Judul Buku : Gelombang Ekonomi Inovasi
Penulis : Prof. Zuhal
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Page Number : 278
Tahun 2030, pertumbuhan
ekonomi Cina diprediksi oleh Goldman Sachs akan tumbuh pesat melebihi Amerika
Serikat, yang berarti Cina akan menjadi negara dengan PDB tertinggi di dunia.
Apa gerangan rahasianya? Sejak tahun 1995 Cina sangat agresif meningkatkan dana
riset and developmentnya hingga 19% per tahun dan tahun 2011 dana RnD Cina
menempati urutan terbesar kedua setelah AS. Bergerak menuju era ekonomi inovasi,
Cina begitu concern meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM-nya. Jumlah master
dibidang iptek dari 12.800 di tahun 1995 menjadi 63.514 di tahun 2004-2005.
Jumlah doktor terus ditingkatkan sebanyak 5x lipatnya pada setiap dekade. Publikasi
riset terus meningkat pesat menembus 354% pada tahun 2001. Sistem pendidikan di
Cina memberikan tekanan yang kuat di bidang sains dan teknologi. Para spesialis
di bidang ini secara bergantian terjun ke dunia pendidikan terutama di
sekolah-sekolah menengah, bekerja bersama mereka dalam proyek-proyek sains.
Pemerintah Cina menyebut langkah ini sebagai pengembangan inovasi terintegrasi.
Seperti halnya Jepang, Korsel, AS, Swedia, dan negara maju lainnya, Cina
berhasil mengintegrasikan perkembangan sains dan teknologinya ke dalam dunia
industri. Artinya riset-riset yang dilakukan di Cina tidak sekedar menjadi
invensi dan inovasi, namun telah berhasil dikomersialisasi ke dalam dunia
bisnis.
Desember 2014
lalu, saya juga diberi kesempatan untuk belajar sistem inovasi dan entrepreneur
di Lund University, Sweden. Swedia sebagaimana disinggung juga dalam buku ini, telah
dinobatkan sebagai negara paling inovatif kedua di dunia oleh Global Innovation
Index. Sama halnya dengan Cina, keberhasilan sistem inovasi di Swedia didukung
oleh kuatnya sistem pendidikan, penelitian dan sinergisitas triple helix.
Berbagai lembaga inkubator bisnis dan teknologi yang dikelola oleh para
profesional dibidangnya didirikan untuk membangun ekonomi inovasi di Sweden dan
menumbuhkan entrepreneur-entrepreneur baru. Bahkan ada satu kota (saya lupa
nama kota-nya) yang dimana 1 dari 10 penduduk di kota tersebut adalah seorang entrepreneur,
saking pesatnya pertumbuhan entrepreneur di Sweden. Jumlah penduduk Sweden yang
hanya 9 juta jiwa (lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta) menyebabkan
Sweden lebih terfokus untuk membuka pangsa pasar internasional. Sistem
pendidikan yang tidak mengenal hirarki menciptakan lulusan SDM yang terbuka,
kreatif, dan inovatif dan ini sangat mendukung untuk pembentukan karakter
seorang entrepreneur.
Lalu bagaimana
dengan Indonesia? Menurut Prof. Zuhal, awareness
tentang inovasi masih sangat minim di negeri ini, kendati istilah ini telah
menjadi jargon yang berseliweran di ruang publik. Indonesia sebenarnya sudah
punya masterplan pembangunan ekonomi inovasi seperti yang tertuang di dalam
draf MP3EI. Namun sayang, konsep ini baru sampai di tataran pusat sedangkan stakeholder
di daerah sebagai unit pelaksana teknis belum paham tentang hal ini (based on
laporan Kadin). Fakta lainnya, menurut laporannya Global Consumer Report AC
Nielsen, Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang paling konsumtif di
dunia. Survey dari World Intellectual Property Organization juga menyimpulkan
bahwa masyarakat Indonesia paling malas berinovasi.
