Senin, 09 Januari 2017

Bagaimana si Miskin Mati

George Orwell yang terkenal oleh buku karangannya: 1984 dan Animal Farm, pernah menjadi polisi imperial Inggris di Burma, hidup miskin di Paris dan London, dan bertempur dalam Perang Saudara Spanyol. Buku ini Terdiri dari 20 essai Orwell dalam rentang waktu tersebut (1930-1946). Essai paling menarik menurut saya adalah 2 essai pertama yang ditulis Orwell saat menjadi polisi di Burma, mungkin karena bersetting di Asia sehingga saya merasa lebih related.

Essai pertama berjudul Hukuman Gantung, diterjemahkan dari A Hanging yang dimuat di majalah Adelphi pada Agustus 1931.

Dalam essai itu digambarkan bagaimana perasaan Orwell yang saat itu berada dalam posisi seorang penjajah di Negeri Burma menyadari betapa salahnya menghukum mati seseorang. Kesadaran ini muncul ketika ia menyaksikan sang terpidana digiring menuju ke tiang gantungan, di tengah perjalanan sang terpidana melangkah ke samping untuk menghindari sebuah kubangan air dan saat itulah Orwell terhenyak oleh kenyataan yang terpampang di hadapannya.

“Semua anggota badannya masih berfungsi−usunya masih mampu mencerna makanan, kulitnya masih bisa sembuh bila dilukai, kuku dan dagingnya masih bisa tumbuh kembali−semua anggota badannya masih bekerja keras dalam kebodohan yang khidmat…. Otaknya masih mengingat, mengira-ngira, dan berpikir−bahkan berpikir tentang genangan air yang menghalangi langkahnya.… Hilang satu jiwa, hilang pula satu dunia.”

Essai ini menjadi menarik karena dilihat dari sisi seorang penjajah sebagai eksekutor alih-alih oleh masyarakat terjajah yang sudah barang tentu akan mengutuk hal tersebut. Bagaimana seseorang yang memiliki kesadaran penuh akan tetap memahami kebenaran yang terungkap meskipun saat itu ialah yang menyalahi kebenaran tersebut.

Essai kedua berjudul Menembak Seekor Gajah, diterjemahkan dari Shooting an Elephant pertama kali dimuat di New Writing pada Agustus 1936.

Sebagai seorang perwira polisi dari negeri penjajah, tidak mengherankan bahwa Orwell dibenci oleh sangat banyak orang−di daerah jajahannya. Ia menggambarkan bagaimana hanya pada saat itu lah ia mempunyai posisi yang cukup penting untuk dibenci orang sebanyak itu. Ia juga menuliskan bahwasanya secara teoritis−dan secara diam-diam, tentu saja­−ia mendukung sepenuhnya orang-orang Burma melawan penindas mereka, orang-orang Inggris. Singkat kata, sesungguhnya Orwell sangat membenci pekerjaannya saat itu.

Suatu saat terdapat seekor Gajah yang terlepas dan membuat kekacauan di tengah pasar. Gajah itu bukanlah gajah liar namun seekor gajah jinak yang sedang birahi dan kebetulan berhasil melepaskan diri dari rantainya. Gajah tersebut telah menghancurkan sebuah rumah bambu, membunuh seekor sapi, meremukkan mobil, dan memakan barang dagangan di pasar. Namun orang-orang Burma tidak memiliki persenjataan dan tidak berdaya menghadapi amukan sang gajah. Saat Orwell tiba di pasar, Gajah tersebut sudah tidak tampak. Untuk menghindari kekacauan lainnya, Orwell turun dari kudanya dan menyusuri jejak sang gajah dengan membawa senapan bersama anak buahnya.

Sebenarnya, Orwell tidak berniat membunuh gajah tersebut, ia membawa senapan hanya untuk mempertahankan diri kalau-kalau diperlukan. Ia berjalan menuruni bukit, diikuti dengan kerumunan orang Burma yang jumlahnya semakin lama semakin banyak karena tingginya antusiasme mereka terhadap pengejaran tersebut. Mereka semua berjalan menuruni bukit sampai akhirnya terlihatlah sang gajah di tengah hamparan sawah, mencabut rumput kemudian menggosokkannya dengan lutut untuk membersihkannya, lalu memasukannya ke mulut. Ia sama sekali tidak acuh pada gerombolan manusia yang mendekatinya.

