Selasa, 20 Januari 2015

Habibie, Tak Boleh Lelah dan Kalah

Judul buku       : Habibie, Tak Boleh Lelah dan Kalah
Penulis             : Fachmy Casofa
Penerbit           : Tiga Serangkai



-Part I-
            Siapa yang tak mengenal salah satu sosok inspirasi bagi negeri ini Indonesia, yaitu B.J. Habibie? Bagi orang-orang yang tahu namanya pasti akan teringat tentang pesawat yang dibuatnya beberapa tahun silam. Ya, N-250/ Gatotkoco namanya. Semangat yang tak pernah lelah dan padam menjadi sifat seorang Habibie.

            Pada tahun 1936, tepatnya tanggal 25 Juni, salah satu ilmuan Indonesia lahir dari seorang ibu bernama R.A. Tuti Marini Puspuwardojo dan bapak Alwi Abdul Djalil Habibie dibantu seorang dukun anak (orang Bugis menyebut Sanro) bernama Italage Indo. Di kala itu tidak ada bidan di Pare-Pare. Kelahiran Habibie yang merupakan putra keempat disambut girang oleh sang ayah melebihi girangnya pemain bola yang membuat gol ke gawang lawan. Pertemuan Alwin dan Tuti di Hogore Burger School kemudian disambuung dengan pernikahan menghubungkan Yogyakarta – Sulawesi.

            Selama kecilnya Habibie mempunyai nama panggilan Rudy di keluarganya dan Udding di kalangan teman-temannya. Sejak kecil beliau gemar naik kuda dan membaca. Hobi Habibie untuk membaca merupakan hal unik yang dipunyainya, sampai-sampai kakaknya Tri Sri Sulaksmi kesulitan mengajak Habibie main keluar. Hobi itu dinilai unik apalagi di kalangan anak-anak sebayanya yang sedang gemar-gemarnya bermain. Alam indah di pare-pare pun tak menggoda Habibie untuk jauh dari buku dan ilmu. Buku seperti makanan pokok kedua beliau, ketika melihatnya maka akan dilahap habis ilmunya. Orang yang punya antusiasme tinggi terhadap ilmu maka akan teguh dalam mempertahankan prinsip yang ia yakini. Teman semasa kuliah di Aachen, Jerman bernama Laheru pun sampai bilang, jangan sekali-kali mendapat Habibie karena kamu akan dihajar denga argumentasi bertubi-tubi dan sulit ditandingi. Suatu hari juga Profesor Ebner saat kuliah Habibie mendebat apa yang disampaikan hingga satu per satu mahasiswa pergi dan tinggal mereka berdua. Hal itu menunjukkan cara Habibie mempertahankan apa yang diyakini. Dalam masa kecilnya pun Habibie pernah memperoleh piala dari lomba Keroncong. Kala itu beliau dilatih vokal oleh teman-teman kakak habibie Titi Subono. Saat dewasa pun beliau kerap menjadi bintang di acara-acara sekolah dan kampus karena menyanyi lagu favoritnya yaitu Sepasang Bola Mata, Hampir Malam di Jogja, Widuri. Cita-cita Habibie sejak kecil sudah menggelora dalam dirinya. Pernah guru di sekolahnya bertanya tentang cita-cita, dengan lantang Habibie menjawab “Insyinyur!” Begitulah Habibie yang sangat dekat dengan BUKU, hal yang jarang bagi teman-teman seusianya sampai beliau dibilang aneh.

“Kalau sejak kecil Habibie aja suka baca, KAMU gimana? J

Minggu, 7 Desember 2014
Dimas Andriyanto S, IM2

Sebelas Patriot



Kategori          : Buku
Judul                : Sebelas Patriot
Penulis             : Andrea Hirata
Penerbit           : Bentang Pustaka
Peresume         : Puspita (IM 1)



