Senin, 09 Januari 2017

School of Skill


Menulis Untuk Kehidupan Dunia dan Akhirat. "Tulislah apa yang kita rasa dan rasakan apa yang kita tulis".

Jika mengharapkan pengingat paling meyakinkan, tulislah pada kertas.
Jika menginginkan manajer yang memaksa meninggalkan kemalasan, tulislah pada kertas.
Jika ingin menemukan diri dan karir, tulislah pada kertas.
Jika butuh gagasan baru, tulislah pada kertas.
Jika hendak memasuki sebuah kebiasaan dan keterampilan baru, tulislah pada kertas.
Jika ingin segera menyelesaikan hutang, tulislah pada kertas.
Jika menginginkan kebesaran hidup, tulislah pada kertas.

Buku ini menganjurkan kita untuk berkarya dalam tulisan. Khususnya menulis buku. Dahsyatnya selain buku ini menjelaskan dan memotivasi kita tentang bagaimana manfaat menulis buku, buku ini pun mengajak kita untuk menemukan potensi diri bahwa sekecil apapun potensi yang kita miliki mesti disyukuri dengan cara mempelajari dan mengolahnya dengan terus bergerak dan belajar. Buku ini pun memiliki cara kreatif untuk terus belajar sehingga tulisan kita bisa menjadi inspirasi yang mencerahkan. Bahkan dijelaskan pula agar kita bisa berusaha belajar menghargai dan menggunakan waktu, momentum, dan peluang agar tidak kehilangan kesempatan.

Menulis sebagai sarana tarbiyah...
Merangkai kalimat yang berantakan menjadi gagasan yang mencerahkan.
Menyusun jejak-jejak yang terserak menjadi penggugah jiwa untuk bergerak.
Merawat kebiasaan yang dianggap biasa menjadi amal unggulan yang membahagiakan.
Memaknai peristiwa yang terjadi sebagai muhasabah diri.
Menekuni profesi apapun yang dijalani sebagai jalan taqwa meraih nikmat surgawi.
Mengajak sahabat-sahabat yang taat dan dahsyat agar terus berbuat yang terbaik agar meraih bahagia sukses dunia akhirat.

Ada bagian yang saya suka dalam buku ini, saat tulisan dapat menemukan diri kita sesungguhnya. Bahkan harus bergegas menemukan jalan sejarah dalam hidup kita. Pun banyak skill hidup yang harus digali dan dipelajari. Termasuk belajar all out dan bersyukur setiap waktu.

Dan ternyata...
Banyak sekali hal yang memang harus kita syukuri. Termasuk setiap masalah yang Allah hadirkan dalam hidup kita. Karena ternyata masalah itu banyak manfaatnya. Terlebih saat kita menulis. Menulis itu berangkat dari masalah. Sensitif terhadap lingkungan. Tidak terjebak kemapanan. Tidak terbuai kepuasan.
Harus peka memandang masalah untuk dapat melakukan perubahan. Pun dengan masalah kita bisa mencetak sejarah. Maka saat ada masalah, tetap berbahagialah...

Yuk menulislah!
Dan jadilah pribadi yang bersejarah.

Judul Buku    : School of Skill
Penulis           : Solikhin Abu Izzudin
Penerbit          : Pustaka Ikadi
Jumlah Hal     : 218

- Amrina Anggrarini -

MEMAKNAI WAKTU DENGAN “CUKUP"

Sinopsis :
Dialah pencipta jam pertama di dunia. Dia dihukum karena mencova mengukur anugerah terbesar dari Tuhan. Diasingkan ke dalam gua hingga berabad-abad dan dipaksa mendengarkan suara orang-orang yang minta diberi lebih banyak waktu. Lalu dia kembali ke dunia kita, dengan membawa jam pasir ajaib dan sebuah misi : menebus kesalahannya dengan mempertemukan dua manusia di bumi, untuk mengajarkan makna waktu kepada mereka.