Saat itulah Orwell sadar bahwa lebih baik ia tidak menembaknya. Menembak seekor gajah sama seriusnya dengan menghancurkan mesin yang sangat berguna dan mahal, lagipula tampak jelas bahwa sang gajah sudah lewat masa birahinya sehingga tidak lebih berbahaya daripada seekor sapi. Ia sudah memutuskan hanya akan mengamatinya beberapa waktu untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah tidak berbahaya. Tugas berikutnya adalah bagi pawang gajah yang saat itu sedang pulang ke kampung halamannya untuk menggiring gajah tersebut kembali ke kandangnya.

Namun ketika ia berbalik, betapa kagetnya ia mendapati kerumunan manusia di belakangnya yang berjumlah paling sedikit dua ribu orang dengan wajah sangat antusias menanti-nanti dengan yakin bahwa ia akan menembak gajah tersebut. Mereka tidak menyukai Orwell, tapi dengan senapan di tangannya, Ia menjadi tontonan menarik bagi mereka.

“Dan saat itu juga saya menyadari bahwa saya memang harus menembak si gajah; saya bahkan bisa merasakan kehendak dua ribu kepala yang mendorong saya maju tanpa bisa ditentang. Dan pada saat itulah, ketika saya berdiri di sana dengan senapan di tangan, saya memahami betapa tidak berarti dan sia-sianya penjajahan yang orang kulit putih lakukan di Asia. Dan di sini saya, seorang kulit putih bersenapan, berdiri di depan kerumunan orang Burma yang tak bersenjata, bagaikan bintang utama sebuah drama; tapi kenyataannya, saya hanyalah sebuah boneka konyol yang didorong ke sana kemari oleh kehendak wajah-wajah kuning di belakang saya. Pada saat itulah saya mengerti bahwa ketika orang kulit putih menjadi seorang tiran, sebenarnya kemerdekaannya sendirilah yang ia binasakan. Ia menjadi semacam boneka murahan tak berisi, sosok yang diluhurkan. Karena sudah menjadi syarat dalam kekuasaannya bahwa ia harus membuat para “pribumi” terkesan sepanjang hidupnya, sehingga di setiap masa genting ia harus melakukan apa yang para “pribumi” harapkan darinya…. Dan keseluruhan hidup saya, keseluruhan hidup setiap manusia berkulit putih di Asia, adalah sebuah perjuangan yang panjang dan sengit untuk tidak ditertawai.”

Adalah sebuah paradox, ketika kita mencoba bersikap superior terhadap orang lain, maka kita terbelenggu oleh reaksi yang kita harapkan dari orang tersebut sehingga kita membatasi tingkah laku kita bukan menurut apa yang kita yakini melainkan apa yang orang tersebut harapkan.

Membaca karya terjemahan bisa menjadi sangat melelahkan bila penerjemah tidak apik dalam merangkai kata. Karena menerjemahkan sebuah tulisan bukan hanya pekerjaan harfiah namun juga pekerjaan menyusun kata-kata (terjemahan) kembali menjadi sebuah karya tanpa mengurangi soul nya. Kebetulan ketika saya main ke Post Santa (Toko buku indie di Pasar Santa yang selama ini hanya saya tongkrongin feed instagramnya karena saya tidak tinggal di Jakarta), sang empunya toko menjelaskan kalau Penerbit Oak dari Yogyakarta ini termasuk lihai dalam menerjemahkan karya dari luar sana. And I can feel that from the very first sentence in the very first article:

“Burma, di suatu pagi yang basah kuyup akan hujan.”

see?

Bagaimana si Miskin Mati
Penulis: George Orwell

Penerjemah: Widya Mahardika Putra

Penerbit: Penerbit OAK, Bantul, DIY
Cetakan Pertama, Maret 2016
Jumlah Halaman: 216 halaman
Peresume: Fira

0 komentar: