Senin, 09 Januari 2017

Milea Suara dari Dilan

Sering kali di sela-sela baca novel Dilan dan Milea, saya bergumam, Ah...andai saja buku ini saya baca sewaktu SMA dulu. Pastilah saya bisa menjalani kehidupan remaja dengan lebih sederhana dan terarah serta positif. Dan, saya bisa memperlakukan teman wanita (pacar) saya dengan lebih baik. Eh,...

Membaca buku ini kita disodorkan pada sosok Dilan yang sederhana, pintar, dan apa adanya. Seperti, “Pada dasarnya, aku juga sama dengan si Akew atau si Piyan, pada ingin punya tampang kayak Onky Alexander, pada ingin punya muka kayak jeremy Thomas, atau kayak Ari Wibowo, yang menjadi idola remaja saat itu. Tapi aku tahu utu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Maka, jelas bagiku, sudah tidak usah lagi memikirkan hal itu”.

Sedikit informasi tentang sosok Dilan, dia adalah anak SMA di Bandung, kisahnya sekira tahun 1990. Bisa dibilang zaman dulu, kisah ini bercerita.  “Milea” adalah novel versi Dilan atau dalam sudut pandang Dilan. Di buku ini pula saya dibuat bingung. Sepertinya, tokoh Dilan bukanlah Pidi Baiq. Jadi novel ini adalah cerita dari tokoh Dilan yang kemudian ditulis oleh Pidi Baiq. Begitu dari yang bisa saya analisa.

Selain anak geng motor, Dilan dikenal sebagai pribadi yang lucu. Terlihat dari obrolan-obrolannya dengan milea dan teman-temannya. Uniknya, Dilan sebagai geng motor beda dengan kesan anak motor yang suka berkelahi. Dilan tidak menempatkan perkelahian sebagai hal yang penting. Dilan menganggap, dia perlu melakukan perlawanan karena diserang terlebih dahulu.

Dilan juga agamis. Banyak hal yang dirasakannya dikaitkan dengan camput tangan tuhan. Alhamdulillah, Dilan beragama islam. Sosok Dilan dikenal bisa bergaul dengan aneka macam orang, tanpa ada orang yang bisa mendiktenya. Dia bergaul dengan ibu kantin, geng motor, anak sekolah, hingga bencong (banci).

2. Pendidikan Orang Tua

2a. Kepercayaan Bunda

Bunda adala orang tua yang sangat demokratis. Tidak mengekang. Tidak terlalu mengarahkan. Bahkan terhadap ‘kenakalan’ Dilan, Bunda pun tidak masalah. “Ya, misal kamu nakal, buat Bunda gak masalah. Selama nakalnya itu menyenangkan orang banyak. Selama nakalnya itu gak bikin rugi orang, gak ngerugiin hidupmu, agamamu, dan masa depanmu”
Sangat jarang sosok ibu seperti bunda. Yang bisa memberikan kepercayaan terhadap anaknya. Dan lebih jarang lagi, sosok seperti Dilan. Dilan yang bisa memegang kepercayaan yang diberikan orang tua. Kepercayaan adalah sebuah kehormatan yang besar, sekaligus menjadi tanggungjawab yang besar pula.
Bahkan kenakalan Dilan ‘dimanfaatkan’ oleh Bunda untuk mengamankan dan menakut-nakuti siswa di sekolahnya. Bunda adalah kepala sekolah, tapi di tempat yang berbeda dengan Dilan. Suatu ketika ada iswa yag mengamuk dan melawan kepada semua guru bahkan kepada Bunda, selaku kepala sekolah. Saat dibawa ke ruang BP, bunda menanyakan apakah si anak kenal dengan Dilan. Bunda bilang kalau Dilan itu anaknya. Dan kelihatannya si anak kenal dengan Dilan, dan merasa jerih dengan Dilan yang ketua geng motor. Bunda bilang, “Sebelum melawan ibunya, lawan dulu anaknya”. Akhirnya si anak menjadi tenang dan tidak melawan. Bahkan ketika pamit dari ruang BP, si anak mencium tangan Bunda. Hebatnya, Dilan menafsirkan sikap si anak bukan karena takut. Tapi sebagai upaya membangun apa yang dinamakan menghargai persahabatan. “Bagiku, aku tidak mau berpikir bahwa si Dendi takut kepadaku, kukira dia sedang menunjukkan bahwa dirinya memiliki kebijaksanaan. Maksudku, tiap orang menghendaki hubungan persahabatan yang hebat, dan aku benar-benar percaya kepadanya”. Begitulah Dilan. Berupaya untuk selalu berpikir positif.