                Buku yang akan saya resume kali ini diambil dari karya Andrea Hirata. Dibandingkan dengan Laskar Pelangi, buku novel Sebelas Patriot ini memang tidak booming-booming amat. Berbeda dengan Laskar Pelangi yang  cukup tebal dan diterbitkan dalam 4 seri, Sebelas Patriot termasuk novel yang tipis dan singkat. Tema yang diangkat di dalam buku ini adalah tentang sepak bola. Kalau tidak salah, novel ini terbit pasca euphoria kemenangan Indonesia dalam ajang piala AFF 2010 silam.
            Sebelas Patriot menceritakan tentang sosok Ikal yang terpesona pada ayahnya. Ayah Ikal, laki-laki biasa yang sederhana ini ternyata diam-diam menyimpan prestasi masa lampau yang dirahasiakan dari anak-anaknya. Ayah ternyata pernah menjadi seorang pemain sepak bola di jaman penjajahan Belanda. Yap, di zaman penjajahan, sepakbola pun juga dimanfaatkan sebagai sarana politis Belanda untuk melanggengkan pemerintahannya di Indonesia. Ayah Ikal dan 2 saudaranya juga sering memenangkan pertandingan melawan Belanda. Gara-gara sering menang, mereka bertiga dilarang main oleh pemerintah Belanda. Tapi pada suatu hari ayah Ikal dan 2 saudaranya nekat bermain melawan Belanda. Mereka disiksa dan dilarang bermain sepak bola lagi.
            Ikal akhirnya menemukan rahasia Ayahnya lewat sebuah album foto. Dari album itu ia mengulik sejarah masa lalu Ayahnya sebagai pemain sepak bola. Gara-gara foto tersebut Ikal menjadi bersemangat untuk menjadi pemain sepakbola pula seperti ayahnya. Baginya, pertandingan sang Ayah dengan kesebelasan penjajah bak medan pertempuran pribumi menggempur penjajah.
            Ikal dan Mahar kemudian mendafatar ke pelatih Toharun. Mereka juga berjualan kue demi bisa membeli sepatu bola. Ikal sempat sukses memberikan gol kemenangan di pertandingan kecil-kecilan. Namun sayang, dia akhirnya kalah seleksi PSSI tingkat nasional. Saat Ikal dewasa dan melanjutkan studi di Sorbonne, ia memutuskan untuk melakukan backpacking ke Santiago Bernabeu. Di stadion ini, Ikal menemukan kaos asli Luis Figo yang dijual ke umum. Luis Figo adalah idola ayah Ikal di dunia per sepak bola-an. Demi sang Ayah,  Ikal nekat mencari kerja parttime agar dapat membeli kaos tersebut.
            Buku ini cukup menarik, membahas sepak bola, nasionalisme dan cinta seorang anak terhadap Ayahnya sangat berkaitan. Banyak pesan moral yang bisa dipetik, bagaimana memperjuangkan kemenangan dan menghadapi kekalahan. Ada juga hal-hal remeh mengenai analisa Andrea terhadap perempuan-perempuan penggila bola. Sebagaimana dengan buku yang lain, Andrea selalu melemparkan pendapat, teori, opini yang apik dan dikemas dengan bahasa yang catchy. Untuk lebih lengkapnya selamat membaca novel ini dengan menyeluruh. Salam Indo Membaca!

Pendidikan Anak Ala Jepang

Judul          : Pendidikan Anak Ala Jepang
Penulis       : Saleha Juliandi M.Si & Juniar Putri, S.Si
Penerbit     : Pena Nusantara
Halaman    : 2-173
Pembuat     : Amiris Sholehah,  IM 1



