanan yang “gagal” itu otak manusia
justru menjadi terbuka, dan sebuah keyakinan baru muncul.
Self
Driving
Mengajak
mahasiswa menggunakan paspor mereka masing-masing adalah ibarat melepas jahitan
yang ada di sayap mereka, melatih terbang kembali menjelajahi alam semesta ini.
Mejadi Rajawali. Juga menjadi great driver, yang pandai mengendarai kendaraan
pemberian Tuhan yang Maha sempurna: yourself, not your UI, your ITB, or your
Harvard. Ya, memindahkan ilmu bukan dari buku ke kertas, melainkan ke seluruh
tubuh dan karakter manusia agar kelak menjadi kualitas yang lebih hebat dari
guru-gurunya sendiri.
Refleksi
Tindakan
Berawal
dari refleksi saya pun memilih untuk merevolusi cara berpikir “ketimbang
sekedar memindahkan isi buku kepada otak mahasiswa saya. Setiap awal semester,
dipertemuan kuliah pemasaran internasional langsung menugaskn para mahasiswa
untuk mengurus paspor. Profokasi terhadap mahasiswa dilakukan dengan fakta
bahwa Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita diluar negeri yang pendidikannya tak
setinggi para mahasiswa ternyata lebih mampu menangani tantangan dan
ketidakpastian di luar negeri ketimbang para calon sarjana yang hanya duduk
manis di bangku kuliah. Era jagoan bicara telah berakhir, kini jagoan itu hanya
akan dihormati kalau mereka punya karya, punya langkah. Dan TKW itu adalah
manusia yang terhormat karena mereka punya langkah dan membawa berkah.
Bagaimana dengan calon sarjana?
The
Land of Ice and Fire (Ragil Caitra Larasati)
Mataku
terbuka, melihat sekeliling. Tak ada Mama, tak ada kecupan, tak ada doa.
Biasanya, Bapak yang mengintip dari balik pintu akan menyusul Mama sambil
tersenyum. Mereka akan membacakan rentetan doa dan memelukku setelah itu. Hari
ini adalah hari ulang tahunku yang ke-21. Tapi, pagi ini semua itu tak ada. Aku
sendiri, sepi, dingin dan jauh. Aku memang bukan anak perempuan yang sempurna
bukan anak yang selalu mematuhi perintah maupun kemauan orangtua. Meski begitu,
mereka tak pernah lelah menjagaku dan mencintaiku. Mereka juga selalu percaya
padaku. Buktinya, hari ini aku duduk di sini menatap ke arah jendela yang didtutupi
salju tipis. Puluhan ribu kilometer jauhnya dari mereka.
Kualihkan
pandangan ke bagian lain dari ruangan kecil ini. Di sudut meja handphone mulai
berisik, sepertinya ucapan selamat ulang tahun yang datang beruntun. Di
sebelahnya laptopku masih menyala. Aku lupa semalam tidak mematikannya setelah
berinteraksi dengan beberapa teman kerabat di Jakarta. Di sebelahnya tergeletak
mangkuk kosong yang aku gunakan untuk sereal semalam.
Badanku
masih dilapisi selimut tebal. Bau yang sudah ku kenal memenuhi ruangan kecil
ini. Sulfur yang menyeruak dari gepthermal. Sedari tadi aku menahan sesuatu
yang memberontak dan minta keluar dari mataku namun aku berusaha tidak menangis
seperti anak kecil.
Aku
sendirian. Kemudian berbisik perlahan, “Selamat ulang tahun.” Gunung-gunung
salju musim dingin kemuadian mulai tampak jelas seiring matahari yang mulai
menghangat. Mereka menyapa, “Selamat datang di Islandia.”
Aku
berpetualang bukan untuk kabur dari kehidupanku. Mencari jati diri, itulah
kenapa aku di sisni hari ini. Menjadi nyaman untuk merasakan pertemanan dengan
diriku sendiri di tempat yang asing. Bersama-sama mencari kehangatan di tengah
dinginnya Kota Hafnarfjordur, Kota Pelabuhan yang memiliki banyak mitos
mengenai kurcaci-kurcaci kecil di tengah hamparan formasi bebatuan lava beku.
Perjalananku
dari Jakarta menuju Islandia bukan perjalanan yang mulus. Aku mengambil mata
kuliah pemasaran Internasional untuk melancarkan perjalanan ini. Namun, pertemuan pertama dengan sang dosen
yang tak lain adalah Pak Rhenald Kasali sudah membuatku cukup ciut. Aku
termasuk yang sering telat datang di kuliah pagi. Dan selama ini,
keterlambatanku tidak pernah jadi masalah bagi dosen-dosen lain. Namun,
pertemuan di kelas pertama dengan Pak Rhenald Kasali benar-benar membuatku
tidak berani lagi untuk terlambat.