Review :
Bercerita tentang 3 orang yang bernama Dor : manusia yang ingin menghentikan waktu, Victor : memperlambat waktu dan Sarah : mempercepat waktu. Saling tidak mengenal, hidup di zaman berbeda namun siapa sangka ternyata takdir mereka terikat satu sama lain dan saling mempengaruhi.

“Manusia selalu terkait dalam cara-cara yang tidak dipahaminya --- bahkan dalam mimpi-mimpi” – (Hal 107)

Diceritakan bahwa Dor, seorang laki-laki yang terlalu berbeda dengan laki-laki lainnya, suka sekali mengukur, Dor suka memperhatikan matahari dan bulan, lalu menghitungnya menggunakan mangkuk yang dilubangi, berapa yang dibutuhkan matahari untuk tenggelam dan bulan untuk menampakkan dirinya. Dor mempunyai dua teman semasa kecilnya, Nim dan Alli. Nim tumbuh menjadi laki-laki yang kuat dan menjadi raja di kala itu, sedangkan Dor hidup sederhana, mempunyai tiga orang anak dan menikah dengan Alli.

Nim, raja yang haus akan kekuasaan, membuat menara tinggi dan ingin menghancurkan dewa-dewa, merebut kekuasaan dan menjadi yang paling tinggi. Suatu ketika, Nim memerintahkan Dor untuk ikut dalam pembangunannya, karena Dor tidak mau menjadi budak dan lebih suka untuk mengukur “waktu”, Dor terpaksa diasingkan dari daerahnya, Dor pergi berdua dengan Alli, anak-anak mereka dititipkan ke orang tua Dor. Dor dan Alli hidup di sebuah daratan berdua dan setiap hari hanya mengandalkan ternak yang mereka bawa, namun mereka bahagia.
Cerita kedua mengenai Victor, orang terkaya nomor empat belas di dunia yang mengidap kanker ginjal dan mempunyai waktu untuk hidup tak lebih dari dua bulan. Victor, seorang anak yatim piatu, ayahnya meninggal ketika masih kecil dan ibunya memutuskan untuk bunuh diri sesudahnya. Namun, kehidupan Victor berubah saat bertemu dengan Grace di lift perusahaan Victor, mereka bahagia, menikah, menciptakan momen romantis hingga Victor menjadi tua dan semakin menjaga jarak dengan istrinya dengan menenggelamkan diri ke pekerjaannya.

Ketiga, menceritakan seorang gadis SMA yang cerdas namun tidak percaya diri dengan bentuk tubuh dan wajahnya, karena membutuhkan sertifikat pembuktian bekerja di masyarakat untuk masuk universitas, Sarah Lemon, mendaftar menjadi relawan untuk orang-orang tua di lingkungannya. Harinya biasa saja ketika akhirnya Sarah bertemu Ethan, cowok seksi, tampan dan ramah yang selalu bersikap baik kepada Sarah, bahkan Ethan memanggil Sarah dengan sebutan Lemon-ade dan Sarah merasa istimewa.

Sarah seorang anak tunggal dari single parents, ibunya Lorraine, dicerai oleh suaminya Tom, ketika Sarah berumur 12 tahun. Mereka berdua masih mengharapkan Tom, Lorraine berharap untuk memaki-maki Tom dan menyalahkannya atas seluruh perbuatan yang dilakukannya, sedangkan Sarah berharap, ayahnya dapat membawa Sarah bersamanya dan terbebas dari Ibunya.

Lalu bagaimana cerita tentang “waktu” ini dimulai? Semua berawal dari Alli – istri Dor mengidap penyakit dan meninggal, tak terima atas kematian istrinya, Dor berlari sekuat tenaga menaiki menara Nim dan marah terhadap dewa-dewa, namun Dor malah diberi “hukuman” untuk tinggal di Gua dan mendengarkan rengekan manusia di bawahnya dalam sebuah wadah airnya yang semua meneriakan satu kalimat yang intinya sama : “lebih banyak waktu.” “Percepatlah waktu.” “Kumohon sehari lagi.” “Hentikanlah.” Dan Dor mendengar rengekan itu selama 6000 tahun, tidak pernah tua, lelah, sakit atau bahkan tertidur. Hingga, waktunya tiba untuk ke Bumi, waktunya harus jatuh ke Bumi dengan jam pasirnya untuk bertemu Victor yang pernah meminta waktu mundur untuk menghabiskan sehari bersama ayahnya dan Sarah, meminta percepat waktu agar dapat kencan dengan Ethan.

