Hijrahnya ilmuwan
Indonesia ke negara lain atau banyaknya mahasiswa Indonesia yang sekolah di
luar negeri dan tak kembali (berkarya di negara lain) merupakan indikasi dari
buruknya sistem inovasi di negeri kita. Fasilitas lab yang tidak memadai,
kecilnya insentif bagi para peneliti, atau kurangnya instrumen perlindungan hak
cipta adalah sebagian kecil penyebabnya. Berkarya di perusahaan? Juga tak
mudah. Faktanya perusahaan2 dalam negeri lebih cenderung mempekerjakan karyawan
lulusan S1 atau level dibawahnya. Ini juga mengindikasikan buruknya budaya
inovasi di dalam industri kita. Embrio riset di dalam negeri sebenarnya banyak,
sayangnya sebagian hasil riset ini berakhir menjadi tumpukan kertas di lab atau
di perpus alias gagal naik kelas menjadi produk massal. Lagi-lagi penyebabnya
adalah buruknya sistem inovasi kita yang tak mampu membuka kran sirkulasi dan sinergi
antara sektor akademik dengan pelaku industri. Industri juga akhirnya lebih
memilih lisensi dari negara lain ketimbang mengcreate produk inovatif sendiri.
Pertanyaannya adalah
apa hubungan antara banyaknya ilmuwan dan produk riset untuk menuntaskan
persoalan2 mendasar seperti kemiskinan? Boleh jadi kita tak melihat ada
kaitannya. Namun faktanya jika kita belajar dari negara maju, jurnal-jurnal
ilmiah dan karya riset yang spektakuler tidak akan memiliki daya dobrak jika
temuan-temuan ini (invention) tidak bertransformasi menjadi produk (inovasi)
yang dapat dinikmati pasar (komersialisasi). Maka sistem ekonomi inovasi
sebagai elemen yang hilang dari mesin pembangunan negeri ini pada dasarnya
bertujuan untuk mendongkrak invensi menjadi produk inovasi yang dapat
diproduksi massal oleh industri dan dinikmati kembali oleh masyarakat.
Dalam sektor agro
misalnya, Indonesia merupakan produsen utama beberapa komoditas unggulan dunia
seperti CPO, coklat, kopi, teh, ikan, udang, dan susu. Sayangnya raw material
ini belum banyak diolah, ekspor terbesar kita masih dalam bentuk raw material
atau produk setengah jadi. Ini mengindikasikan industri manufaktur kita masih
lemah sehingga produk2 olahannyapun memiliki indeks daya saing rendah di pasar
internasional. Padahal industri2 ini merupakan penyumbang PDB terbesar bagi
negara kita. Jadi menurut hemat saya satu-satunya cara efektif untuk
meningkatkan petani dalam arti luas adalah dengan menumbuhkan industri agro
pengolahan dalam negeri. Pertama value added dalam proses pengolahan akan
meningkatkan nilai produk itu sendiri, kedua, petani (dalam arti luas) akan
meningkatkan produktivitasnya untuk memenuhi stok bahan baku industri yang
kontinyu, ketiga lapangan kerja meningkat di tingkat industri, dan tentu saja
kemiskinan dapat diatasi karena menurut BPS 63% rakyat miskin itu hidup di
desa, yang mata pencahariannya petani kecil atau buruh tani. Namun sekali lagi
harapan ini tidak dapat dicapai jika sistem inovasi kita belum berjalan dengan
baik.
Faktor penentu
keberhasilan sistem inovasi adalah pengembangan modal manusia dan aktor sosial
budaya. Terdapat dua aktor utama yang berperan, yakni aktor primer yang
terlibat langsung dalam aliran knowledge yakni peneliti/akademisi yang berada
di univ, lembaga litbang, industri, dan NGO. Kedua aktor sekunder yakni
pemerintah sebagai penghasil regulasi, pemberi insentif, dan penyedia
infrastuktur untuk menumbuhkan sistem inovasi nasional. Untuk merealisasikan
sistem ekonomi inovasi, kedua aktor ini harus bersinergi, mengerahkan potensinya
masing-masing untuk bersama-sama menyediakn iklim yang kondusif bagi
pembangunan ekonomi di Indonesia.
(Bersambung)
Judul Buku : Gelombang Ekonomi Inovasi
Penulis : Prof Zuhal
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Part 2 : The Missing Puzzle: Sistem Inovasi
Yogyakarta, 13-03-2015
-THW-
0 komentar:
Posting Komentar