2b. Ayah, yang Menyayangi Dilan
Dilan ditangkap Polisi. Akew, teman Dilan, suatu malam tewas terbunuh, salah sasaran. Sebagai geng motor, solidaritas antara mereka sangat kental. Dan malam berikutnya, Dilan bersama teman-temannya berniat balas dendam. Namun niat itu belum kesampain. Keburu ada polisi yang mengamankan mereka. Malangnya, saat ditangkap, Dilan kedapatan membawa senjata api. Milik ayahnya. Ayah Dilan adalah seorang tentara. Kejadian ini tentu membuat malu keluarga. Terutama ayahnya. Ayah begitu marah. Dan ketika bertemu di ruang polisi, tak pelak ayah menampar Dilan. Dan menyuruhnya bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya. Bahkan ayah sendiri yang meminta polisi untuk menahan Dilan. Berbeda sekali dengan perangai aparat kita. Justru memminta pembebasan untuk keluarganya, padahal jelas-jelas bersalah.

Cinta Dilan kepada Milea bukan hanya karena fisiknya yang cantik. Bukan karena masalah penampilan. Tetapi juga refleksi dari kepribadiannya yang menyenangkan. Dengan sikap bahagianya, dia bisa menerima orang yang hidupnya tidak serius dan juga sekaligus tidak merasa aneh oleh hal itu.

Milea orangnya enak diajak mengobrol. Sehingga membuat Dilan tidak ada yang diinginkan lagi, saat bersama Milea, selain hanya ingin oksigen dan tetap bernapas agar bisa bersamanya setiap saat. Juga, ingin bensi gratis dari Pertamina, untuk bisa mengajak Lia jalan-jalan keliling kota Bandung. Dilan jadian dengan Milea tanggal 22 Desember 1990. Dilan bahagia dengan Milea, cewek cantik yang bisa nerima Dilan yang bukan Superman, tapi Cuma seorang siswa kelas 2 SMA yang tinggal di Bandung.

Sebagai anak geng motor, Dilan dan teman-temannya cukup mencintai negerinya. Dan bukanlah pembuat onar atau perusak. Kami, yang sering dinilai sebagai anak-anak nakal ini, berdiri memandang kota Bandung di atas bukit dekat sebuah warung kecil di pinggir jalan dan berkata, “Itu Bandung kami, tempat lahir kami. Jangan diacak-acak”

Dilan adalah pribadi yang menjadi dirinya sendiri. “Aku tidak tertarik untuk mengubah seseorang agar sama dengan diriku. Dan jangan ada yang tertarik untuk mengubah diriku agar sama dengan dirimu”
Milea pun demikian. Dalam penilaian Dilan, dia adalah salah satu jenis manusia yang sudah merasa nyaman jadi dirinya sendiri sehingga tidak perlu lahi mencoba untuk menjadi orang lain. Dia bukan gadis yang harus nampak mewah agar dilihat keren oleh isi dunia. Dan tidak merasa harus memiliki apa-apa yang tidak dia butuhkan agar bisa sama dengan orang lain. Bahkan, dia tidak memakai anting.
            Berbeda dengan kebanyakan orang (dan anak muda) yang merasa harus mempunyai nilai lebih atau harus bisa mengalahkan orang lain (dan lawannya) untuk bisa menarik perhatian orang yang disukai atau untuk mendapatkan cinta orang yang disukainya. Perlu menunjukkan bahwa seseorang punya sesuatu yang patut dibanggakan. Entah itu harta, kepintaran, atau lainnya. Tapi Dilan berbeda.
Yah, mereka berbeda. Begitu pengakuan Dilan. Ada banyak waktu untuk bisa sama dengan orang lain, yaitu pacaran dengan pergi ke mal atau ke tempat-tempat wisata. Aku memilih tidak membawa Lia ke sana, tapi, bukan karena masalah uang, melainkan karena aku lebih suka membawanya ke warung kang Ewok untuk Lia bisa merasakan kebahagiaan dari sebuah kesederhanaan, atau gimana, pokoknya gitu.