Kabar
gembiranya, kita masih mendapati apresiasi dunia internasional terhadap masa
depan ekonomi Indonesia sangat positif. Bank Dunia dan Goldman Sachs meramalkan
negeri ini akan menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia di abad ke-21. Ada
yang memprediksi tahun 2030 Indonesia akan menempati urutan ke-10 dunia, ada
juga yang memprediksi urutan ke-20 dunia. Artinya ditengah carut marut politik
di negeri ini, Indonesia masih punya harapan untuk bangkit. Salah satu kendala percepatan
pembangunan ekonomi kita adalah minimnya SDM master dan doktor di bidang teknik
dan sains, dan pertanian. Tahun 2010, jumlah lulusan teknik hanya 11,5% dari
total sarjana, sarjana sains 3,67%, dan pertanian 3,32%. Bandingkan dengan Cina,
dimana sarjana tekniknya 39%, Korsel 27%, Taiwan 23% dan Jepang 19%. Sehingga
untuk akselerasi pembangunan ekonomi Indonesia dibutuhkan setidaknya 7-10 ribu
Ph.D di tiga bidang tersebut. Saat ini diperkirakan 10% Ph.D Indonesia bekerja
di luar negeri.Alasan ini pula yang melatarbelakangi dibentuknya LPDP dan
alasan mengapa lulusan LPDP LN wajib ‘ain kembali ke Indo karena SDM lulusannya
merupakan aset untuk menjadi lokomotif kemajuan Indonesia.
Karena problem
utama inovasi adalah awareness, maka
hal utama yang perlu ditumbuhkan oleh Indonesia untuk membangun ekonomi inovasi
adalah menumbuhkan mindset. Memapankan mindset inovasi ke dalam pola
pembangunan dan sistem produksi memang tidaklah mudah. Diperlukan political will pemerintah pada tahap
awalnya. Dan ini masih menjadi tantangan terbesar kita dimana penghambat daya
saing terbesar justeru berasal dari pemerintah berupa inefisiensi birokrasi
15,4% dan korupsi 14,2% (world economic forum, 2012-2013). Menilik kondisi
demikian, besar harapan saya sebenarnya perguruan tinggilah yang menjadi corong
pembentukan mindset inovasi, seperti halnya yang pertama kali dilakukan oleh
Sweden.
Sistem
pendidikan di tingkat menengah dan Univ. harus mampu menciptakan iklim yang
kondusif untuk merangsang ide-ide penelitian inovatif yang mengarah pada
komersialisasi atau mendukung pengembangan industri. Seperti kata Schumpeter (1992)
yang dikutip oleh Prof. Zuhal, bahwa entrepreneur merupakan hal penting dalam
paradigma ekonomi berbasis inovasi. Perusahaan-perusahaan inovatif semestinya
ditumbuhkembangkan dan kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk membangun
ruang gerak dan tumbuhnya perusahaan semacam ini di lapangan bisnis, memastikan
kompetisi yang fair dan memudahkan akses keuangan bagi mereka. Ini menunjukkan
pentingnya sinergisitas antara pemerintah, akademisi, dan industri untuk
menciptakan sistem ekonomi inovasi. Tak cukup hanya orang cerdas untuk
membangun inovasi namun juga butuh kendaraan dan lingkungan yang memungkinkan
orang-orang cerdas tersebut untuk masuk ke pasar dan merintis terwujudnya
ekonomi berbasis inovasi.
Petumbuhan
berbasis inovasi perlu dirancang secara sistematis, terencana, dan terorganisir
untuk menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, dan entrepreneurial di
berbagai sektor. Fokus pembenahan dan pengembangan haruslah meliputi aspek SDM
(akademisi, pelaku bisnis, dan masyarakat), pendidikan, RnD, pengembangan
regional, pemerintah, dan lembaga finansial. Kesemuanya ditata agar mampu
mendukung industri berbasis iptek yang adaptif terhadap inovasi.Menurut Prof. Zuhal kondisi ini hanya dapat terwujud melalui implementasi
kebijakan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dengan melibatkan aktor insitusi
akademik, pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat atau dikenal juga dengan
istilah ABCG (academic, business,
community, and government). Sinas ini kemudian dibreakdown kembali ke dalam Sistem Inovasi Daerah (Sida) mengingat
luasnya wilayah dan banyaknyapropinsi di Indonesia yang tentu setiap wilayahnya
memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Yah pada akhirnya, mewujudkan
sistem inovasi nasional menjadi PR kita bersama sebagai bangsa Indonesia.
Yogyakarta, 25
Januari 2015
THW - IM1
0 komentar:
Posting Komentar