    Konnichiwa….. Adakah yang pernah membaca kisah gadis cilik di jendela bernama Totto Chan? Saat membaca buku Pendidikan Anak Ala Jepang ini, saya diajak bernostalgia dengan keramahan kepala sekolah Sosaku Kobayashi, Papa dan Mama Totto Chan yang paham pada perkembangan anaknya, teman-teman ABKnya dan sistem pendidikan di Tomoe Gakuen, sekolah Totto Chan. Ya, buku yang sudah saya baca sampai tuntas ini sepertinya adalah teori dari kisah anak cerdas bernama Totto Chan itu.
    Buku yang ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya ini, sangat recommended untuk guru PAUD di Indonesia. Pendidikan yang dibahas pada buku ini  hanya untuk TPA, TK dan SD saja. Masih di halaman awal dan saya dibuat terkesan dengan bahasa yang disampaikan oleh Penulis , ia mampu menyampaikan dengan bahasa yang ringan dan tidak terkesan menggurui. Bahasan pertama tentang selayang pandang pendidikan formal di Jepang. Kita yang di Indonesia mungkin sudah terbiasa menyebut pakaian sekolah dengan seragam, tapi jangan kaget kalau di Jepang yang berseragam itu tidak hanya pakaian sekolah saja melainkan semua perlengkapan sekolah termasuk tas yang rata-rata berseragam. Hal ini dilakukan bertujuan untuk meminimalisir sifat iri antar siswa. Dari seragam saja kita sudah bisa melihat tujuan pendidikan di Jepang adalah membentuk karakter siswa yang untuk hal ini mereka sadar betul bahwa harus ditanamkan sejak usia dini.
Yang unik dan menarik, di Jepang ada upacara penyambutan siswa baru. Acaranya cukup formal dengan dihadiri kepala sekolah beberapa lembaga, guru dan orang tua murid, setelah upacara formal ini acara dilanjutkan dengan berkeliling sekolah. Pada sesi berkeliling sekolah ini, anak-anak TK didampingi orang tua masing-masing, dan untuk siswa SD didampingi oleh kakak kelas mereka. Kalau di lembaga saya istilahnya tutor sebaya. Untuk hal ini siswa mulai belajar bertanggung jawab, menyayangi yang lebih muda dan proses pembentukan karakter lainnya. Menyenangkan, bukan? Ajang ini bisa membuat mereka saling kenal dan semakin akrab.
Kepala sekolah  di Jepang juga bertugas menyambut dan mengantar siswa di depan pintu gerbang sekolah, mereka sangat ramah dan selalu tampil ceria. Penampilannya juga tidak terkesan formal, biasanya kepala sekolah di sana memakai training atau baju santai karena tugas kepala sekolah sendiri tidak hanya duduk di kantor melainkan juga merawat tanaman, mengelilingi sekolah, dll. Kerja keras seorang pemimpin di Jepang tidak diberikan secara teoritis, namun dicontohkan langsung. Dari sini maka terjawab sudah kenapa Totto Chan sangat dekat dengan kepala sekolahnya dari awal masuk.
Hal yang membuat saya terkesan juga saat liburpun siswa di Jepang masih bisa terikat dengan sekolah, rekomendasi kegiatan berlibur dengan keluarga datang dari sekolah, guru-guru yang mengirimkan surat dengan tulisan tangannya sendiri dan kegiatan menarik lainnya. Jadi walaupun libur, ikatan batin antar guru dan siswa tetap dekat. Perlu ditiru
Masih banyak kegiatan menarik yang tidak bisa saya sampaikan pada resume ini, bisa kita lanjut di diskusi ya….
    Sayonara, ashita mata ne…..

Bibir Tersenyum Hati Menangis: Seberapa Munafikkah Aku Ini?



Judul               : Bibir Tersenyum Hati Menangis: Seberapa Munafikkah Aku Ini?
Penulis            : Muhammad Muhyidin
Penerbit          : DIVA Press
Tebal               : 283 halaman