Victor merencanakan untuk mendinginkan tubuhnya di es dan akan dibangunkan kembali ratusan tahun lagi, dia ingin mengalahkan kematian dengan sains dan uangnya. Merencanakan semua itu tanpa sepengetahuan istrinya, Grace. Karena Victor tahu istrinya beragama dan pasti tak akan setuju dengan rencananya ini. Victor sebenarnya merasa bersalah, hari-hari terakhirnya dihabiskan untuk merencanakan “kehidupan selanjutnya” dan berbohong dengan istrinya sedangkan Grace, selalu merencanakan hari untuk dihabiskan bersama suaminya dengan berduaan dan memakan makanan-makanan sehat. Sedangkan di lain sisi, Sarah ingin mengakhiri hidupnya karena Ethan menolak cinta dan mempermalukan dirinya.

Dor bertemu kedua orang ini dan sudah mengamati mereka dari hari-hari sebelumnya. Merasa inilah tujuannya ke bumi untuk menyelamatkan mereka dari pilihan yang salah, Dor sang penjaga waktu, menghentikan waktu dengan jam pasirnya dan memperlihatkan masa depan yang akan terjadi jika mereka melakukan pilihannya masing-masing.

“Ingat ini selalu: ada alasannya mengapa Tuhan membatasi hari-hari manusia”
                                                                 “Mengapa?”                     
“Supaya setiap hari itu berharga” (Hal 288)

Buku ini adalah buku keempat Mitch Albom yang saya baca dan paling unik, terdiri dari 81 bab dan dibagi ke beberapa sub-bab, Mitch Albom ingin menyampaikan suatu maksud tentang waktu. Buku ini juga termasuk yang paling rumit jalan ceritanya, menghadirkan suatu kisah tentang waktu, menjadikan tamparan keras terhadap pembacanya bahwa memang manusia selama ini selalu rewel dengan waktu. “duh sejam mah gak cukup” atau “ah cepet banget sih udah jam segini aja”. Padahal jika waktu tersebut digunakan dengan baik, maka sebenarnya waktu tersebut pas. Hanya saja karena terlalu sibuk meminta lebih, manusia menjadi lupa bahwa waktu menjadi lebih berharga jika dihabiskan dengan orang yang mencintai dan kita cintai.

Dan buku bercover jam pasir dengan warna oranye dan biru ini mengajarkan banyak hal, tentang cinta, keluarga, kebersamaan dan pastinya waktu. Sekali lagi Mitch Albom membuktikan diri bahwa dia telah berhasil menyampaikan maksudnya lewat sebuah buku.


Judul Buku     : The Timekeeper – Sang Penjaga Waktu
Penulis            : Mitch Albom
Penerbit         : Gramedia
Cetakan          : Sept – 2016
Penerjemah   : Tanti Lesmana

ISBN                : 978-602-03-3353-3

Bagaimana si Miskin Mati

George Orwell yang terkenal oleh buku karangannya: 1984 dan Animal Farm, pernah menjadi polisi imperial Inggris di Burma, hidup miskin di Paris dan London, dan bertempur dalam Perang Saudara Spanyol. Buku ini Terdiri dari 20 essai Orwell dalam rentang waktu tersebut (1930-1946). Essai paling menarik menurut saya adalah 2 essai pertama yang ditulis Orwell saat menjadi polisi di Burma, mungkin karena bersetting di Asia sehingga saya merasa lebih related.

Essai pertama berjudul Hukuman Gantung, diterjemahkan dari A Hanging yang dimuat di majalah Adelphi pada Agustus 1931.