Di sekolah, guru yang paling diingat oleh Dilan adalah Bu Rini. Beliau selalu berpikiran positif terhadap siswa. Pada suatu saat Dilan berkelahi dengan Anhar, Bu Rini membela Dilan saat di ruang guru. Bu Rini meyakini bahwa pastilah Dilan mendapatkan penyebab sehingga berkobar amarahnya. Sangat terkesan dengan Bu Rini. Guru yang kata Dilan, adalah guru terbaik di dunia sekolah. Bahkan sudah dianggap ibu sendiri. Kelak, ketika Bu Rini meninggal, Dilan dewasa (saat itu sudah magang kerja) melayat dengan penuh haru ke rumah Bu Rini.

Kisah Romantis, Berakhir Tragis
Sepertinya Dilan dan Milea berjodoh. Kisah keduanya begitu hebat. Meskipun sederhana, tetapi hampir dipenuhi dengan kebahagiaan. Keduanya adalah pasangan yang serasi. Dan membikin iri banyak orang. Keduanya orang yang memiliki nilai lebih sesuai pribadi masing-masing. Milea cewek cantik, Dilan orang yang disegani dan terpandang diantara sahabat-sahabatnya.

Di saat keduanya semakin akrab dengan kisah bahagia dan romantis, keduanya akhirnya putus. Sebabnya, karena salah paham. Putus, membuat keduanya berjarak. Hari-hari terasa berat dirasakan keduanya. Namun kemudian waktu mengobatinya. Perpisahan yang sangat menyesakkan dada.

Kemudian mereka disibukkan dengan aktivitas baru. Usai SMA, Milea kuliah di jakarta. Dan Dilan ke Akademi Seni Rupa Indonesia, Jogja. Bertahun-tahun kemudian, mereka bertemu, di Jakarta. Di sebuah kantor tempat Dilan magang. Saat itu Dilan sedang mengurus magangnya, sementara Milea mengunjungi salah seorang kepala bagian di kantor itu, yang juga adalah pacarnya.

Pertemuan yang membingungkan, bagi Dilan, juga Milea. Antara senang dan sedih. Dilan menjadi ingat banyak kenangannya waktu dulu. Sempat membuat Dilan goyah. Namun bunda mengatakan, “Biarlah sudah, Nak. Gak usah kau sesali. Yang penting sekarang, urus Cika (pacar Dilan yang sekarang). Jangan sampai macam itu terulang. Gak usah berakhir dengan saling menyalahkan diri sendiri. Apalagi nyalahin orang lain..”

Kata bunda, jadilah diri sendiri. Masa lalu adalah masa lalu. Tak usah dihindari atau kau tolak. Masa lalu akan menjadi penasihat yang baik. Tidak ada gunanya kau sesali.

Meskipun, adakalanya Dilan masih merindui Milea. Namun tidak sampai melangkah lebih jauh dari itu. Milea tetap dengan pacarnya, dan Dilan dengan pacarnya pula. Dilan tidak ingin mengungkit, atau mengatakan menyesali apa yang sudah diperbuatnya. Atau menyalahkan adanya kesalahpahaman antara keduanya.

Bukan Dilan, namanya, kalau tidak menghadapi dengan cara yang berbeda. Pertemuan kembali dengan Milea, tidak dimanfaatkan untuk kembali merajut kisah. Bahkan ketika Dilan dan Milea kemudian sama-sama tahu bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi. Dilan baru tahu ketika putus dulu, Milea menganggap Dilan punya cewek baru. Dan Milea baru tahu, Dilan berusaha menjauh karena mendengar Milea yang sudah dekat dengan seseorang cowok. Begitulah. Buku ini mengaduk-aduk perasaan pembaca. Terutama yang suka dengan genre ini.

Apalagi yang berkesan dengan tokoh Dilan ini? Ayah Dilan adalah seorang tentara. Ketika ayah wafat, setelah dirawat di rumah sakit di Karawang, jenazah ayah dibawa ke Bandung. Dalam perjalanannya, Dilan meminta ke sopir ambulan TNI AD untuk tidak menyalakan sirene, karena tidak ingin berisik. Dilan tidak mau mengganggu pengguna jalan lain, yang mungkin saja terganggu. Ini berbeda dengan kebanyakan masyarakat kita, yang begitu memanfaatkan fasilitas sirene ini.

Judul                           : Milea, Suara dari Dilan
Tahun terbit                 : 2015
Penulis                         : Pidi Baiq
Jumlah halaman           : 357 halaman
Peresensi                     : Supadilah




0 komentar: