Karya : Mohammad Fauzil Adhim
Tebal : 288 Halaman
Penerbit : Pro-U Media
Bagian Pertama: Menjadi Orang Tua untuk Anak Kita
Dua Anak Lebih, Baik!
Bukan banyaknya anak yang menyebabkan kita tidak punya kesempatan pengurus diri sendiri, bukan juga aktifnya mereka menjadikan kita meraa kelelahan dan tegang terus-menerus. Kesiapan mental kitalah yang lebih banyak berpengaruh terhadap bagaimana kita merasakan tiap-tiap peristiwa sebagai kesengsaraan dan penderitaan ataukah sebagai tantangan dan ladang amal shalih.
Mereka yang menyiapkan dirinya untuk mengasuh banyak anak, lebih ringan hati tatkala Allah Ta’ala mengamanahkan satu atau dua anak. Sebaliknya, mereka yang berusaha keras agar tak banyak urusan yang harus mereka selesaikan dalam mengasuh anak dengan berusaha keras tidak mempunyai banyak anak, akan lebih cepat merasakan beratnya persoalan hanya karena anak meminta perhatian lebih.
Disisi lain, lemahnya cita-cita dan kurangnya tekad untuk berbanyak anak menyebabkan kita mudah berkeluh kesah. Kita cepat sekali merasakan kerepotan yang tak taratasi. Suka atau tidak, ini akan mempengaruhi cara kita mengasuh anak. Mereka yang dibesarkan dengan keluh kesah cenderung tidak tidak memiliki daya
juang tinggi. Mereka cepat merasa sulit bahkan sebelum berletih-letih dalam
berusaha. Padahal, bersama kesulitan pasti ada kemudahan yang Allah berikan
untuk kita.
Sebaliknya, mereka yang dibesarkan
dengan penuh penerimaan dan kasih sayang, akan memiliki penerimaan diri yang
baik sehingga mereka tumbuh sebagai manusia yang penuh percaya diri. Mereka
mudah menghargai orang lain bukan karena orang lain memiliki keterbatasan luar
biasa. Mereka menghargai karena lapangnya dada dan bersihnya hati sehingga
mudah merasakan kebaikan orang lain.
Pelajaran apa yang kita petik?
Sebelum urusan bagaimana cara mengasuh anak, ada yang harus kita benahi dalam
niat kita. Jika banyak anak menjadi cita-cita, maka kehadiran mereka akan kita
sambut dengan penuh kerelan dan rasa syukur. Ini merupakan hadian yang berharga
bagi anak. Jika anak-anak dibesarkan dengan penuh kesyukuran serta kehangatan,
mereka akan lebih mudah untuk belajar menebar kebaikan dan kesantunan.
Untungnya
Melahirkan Itu Sakit
Bukan
kebetulan melahirkan itu sakit. Andai kata Allah Ta’ala menghendaki, tak ada
yang sulit untuk menghapus rasa sakit itu. Mudah pula bagi Allah Ta’ala untuk
mencabut susah payah yang dirasakan oleh ibu-ibu hamil sejak awal mengandung
hingga siap melahirkan. Cukuplah bagi Allah Ta’ala bertitah “Kun!” maka jadilah
yang Ia kehendaki.
Kalaupun kemudian harus ada rsa
sakit, bahkan kesakitan yang luar biasa, pasti ada manfaat besar dibaliknya.
Ada hikmah dibalik rasa sakit saat melahirkan baik bagi ibu maupun bayi yang
dilahirkan. Tentu saja seorang ibu merawat kehamilannya dengan baik, menjaga
kesehatannya, dan melakukan hal-hal yang memang semestinya dilakukan untuk
menjaga bayi yang ada dalam kandungan. Ini bukan untuk menghilangkan rasa sakit
saat melahirkan, tetapi sebagai penghormatan terhadap amanah Allah Ta’ala
berupa kehamilan.