Dalam essai itu digambarkan bagaimana perasaan Orwell yang saat itu berada dalam posisi seorang penjajah di Negeri Burma menyadari betapa salahnya menghukum mati seseorang. Kesadaran ini muncul ketika ia menyaksikan sang terpidana digiring menuju ke tiang gantungan, di tengah perjalanan sang terpidana melangkah ke samping untuk menghindari sebuah kubangan air dan saat itulah Orwell terhenyak oleh kenyataan yang terpampang di hadapannya.

“Semua anggota badannya masih berfungsi−usunya masih mampu mencerna makanan, kulitnya masih bisa sembuh bila dilukai, kuku dan dagingnya masih bisa tumbuh kembali−semua anggota badannya masih bekerja keras dalam kebodohan yang khidmat…. Otaknya masih mengingat, mengira-ngira, dan berpikir−bahkan berpikir tentang genangan air yang menghalangi langkahnya.… Hilang satu jiwa, hilang pula satu dunia.”

Essai ini menjadi menarik karena dilihat dari sisi seorang penjajah sebagai eksekutor alih-alih oleh masyarakat terjajah yang sudah barang tentu akan mengutuk hal tersebut. Bagaimana seseorang yang memiliki kesadaran penuh akan tetap memahami kebenaran yang terungkap meskipun saat itu ialah yang menyalahi kebenaran tersebut.

Essai kedua berjudul Menembak Seekor Gajah, diterjemahkan dari Shooting an Elephant pertama kali dimuat di New Writing pada Agustus 1936.

Sebagai seorang perwira polisi dari negeri penjajah, tidak mengherankan bahwa Orwell dibenci oleh sangat banyak orang−di daerah jajahannya. Ia menggambarkan bagaimana hanya pada saat itu lah ia mempunyai posisi yang cukup penting untuk dibenci orang sebanyak itu. Ia juga menuliskan bahwasanya secara teoritis−dan secara diam-diam, tentu saja­−ia mendukung sepenuhnya orang-orang Burma melawan penindas mereka, orang-orang Inggris. Singkat kata, sesungguhnya Orwell sangat membenci pekerjaannya saat itu.

Suatu saat terdapat seekor Gajah yang terlepas dan membuat kekacauan di tengah pasar. Gajah itu bukanlah gajah liar namun seekor gajah jinak yang sedang birahi dan kebetulan berhasil melepaskan diri dari rantainya. Gajah tersebut telah menghancurkan sebuah rumah bambu, membunuh seekor sapi, meremukkan mobil, dan memakan barang dagangan di pasar. Namun orang-orang Burma tidak memiliki persenjataan dan tidak berdaya menghadapi amukan sang gajah. Saat Orwell tiba di pasar, Gajah tersebut sudah tidak tampak. Untuk menghindari kekacauan lainnya, Orwell turun dari kudanya dan menyusuri jejak sang gajah dengan membawa senapan bersama anak buahnya.

Sebenarnya, Orwell tidak berniat membunuh gajah tersebut, ia membawa senapan hanya untuk mempertahankan diri kalau-kalau diperlukan. Ia berjalan menuruni bukit, diikuti dengan kerumunan orang Burma yang jumlahnya semakin lama semakin banyak karena tingginya antusiasme mereka terhadap pengejaran tersebut. Mereka semua berjalan menuruni bukit sampai akhirnya terlihatlah sang gajah di tengah hamparan sawah, mencabut rumput kemudian menggosokkannya dengan lutut untuk membersihkannya, lalu memasukannya ke mulut. Ia sama sekali tidak acuh pada gerombolan manusia yang mendekatinya.

Saat itulah Orwell sadar bahwa lebih baik ia tidak menembaknya. Menembak seekor gajah sama seriusnya dengan menghancurkan mesin yang sangat berguna dan mahal, lagipula tampak jelas bahwa sang gajah sudah lewat masa birahinya sehingga tidak lebih berbahaya daripada seekor sapi. Ia sudah memutuskan hanya akan mengamatinya beberapa waktu untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah tidak berbahaya. Tugas berikutnya adalah bagi pawang gajah yang saat itu sedang pulang ke kampung halamannya untuk menggiring gajah tersebut kembali ke kandangnya.