“Teman-temanmu
tidak ada yang terlambat. Padahal ada yang rumahnya jauh. Kamu harus menghargai
mereka.” Kata Pak Rhenald.
Aku
tertohok. Saat itu, kelas pemasaran internasional sedang membahas tugas pergi
ke luar negeri yang diberikan oleh Pak Rhenald. “Islandia, Pak,” jawabku ketika
ditanya hendak ke mana. “Kenapa ke Islandia?” Pikir teman-temanku. Ada juga
yang mengira negara ini terletak di bawah Australia.
Aku
merasa perjalanan ini sama seperti kehidupan. Prosesnya bisa saja menyebalkan,
menyakitkan, atau membuat mati rasa. Tapi, ketika kamu sudah sampai di tujuan,
semua beban rasanya sirna. Kita pergi jauh untuk menyadari dimana rumah kita
yang sebenarnya. Jika kamu tidak punya rumah, perasaanmu terhadap orang tentulh
yang merupakan rumah hatimu. Aku merasakan kedua perasaan rindu itu. Rindu
terhadap tempat yang sudah kutinggali selama belasan tahun lebih, dan rindu
terhadap orang-orang yang telah menyentuh kehidupan. Aku sadar, umurku sudah 21
tahun. Aku harus mmenjadi dewasa. Sebentar lagi aku akan lulus dan mencari
pekerjaan, lalu menjadi orang-orang dewasa dan umumnya yang bisa membiayai diri
sendiri. Di tengah coretan tintaku di buku catatan yang selalu aku isi setiap
harinya dalam perjalanan ini, aku terdiam. Aku takut terlalu termakan oleh
rencanaku terhadap masa depan hingga tidak bisa menikmati masa sekarang. Aku
ingin menikmati masa sekarang, tetapi juga dengan rencana masa depan yang baik,
tentunya. Aku tersenyum simpul sambil terus menulis. Menulis hingga tanganku
kaku oleh dinginnya malam. Dari semua kata-kata yang aku ekspresikan saat ini,
tidak ada yang mampu mewakili macam-macam perasaan dalam perjalananku untuk
pertama kalinya ini. Benar juga kata seorang temanku “Tulislah sesuatu yang
bahkan kau sendiri akan tergetar apabila membacanya.” Kali ini aku
merasakannya.
Pembuktian
(Diana Ridha)
Lagi-lagi
ada kejadian yang bikin susah. Sudah seminggu lebih mengurusi keberngkatan ini,
dan setiap hari ada aja yang menghambat. Kadang suka heran, kenapa, ya susah
banget mau menjalankan tugas? Yah kalau orang bilang mendapatkan sesuatu tanpa
kesulitan dan drama, tuh engga ada gregetnya.
Kalau
ingat kata-kata Pak Rhenald, aku harus tetap semangat. Beliau bilang jangan
pernah memulai sesuatu dari hambatan yang harus dihadapi. Because if you start
it that way, you will get nowhere. Sama sekali tak terbayang olehku bagaimana
kalau nanti aku tersesat sambil membawa koper yang sangat besar ini. Terlebih
lagi postur badanku yang memang kecil, benar-benar seperti bocah hilang. Disini,
aku sadar, bahwa apapun yang terjadi nanti selama perjalananku, aku harus bisa
berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat. Enggak ada yang bisa menolongku
makanya harus bisa semuanya sendiri, harus mampu, harus berani, pokoknya harus
bisa. Mata kuliah ini akan menjadi bukti untuk mereka yang meremehkanku. Ini
membuatku semakin ingin pergi ke tempat yang jauh dan aneh, hanya demi
membuktikan kepada mereka bahwa aku sudah besar, I am grow up and I definitely
can do this by my self.
Overall,
pengalamanku selama di Tokyo berhasil mengajarkanku untuk berani hidup
mandiri,sungguh. Benar-benar latihan hidup yang sangat berharga. Di sana, aku
bertanggungjawab atas diri sendiri. Aku memang bebas mau melakukan apapun dan
pergi kemanapun tanpa ada orang yang melarang. Tapi, tentu kebebasan ini juga
harus dibarengi dengan tanggung jawab. Karena kalauterjadi apa-apa selama aku
disana, tidak ada orang yang bisa menolong. Aku harus bisa menolong diri
sendiri dan memecahkan sendiri semua masalah yang aku hadapi. Jika dipikir
lebih lanjut, tidak jauh berbeda dengan apa yang akan aku hadapi di masa depan
nanti, once I become independent, saat aku sudah tidak bergantung lagi kepada
orangtua. Juga, aku berhasil membuktikan kepada keluargaku yang tadinya
menertawakanku. Bangga rasanya. Sekarang mereka tidak boleh menganggapku anak
kecil lagi. For me, this was a very rare and extraordinary life lesson
something that I couldn’t get anywhere else in life.
Puji
Akhiroh IM2
0 komentar:
Posting Komentar