            Buku ini, meski judulnya menye-menye, tapi isinya sangat tegas. Saya pernah menjumpai buku dengan judul serupa yang pembahasannya sangat lembut dan lebih condong untuk dibaca akhwat. Namun, yang satu ini lebih menonjolkan “Seberapa munafikkah aku ini”-nya. Dalam buku ini banyak dibahas pula tentang interaksi dengan orang lain di masyarakat agar terhindar dari manis di bibir saja. Secara garis besar, buku ini menitikberatkan pada upaya kita sebagai manusia untuk menentukan pilihan hidup yang tepat, menjalaninya dengan baik dan ikhlas, dan terhindar dari kemunafikan.
            Buku ini terbagi menjadi 7 bab yang baru saya selesaikan 4 diantaranya. Jadi saya hari ini akan focus pada 4 bab awal saja. Pembahasan awal buku ini mengurai dilemma yang banyak terjadi di masyarakat. Kebanyakan dari kita sudah seperti robot. Kita menjalankan pekerjaan ataupun kewajiban kita setiap harinya hanya sebatas rutinitas. Bahkan seperti ada software pada otak kita yang otomatis akan tersenyum saat tiba di kantor, menyapa bos dan teman-teman, pergi makan siang sambil bercengkrama, pulang, istirahat, kemudian terbangun lagi untuk memutar siklus yang sama. Tanpa sadar kita telah menghidupkan robot dalam diri kita sendiri.
            Untuk terhindar dari kehidupan robot seperti itu yang cenderung mendorong kita untuk memunafikkan diri sendiri secara tidak sadar, penulis menuntun kita untuk mencoba membongkar timbunan masalah rutinitas kita agar tidak terjebak pada pekerjaan yang membuat kita tidak bisa lari kemana-mana. Bongkaran timbunan masalah tersebut dimulai dengan membuka diri dan mengurai akar masalah, kemudian kita harus bisa menguasai dan menjadi diri sendiri bukan menjadi yang diinginkan orang lain, kita juga harus memiliki harapan, harapan bukan khayalan. Selain itu, mungkin juga perlu kita ubah cara menyikapi keadaan dan menghadapi kenyataan. Dengan begitu, kita akan jujur pada diri kita sendiri. Saat kita tersenyum, hati kita juga tersenyum, tidak menggerutu.
            Di buku ini juga diuraikan banyak sebab yang menjadikan kita memunafikkan diri sendiri. Beberapa diantaranya disebabkan oleh sifat alamiah seperti egoism, penyakit hati, kecenderungan bersaing, dan hasrat. Penulis mengibaratkan hasrat sebagai mesin yang merusak hidup. Saat kita dapat mengendalikan hasrat, kita akan selamat. Namun, saat hasrat yang mengendalikan kita, siap-siap kolaps. Banyak orang menjadi budak bagi dirinya sendiri akibat ketergantungannya pada pemenuhan hasrat. Dengan mudah dia akan memunafikkan dirinya sendiri. Menjilat bos agar dipercaya menangani proyek-proyek besar, berkata manis sana sini agar mendapat kedudukan bahkan menipu diri sendiri agar menjadi seperti yang orang lain ingin lihat. Hasrat memiliki banyak jebakan yang akan menjerumuskan manusia jika kita tidak dapat mengendalikannya.
            Beberapa cara untuk mengendalikan hasrat yang diuraikan oleh penulis adalah (1) Sadarilah bahwa semua hasrat selalu meminta pemenuhan, (2) Merasa cukuplah dan jangan merasa sebaliknya, (3) Syukuri apa yang sudah didapatkan, (4) Bersabarlah dengan kesulitan dan penderitaan, dan (5) Berserah dirilah kepada kehendak Allah SWT. Untuk setiap penjelasan, penulis tak lupa selalu menyertakan ayat Al Qur’an atau hadist yang sesuai dengan pembahasannya sehingga pembaca mendapatkan pencerahan secara lengkap, InsyaAllah.
            Demikin resume saya untuk bulan ini. Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 5 Januari 2015

Dyah Ayu Widyastuti/IM1

Metodologi Sejarah



Judul                     : Metodologi Sejarah (Edisi Kedua)
Penulis                  : Kuntowijoyo (Guru Besar Ilmu Sejarah UGM)
BAB 1                    : Penulisan Sejarah di Indonesia