Namun ketika ia berbalik, betapa kagetnya ia mendapati kerumunan manusia di belakangnya yang berjumlah paling sedikit dua ribu orang dengan wajah sangat antusias menanti-nanti dengan yakin bahwa ia akan menembak gajah tersebut. Mereka tidak menyukai Orwell, tapi dengan senapan di tangannya, Ia menjadi tontonan menarik bagi mereka.

“Dan saat itu juga saya menyadari bahwa saya memang harus menembak si gajah; saya bahkan bisa merasakan kehendak dua ribu kepala yang mendorong saya maju tanpa bisa ditentang. Dan pada saat itulah, ketika saya berdiri di sana dengan senapan di tangan, saya memahami betapa tidak berarti dan sia-sianya penjajahan yang orang kulit putih lakukan di Asia. Dan di sini saya, seorang kulit putih bersenapan, berdiri di depan kerumunan orang Burma yang tak bersenjata, bagaikan bintang utama sebuah drama; tapi kenyataannya, saya hanyalah sebuah boneka konyol yang didorong ke sana kemari oleh kehendak wajah-wajah kuning di belakang saya. Pada saat itulah saya mengerti bahwa ketika orang kulit putih menjadi seorang tiran, sebenarnya kemerdekaannya sendirilah yang ia binasakan. Ia menjadi semacam boneka murahan tak berisi, sosok yang diluhurkan. Karena sudah menjadi syarat dalam kekuasaannya bahwa ia harus membuat para “pribumi” terkesan sepanjang hidupnya, sehingga di setiap masa genting ia harus melakukan apa yang para “pribumi” harapkan darinya…. Dan keseluruhan hidup saya, keseluruhan hidup setiap manusia berkulit putih di Asia, adalah sebuah perjuangan yang panjang dan sengit untuk tidak ditertawai.”

Adalah sebuah paradox, ketika kita mencoba bersikap superior terhadap orang lain, maka kita terbelenggu oleh reaksi yang kita harapkan dari orang tersebut sehingga kita membatasi tingkah laku kita bukan menurut apa yang kita yakini melainkan apa yang orang tersebut harapkan.

Membaca karya terjemahan bisa menjadi sangat melelahkan bila penerjemah tidak apik dalam merangkai kata. Karena menerjemahkan sebuah tulisan bukan hanya pekerjaan harfiah namun juga pekerjaan menyusun kata-kata (terjemahan) kembali menjadi sebuah karya tanpa mengurangi soul nya. Kebetulan ketika saya main ke Post Santa (Toko buku indie di Pasar Santa yang selama ini hanya saya tongkrongin feed instagramnya karena saya tidak tinggal di Jakarta), sang empunya toko menjelaskan kalau Penerbit Oak dari Yogyakarta ini termasuk lihai dalam menerjemahkan karya dari luar sana. And I can feel that from the very first sentence in the very first article:

“Burma, di suatu pagi yang basah kuyup akan hujan.”

see?

Bagaimana si Miskin Mati
Penulis: George Orwell

Penerjemah: Widya Mahardika Putra

Penerbit: Penerbit OAK, Bantul, DIY
Cetakan Pertama, Maret 2016
Jumlah Halaman: 216 halaman
Peresume: Fira

Milea Suara dari Dilan

Sering kali di sela-sela baca novel Dilan dan Milea, saya bergumam, Ah...andai saja buku ini saya baca sewaktu SMA dulu. Pastilah saya bisa menjalani kehidupan remaja dengan lebih sederhana dan terarah serta positif. Dan, saya bisa memperlakukan teman wanita (pacar) saya dengan lebih baik. Eh,...

Membaca buku ini kita disodorkan pada sosok Dilan yang sederhana, pintar, dan apa adanya. Seperti, “Pada dasarnya, aku juga sama dengan si Akew atau si Piyan, pada ingin punya tampang kayak Onky Alexander, pada ingin punya muka kayak jeremy Thomas, atau kayak Ari Wibowo, yang menjadi idola remaja saat itu. Tapi aku tahu utu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Maka, jelas bagiku, sudah tidak usah lagi memikirkan hal itu”.