Andai kata rasa sakit saat
melahirkan membawa keburukan besar bagi bayi yang dilahirkan beserta ibunya,
tentu Allah Ta’ala mencabut rasa sakit itu. Andai kata rasa sakit saat bersalin
membawa keburukan besar yang ,e,bahayakan ibu dan anak, secara fisik maupun
mental, niscaya kita sudah nyaris punah. Tak ada lagi yang mau melahirkan
disebabkan rasa sakit. Tak ada lagi yang bisa melahirkan secara normal
disebabkan trauma persalinan yang tak berkesudahan. Sedangkan anak-anak yang
dilahirkan sudah mengalami banyak masalah.
Tetapi
tidak..! berjuta-juta ibu tetap tersenyum bahagia justru beberapa detik setelah
melewati rasa sakit itu. Begitu bayi lahir dengan selamat, segala rasa sakit
itu seakan telah terbayar lunas. Wajajh mereka berseri-seri, bahkan di saat
yang menunggui persalinan masih penat. Justru besarnya rasa sakit itulah yang
membuat persalinan lebih bermakna. Ada perjuangan, ada pengorbanan. Salah satu
hikmahnya, ikatan emosi antara ibu dan anak terbentuk lebih kuat dari dari pertama,
bahkan semenjak bayi belum lahir karena kepayahan yang bertambah-tambah saat
mengandung.
Catatan Dr. Denis Walsh dari
Nottingham University menarik untuk kita perhatikan, bahwa rasa sakit saat
melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Walsh
menulis, “Rasa sakit dalam persalinan merupakan sesuatu yang mempunyai tujuan,
penuh manfaat, memiliki sangat banyak keuntungan, misal mempersiapkan ibu untuk
mengemban tanggung jawab mengasuh bayi yang baru lahir. Lebih lanjut Walsh
menunjukkan bahwa rasa sakit saat melahirkan bersifat sesaat, sangat
menyehatkan, dan mempercepat terbentuknya iakatan emosi yang baik antara ibu
dan anak. Walsh menekankan bahwa melahirkan secara alami merupakan pilihan
terbaik. Usahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap persalinan berlngsung
alamiah.
Agar
Anak Tak Krisis Identitas
Tugas utama orang tua adalah
mengantarkan anak menjadi manusia yang mengerti tujuan hidupnya, untuk apa ia
diciptakan. Kita bekerja keras agar bisa memberi pendidikan yang terbaik; bukan
dengan memasukkan mereka ke sekolah-sekolah unggulan yang kita inginkan, tetapi
memasukkan landasan hidup yang penting ke dalam jiwa mereka sehingga kemanapun
mereka pergi, ridha Allah juga yang mereka cari.
Orientasi hidup perlu kita tumbuhkan
semenjak dini sehingga anak dapat belajar menimbang dan menilai. Orientasi
hidup yang mengakar semenjak dini inilah yang kita harapkan menjadi daya
penggerak (driving force) bbagi kehidupannya kelak. Jika orientasinya semenjak
awal sudah bagus, insya Allah masa remaja tidak perlu merek lalui dengan kriis
identitas dan keguncangan jiwa. Sebab, mereka telah menemukannya sebelum
identitas diri itu terasa sangat penting bagi mereka di masa remaja. Masa
remaja tanpa krisis identitas inilah yang kita kenal sebagai identity
foreclosure.
Ini berarti, tidak benar takhayul
yang mengatakan remaja secara mutlak merupakan masa pencarian identitas diri.
Teori ini hanya berlaku apabila kita tidak mempersiapkan arah dan tujuan hidup
anak-anak kita sehingga mereka tidak menyadarinya semenjak kecil. Mereka
terkejut ketika memasuki masa remaja karena tidak punya bekal mental untuk
menghadapi dan memaknai. Mereka hanya siap dengan hafalan di kepala dan
penguasaan materi pelajaran sekolah yang menakjubkan. Mereka banyak tahu,
tetapi miskin ilmu, miskin tujuan hidup.
Ironisnya sekarang, guru tidak
memberi ilmu dan orang tua lebih suka menjadi tentor untuk menggenjot prestasi
akademik anak di sekolah daripada menjadi mentor kehidupan yang membekali
anak-anak dengan kasih sayang. Orang tua juga sering lupa menanamkan kesadaran
kepada anak-anak bahwa setiap langkah mereka dapat mengubah dunia, bukan hanya
dirinya sendiri, jika langkah tersebut berpijak di atas iman yang kuat, jiwa
yang kokoh, tujuan yang besar, dan ilmu yang matang. Bukankah anak-anak itu
mempunyai tugas sebagai khalifatullah fil ardh.