Tidak banyak orang yang mengetahui awal mula historiografi atau penulisan sejarah di Indonesia, sejarah Indonesia secara runtut waktu dapat dibagi menjadi historiografi tradisional dan historiografi modern. Historiografi tradisional banyak dijumpai pada kitab-kitab sejarah pada zaman kerajaan sampai penulisan babad dalam khasanah sastra. Sedangkan historiografi modern dimulai pada abad 19. Kepedulian masyarakat Indonesia terhadap sejarah tentu tidak perlu dipertanyakan lagi dengan bukti berkas-berkas sejarah yang telah disebutkan sebelumnya, namun secara sistematis pengorganisasian kepedulian-kepedulian terhadap sejarah baru dimulai di abad 19. Dimulai dari mendominasinya penulisan sejarah Indonesia yang Eropa-sentris, yaitu penulisan sejarah yang dilakukan orang-orang Eropa termasuk penjajah didalamnya dari dalam geladak-geladak kapal dagang dan perang mereka. Tentu secara hasil ini akan sangat rancu, bagaimana seseorang yang tidak berasal dari daerah tersebut, tidak hidup di masyarakat tersebut, bahkan baru menginjakkan kaki dua tiga bulan, sudah dapat menuliskan rentetan kejadian di negara tersebut.  Sehingga kesadaran yang muncul adalah bagaimana orang Indonesia dapat berperan sentral bagi sejarah bangsanya sendiri. Kesadaran ini ditindaklanjuti dengan pembentukan kelembangan yang mengurusi penerbitan sejarah, pendidikan sejarah, dan kepustakaan sejarah, dan sebagainya. Momen kebangkitan sejarah tersebut terjadi di rentang waktu 1940-1960.  Dimulai didirikannya jurusan sejarah di institusi pendidikan formal, diadakannya seminar nasional sejarah yang pertama, dan semakin membaiknya peranan Badan Arsip Nasional.

Pada periode awal historiografi modern Indonesia, tentu Indonesia-sentris yang dibahas disini, masih dominan dilakukan oleh sejarawan akademis. Sejarawan akademis adalah sejarawan yang berada di institusi pendidikan formal. Contohnya yaitu dosen dan mahasiswa di universitas-universitas. Lewat hasil-hasil seminar, skripsi mahasiswa, penelitian di lembaga-lembaga penelitian. Setelah periode awal, sekitar tahun 1970-1980, sejarah mulai mendapatkan tempatnya. Marak seminar-seminar dan penulisan sejarah, serta penerbitan buku-buku sejarah yang sangat berguna bagi masyakarat. Tema penulisan sejarah sudah sangat meluas hingga ilmu-ilmu seperti geografi, linguistik, antropologi, dan sebagainya. Seperti yang Kuntowijoyo katakan dalam pengantar buku ini, Sejarah adalah proses, bukan struktur. Sehingga jelaslah perbedaan antara penulisan sejarah geografi dengan penulisan deskripsi ilmu geografi itu sendiri. Sejarah adalah ilmu tentang perubahan (March Bloch).

Hambatan yang dihadapi sejarawan akademisyaitu sebab pengorganisasian sejarawan akademis dilakukan oleh negara terkadang terbentur oleh halangan ideologi. Sehingga buku yang “tidak sesuai” atau dianggap mengancam tentu tidak akan sampai pada fase penerbitan, padahal sebenarnya buku tersebut akan sangat berguna. Tidak hanya sejarawan akademis, sejarawan non-akademis juga berperan dalam menambah khasanah sejarah Indonesia. Pemerintah mulai megucurkan dana sebagai usaha peningkatan kualitas penulisan sejarah. Militer salah satu yang mengambil peran tersebut, dokumentasi kejadian perang-perang, rekonstruksi peristiwa, perlawanan terhadap penjajah menjadi sekian dari banyak pekerjaan sejawaran militer. Buku yang populer natara lain Sekitar Perang Kemerdekaan oleh A.H. Nasution dan Kisah Geilya Kalimantan oleh Hasan Basry. Selain itu dijelaskan dalam buku ini tentang Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional yang melibatkan partisipan dari berbagai daerah, secara kuantitas hasil proyek ini sangat masif sehingga dapat menjadi bahan bacaan masyarakat. Yang terakhir yang bekerja dalam penulisan sejarah yaitu pada sektor sejarah populer. Pada sektor ini dilakukan oleh penerbit-penerbit swasta yang sering mengambil peran-peran yang absen dilakukan pada penulisan sejarah di sektor lainnya.

Selanjutnya perkembangan sejarah secara umum terus meningkat dengan upaya sejarawan berada di lembaga-lembaga publik, semakin baiknya performa instrumen sejarah seperti go public­-nya perpustakaan kerajaan, terobosan Perpustakaan Nasioanl dalam inventarisasi berkas-berkas sejarah, masifnya sektor swasta dalam menggarap sejarah. Dengan ini tentu kita berharap menjadi seorang Indonesia yang seutuhnya, Indoensia yang memahami sejarah bangsanya. JAS MERAH! Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah (Bung Karno). Selesai