Sedikit informasi tentang sosok Dilan, dia adalah anak SMA di Bandung, kisahnya sekira tahun 1990. Bisa dibilang zaman dulu, kisah ini bercerita.  “Milea” adalah novel versi Dilan atau dalam sudut pandang Dilan. Di buku ini pula saya dibuat bingung. Sepertinya, tokoh Dilan bukanlah Pidi Baiq. Jadi novel ini adalah cerita dari tokoh Dilan yang kemudian ditulis oleh Pidi Baiq. Begitu dari yang bisa saya analisa.

Selain anak geng motor, Dilan dikenal sebagai pribadi yang lucu. Terlihat dari obrolan-obrolannya dengan milea dan teman-temannya. Uniknya, Dilan sebagai geng motor beda dengan kesan anak motor yang suka berkelahi. Dilan tidak menempatkan perkelahian sebagai hal yang penting. Dilan menganggap, dia perlu melakukan perlawanan karena diserang terlebih dahulu.

Dilan juga agamis. Banyak hal yang dirasakannya dikaitkan dengan camput tangan tuhan. Alhamdulillah, Dilan beragama islam. Sosok Dilan dikenal bisa bergaul dengan aneka macam orang, tanpa ada orang yang bisa mendiktenya. Dia bergaul dengan ibu kantin, geng motor, anak sekolah, hingga bencong (banci).

2. Pendidikan Orang Tua

2a. Kepercayaan Bunda

Bunda adala orang tua yang sangat demokratis. Tidak mengekang. Tidak terlalu mengarahkan. Bahkan terhadap ‘kenakalan’ Dilan, Bunda pun tidak masalah. “Ya, misal kamu nakal, buat Bunda gak masalah. Selama nakalnya itu menyenangkan orang banyak. Selama nakalnya itu gak bikin rugi orang, gak ngerugiin hidupmu, agamamu, dan masa depanmu”
Sangat jarang sosok ibu seperti bunda. Yang bisa memberikan kepercayaan terhadap anaknya. Dan lebih jarang lagi, sosok seperti Dilan. Dilan yang bisa memegang kepercayaan yang diberikan orang tua. Kepercayaan adalah sebuah kehormatan yang besar, sekaligus menjadi tanggungjawab yang besar pula.
Bahkan kenakalan Dilan ‘dimanfaatkan’ oleh Bunda untuk mengamankan dan menakut-nakuti siswa di sekolahnya. Bunda adalah kepala sekolah, tapi di tempat yang berbeda dengan Dilan. Suatu ketika ada iswa yag mengamuk dan melawan kepada semua guru bahkan kepada Bunda, selaku kepala sekolah. Saat dibawa ke ruang BP, bunda menanyakan apakah si anak kenal dengan Dilan. Bunda bilang kalau Dilan itu anaknya. Dan kelihatannya si anak kenal dengan Dilan, dan merasa jerih dengan Dilan yang ketua geng motor. Bunda bilang, “Sebelum melawan ibunya, lawan dulu anaknya”. Akhirnya si anak menjadi tenang dan tidak melawan. Bahkan ketika pamit dari ruang BP, si anak mencium tangan Bunda. Hebatnya, Dilan menafsirkan sikap si anak bukan karena takut. Tapi sebagai upaya membangun apa yang dinamakan menghargai persahabatan. “Bagiku, aku tidak mau berpikir bahwa si Dendi takut kepadaku, kukira dia sedang menunjukkan bahwa dirinya memiliki kebijaksanaan. Maksudku, tiap orang menghendaki hubungan persahabatan yang hebat, dan aku benar-benar percaya kepadanya”. Begitulah Dilan. Berupaya untuk selalu berpikir positif.