Sungguh, tugas orang tua dan guru
bukanlah mempersiapkan anak-anak memiliki prestasi akademik yang menakjubkan.
Tugas mereka adalah membimbing anak-anak agar mencintai ilmu, sehingga dengan
kecintaan yang besar itu mereka akan bersemangat dalam belajar. Inilah yang
insya Allah akan membuat mereka cerdas dan memiliki prestasi akademik tinggi.
Mereka cerdas bukan karena dicecar dengan latihan soal terus-menerus, tetapi
karena tingginya keterlibatan emosi saat belajar. Sesungguhnya emosi yang
positif saat belajar akan membuat myelinasi, proses pelekatan informasi ke
dalam otak akan lebih baik.
Kecintaan terhadap ilmu mendorong
mereka berprestasi, tetapi prestasi akademik bukan menjadi tujuannya. Mereka
mungkin akan menjadi bintang kelas, tetapi seandainya prestasinya bukan yang
terbaik di kelas, mentalnya akan tetap kuat. Tidak runtuh. Beda sekali antara
menanamkan ilmu dengan melatihnya agar terampil mengerjakan soal ujian. Yang
pertama menuntut kemampuan melakukan assessment (penilaian, penjajakan) yang
baik untuk mengetahui tingkat penguasaan tiap siswa, sedangkan ujian hanya
menjadi alat bantunya saja.
Oriantasi
Hidup
Apa
saja yang perlu kita berikan agar anak-anak memiliki orientasi hidup yang baik?
Pertama,
sebelum membangun orientasi hidup, yang paling awal kita berikan adalah kasih
sayang. Kita hidupkan perasaannya dengan memberikan waktu kita untuk bercanda
bersama mereka. Ini tampaknya sepele, tetapi di tengah kesibukan yang semakin
menyita perhatian, waktu bersama anak semakin menuntut perencanaan. Kita
sengaja meluangkan waktu bersama anak dan bermain bersamanya, bukan mengarahkan
permainannya. Sebab tugas kita adalah mengarahkan orientasi hidupnya. Kalau ada
permainan yang kita larang, itu berkait erat dengan baik buruknya secara mental
bagi anak.
Kedua,
berikan rangsangan kepada anak untuk berpikir. Beriakan kepada mereka tantangan
dengan melihat kehidupan ini secara nyata sambil pada saat yang sama-sama
membangun cita-cita mereka untuk berbuat. Kita rangsang mereka untuk berfikir
tentang bagaimana memberi manfaat kepada alam semesta ini, menyelesaikan
persoalan yang ada di dalam, dan kembali kepada Allah dalam keadaan ridha dan
diridhai. Bukan menanamkan angan-angan tentang masa depan betapa mereka akan
dimuliakan jika memiliki ilmu dan ketrampilan. Sesungguhnya, daya penggerak
yang bersifat moralistik idealistik memiliki kekuatan lebih besar dalam
membakar semangat anak dibanding sekedar mimpi tentang uang.
Ketiga,
agar anak-anak itu memiliki cita-cita yang visioner, kita perlu merangsang
mereka untuk menjadi manusia-manusia idealis. Mereka bercita-cita besar karena
memeiliki idealisme yang kuat di atas landasan iman yang kokoh dan akidah yang
lurus. Cita-cita besar inilah yang turut menjaga orientasi hidupnya. Agar
idealisme itu tidak membuatnya menarik diri dari kehidupan, kita perlu mengajak
mereka mendiskusikan realitas. Tak sekedar fakta yang bertumpuk di masyarakat.
Apa bedanya? Realitas adalah serangkaian fakta yang didalamnya terdapat
prinsip-prinsip tentang mengapa fakta itu ada. Kita ajak anak-anak melihat
bahwa hukum Allah atas kehidupan ini tidak berubah sedikitpun. Ini berarti kita
perlu merangsang anak-anak agar menjadi manusia idealis yang cerdas.
Puji
Akhiroh, IM2
0 komentar:
Posting Komentar