2b. Ayah, yang Menyayangi Dilan
Dilan ditangkap Polisi. Akew, teman Dilan, suatu malam tewas terbunuh, salah sasaran. Sebagai geng motor, solidaritas antara mereka sangat kental. Dan malam berikutnya, Dilan bersama teman-temannya berniat balas dendam. Namun niat itu belum kesampain. Keburu ada polisi yang mengamankan mereka. Malangnya, saat ditangkap, Dilan kedapatan membawa senjata api. Milik ayahnya. Ayah Dilan adalah seorang tentara. Kejadian ini tentu membuat malu keluarga. Terutama ayahnya. Ayah begitu marah. Dan ketika bertemu di ruang polisi, tak pelak ayah menampar Dilan. Dan menyuruhnya bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya. Bahkan ayah sendiri yang meminta polisi untuk menahan Dilan. Berbeda sekali dengan perangai aparat kita. Justru memminta pembebasan untuk keluarganya, padahal jelas-jelas bersalah.

Cinta Dilan kepada Milea bukan hanya karena fisiknya yang cantik. Bukan karena masalah penampilan. Tetapi juga refleksi dari kepribadiannya yang menyenangkan. Dengan sikap bahagianya, dia bisa menerima orang yang hidupnya tidak serius dan juga sekaligus tidak merasa aneh oleh hal itu.

Milea orangnya enak diajak mengobrol. Sehingga membuat Dilan tidak ada yang diinginkan lagi, saat bersama Milea, selain hanya ingin oksigen dan tetap bernapas agar bisa bersamanya setiap saat. Juga, ingin bensi gratis dari Pertamina, untuk bisa mengajak Lia jalan-jalan keliling kota Bandung. Dilan jadian dengan Milea tanggal 22 Desember 1990. Dilan bahagia dengan Milea, cewek cantik yang bisa nerima Dilan yang bukan Superman, tapi Cuma seorang siswa kelas 2 SMA yang tinggal di Bandung.

Sebagai anak geng motor, Dilan dan teman-temannya cukup mencintai negerinya. Dan bukanlah pembuat onar atau perusak. Kami, yang sering dinilai sebagai anak-anak nakal ini, berdiri memandang kota Bandung di atas bukit dekat sebuah warung kecil di pinggir jalan dan berkata, “Itu Bandung kami, tempat lahir kami. Jangan diacak-acak”

Dilan adalah pribadi yang menjadi dirinya sendiri. “Aku tidak tertarik untuk mengubah seseorang agar sama dengan diriku. Dan jangan ada yang tertarik untuk mengubah diriku agar sama dengan dirimu”
Milea pun demikian. Dalam penilaian Dilan, dia adalah salah satu jenis manusia yang sudah merasa nyaman jadi dirinya sendiri sehingga tidak perlu lahi mencoba untuk menjadi orang lain. Dia bukan gadis yang harus nampak mewah agar dilihat keren oleh isi dunia. Dan tidak merasa harus memiliki apa-apa yang tidak dia butuhkan agar bisa sama dengan orang lain. Bahkan, dia tidak memakai anting.
            Berbeda dengan kebanyakan orang (dan anak muda) yang merasa harus mempunyai nilai lebih atau harus bisa mengalahkan orang lain (dan lawannya) untuk bisa menarik perhatian orang yang disukai atau untuk mendapatkan cinta orang yang disukainya. Perlu menunjukkan bahwa seseorang punya sesuatu yang patut dibanggakan. Entah itu harta, kepintaran, atau lainnya. Tapi Dilan berbeda.
Yah, mereka berbeda. Begitu pengakuan Dilan. Ada banyak waktu untuk bisa sama dengan orang lain, yaitu pacaran dengan pergi ke mal atau ke tempat-tempat wisata. Aku memilih tidak membawa Lia ke sana, tapi, bukan karena masalah uang, melainkan karena aku lebih suka membawanya ke warung kang Ewok untuk Lia bisa merasakan kebahagiaan dari sebuah kesederhanaan, atau gimana, pokoknya gitu.

Di sekolah, guru yang paling diingat oleh Dilan adalah Bu Rini. Beliau selalu berpikiran positif terhadap siswa. Pada suatu saat Dilan berkelahi dengan Anhar, Bu Rini membela Dilan saat di ruang guru. Bu Rini meyakini bahwa pastilah Dilan mendapatkan penyebab sehingga berkobar amarahnya. Sangat terkesan dengan Bu Rini. Guru yang kata Dilan, adalah guru terbaik di dunia sekolah. Bahkan sudah dianggap ibu sendiri. Kelak, ketika Bu Rini meninggal, Dilan dewasa (saat itu sudah magang kerja) melayat dengan penuh haru ke rumah Bu Rini.

Kisah Romantis, Berakhir Tragis
Sepertinya Dilan dan Milea berjodoh. Kisah keduanya begitu hebat. Meskipun sederhana, tetapi hampir dipenuhi dengan kebahagiaan. Keduanya adalah pasangan yang serasi. Dan membikin iri banyak orang. Keduanya orang yang memiliki nilai lebih sesuai pribadi masing-masing. Milea cewek cantik, Dilan orang yang disegani dan terpandang diantara sahabat-sahabatnya.

Di saat keduanya semakin akrab dengan kisah bahagia dan romantis, keduanya akhirnya putus. Sebabnya, karena salah paham. Putus, membuat keduanya berjarak. Hari-hari terasa berat dirasakan keduanya. Namun kemudian waktu mengobatinya. Perpisahan yang sangat menyesakkan dada.

Kemudian mereka disibukkan dengan aktivitas baru. Usai SMA, Milea kuliah di jakarta. Dan Dilan ke Akademi Seni Rupa Indonesia, Jogja. Bertahun-tahun kemudian, mereka bertemu, di Jakarta. Di sebuah kantor tempat Dilan magang. Saat itu Dilan sedang mengurus magangnya, sementara Milea mengunjungi salah seorang kepala bagian di kantor itu, yang juga adalah pacarnya.

Pertemuan yang membingungkan, bagi Dilan, juga Milea. Antara senang dan sedih. Dilan menjadi ingat banyak kenangannya waktu dulu. Sempat membuat Dilan goyah. Namun bunda mengatakan, “Biarlah sudah, Nak. Gak usah kau sesali. Yang penting sekarang, urus Cika (pacar Dilan yang sekarang). Jangan sampai macam itu terulang. Gak usah berakhir dengan saling menyalahkan diri sendiri. Apalagi nyalahin orang lain..”

Kata bunda, jadilah diri sendiri. Masa lalu adalah masa lalu. Tak usah dihindari atau kau tolak. Masa lalu akan menjadi penasihat yang baik. Tidak ada gunanya kau sesali.

Meskipun, adakalanya Dilan masih merindui Milea. Namun tidak sampai melangkah lebih jauh dari itu. Milea tetap dengan pacarnya, dan Dilan dengan pacarnya pula. Dilan tidak ingin mengungkit, atau mengatakan menyesali apa yang sudah diperbuatnya. Atau menyalahkan adanya kesalahpahaman antara keduanya.

Bukan Dilan, namanya, kalau tidak menghadapi dengan cara yang berbeda. Pertemuan kembali dengan Milea, tidak dimanfaatkan untuk kembali merajut kisah. Bahkan ketika Dilan dan Milea kemudian sama-sama tahu bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi. Dilan baru tahu ketika putus dulu, Milea menganggap Dilan punya cewek baru. Dan Milea baru tahu, Dilan berusaha menjauh karena mendengar Milea yang sudah dekat dengan seseorang cowok. Begitulah. Buku ini mengaduk-aduk perasaan pembaca. Terutama yang suka dengan genre ini.

Apalagi yang berkesan dengan tokoh Dilan ini? Ayah Dilan adalah seorang tentara. Ketika ayah wafat, setelah dirawat di rumah sakit di Karawang, jenazah ayah dibawa ke Bandung. Dalam perjalanannya, Dilan meminta ke sopir ambulan TNI AD untuk tidak menyalakan sirene, karena tidak ingin berisik. Dilan tidak mau mengganggu pengguna jalan lain, yang mungkin saja terganggu. Ini berbeda dengan kebanyakan masyarakat kita, yang begitu memanfaatkan fasilitas sirene ini.

Judul                           : Milea, Suara dari Dilan
Tahun terbit                 : 2015
Penulis                         : Pidi Baiq
Jumlah halaman           : 357 halaman
Peresensi                     : Supadilah