Kategori :
NonFiksi (Biografi)
Judul :
Yoyoh Yusroh – Mutiara yang telah tiada
Penulis :
Tim GIP
Penerbit :
Gema Insani
Tebal
buku : 208 halaman
Sebelumnya
saya pernah meresume buku ust. Salim A. Fillah yang berjudul, “agar bidadari
cemburu padamu”, dan kali ini saya mencoba meresume biografi sosok muslimah
yang mungkin saja sebagai salah satu wanita yang dicemburui bidadari. Saya
tidak sedang meresume biografi Khadijah, Aisyah, Maryam, ataupun Fatimah.
Karena kita mungkin jauh sekali ketaatannya dibanding beliau-beliau yang di
didik langsung oleh nabi. Tapi saya sedang membaca dan meresume sosok salah
seorang muslimah Indonesia yang berusaha mencontoh pada ummul mukminin. Dan beliau
adalah Hj.Yoyoh Yusroh atau biasa dikenal dengan panggilan Ummi, wanita
sederhana dengan segudang amanah. Tidak hanya amanah sebagai istri dan ibu,
namun juga sebagai da’i diruang publik.
Hj.Yoyoh
Yusroh memiliki 13 orang anak, ya masyaAllah keseluruhannya adalah hafiz dan
hafizah. Selain memiliki prestasi Qur’ani, anak-anak beliau juga tak
ketinggalan dengan prestasi akademiknya. Keberhasilan beliau sebagai seorang
ibu memang tak lepas dari didikan orang tua beliau semasa kecil. Ummi yang masa
kecilnya sudah hidup dan tinggal dengan lingkungan islami, menanamkan prinsip
bahwa keluarganya kelak pun harus dibesarkan secara islami. Karakter ummi
dibentuk oleh lingkungannya, ayahandanya yang tegas dan ibundanya yang lembut mewariskan
kedua sifat tersebut padanya. Sehingga tak heran sejak remaja, ummi sudah aktif
dalam berbagai aktifitas dakwah. Bahkan hingga akhirnya ummi menikah,
aktifitasnya tidak pernah dikurangi meskipun kewajiban dan tanggung jawabnya
semakin banyak. Hal tersebut pun tidak membuat ummi lalai, justru sebaliknya,
semangatnya semakin besar.
Ummi
adalah sosok orang yang selalu bersikap adil pada siapapun. Kepada supir
ataupun pembantu, bahkan ummi memperlakukan mereka seperti kerabat. Bagi ummi,
setiap tingkah laku haruslah bernilai ibadah. Jangankan kepada manusia, kepada
tumbuhan atau bunga-bunga dipekarangan beliau pun selalu diperlakukan dengan
santun, diberi ucapan yang baik serta salam. Lingkungan tempat tinggal beliau
begitu kental dengan nuansa islami. Pasalnya, setelah ummi berkeluarga dan
memiliki anak-anak, selepas magrib rumah beliau terbuka untuk anak-anak
tetangga juga untuk belajar mengaji. Sehingga tak satupun juga anak-anaknya
yang lalai dari belajar islam. Pernah suatu ketika, beliau memiliki tetangga
seorang non-muslim. Beliaupun memperlakukan mereka dengan baik, sama seperti
tetangga lainnya. Hingga akhirnya si tetangga yang non-muslim merasa tidak
sanggup menahan kebaikan ummi, dan mereka memutuskan untuk pindah.
Selain
sebagai ibu dan istri, ummi juga mengemban amanah dakwah yang begitu banyak.
Diantaranya adalah kesibukan beliau sebagai anggota DPR. Tidak hanyak dalam
bidang politik, tapi beliau juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Bahkan pun
ketika perang di Gaza, beliau bersikeras untuk turut serta sebagai relawan
berkunjuk ke daerah konflik tersebut. Ummi bahkan berani mengambil resiko
kematian ketika diam-diam memberikan bantuan materiil yang ditipak kepada
beliau dari tanah air untuk para muslim di Gaza. Dengan aktifitas yang begitu
banyak, sering bepergian keluar kota atau bahkan menghadiri acara-acara
internasional di luar negeri, namun ibadah-ibadah beliau tak pernah kendur.
Kalau kadang banyak diantara kita yang ODOJ nya sering terlambat, namun beliau
dengan waktu paling sedikit yang beliau punya, minimal 2-3 juz khatam per hari,
sungguh luar biasa.
Aktif
dalam kegiatan kemanusiaan juga membuat ummi memiliki gagasan mendirikan
yayasan serta pesantren untuk memperluas jaringan dakwah. Yayasan Harapan Ibu,
adalah nama yayasan yang beliau dirikan di awal tahun 90-an. Hingga sekarang
yayasan tersebut berdiri, bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan dakwah.
Namun konsentrasinya berpusat pada wanita dan anak. Begitupun didirikannya
pesantren Ummu Habiba, ummi berkeinginan agar pesantren tersebut bisa mencetak
para hafiz ataupun generasi qur’ani yang menjadi penerus-penerus dakwah masa
depan.
Begitu
kuatnya keislaman beliau, menjelang akhir khayatnya seolah-olah beliau telah
mempersiapkan diri untuk dijemput kembali pada-Nya. Beliau sering berbicara
tentang kematian pada sang suami, kemudian bernasehat kepada anak-anak beliau,
kepada sekertaris serta kepada para akhwat yang berkomunikasi dengannya. Beliu
meninggal ketika kembali ke Jakarta dari Jogja setelah menghadiri wisuda putra
sulungnya Umar Al-Faruq. Kematian memang menjadi sebuah misteri tentang
kedatangannya. Namun bagi yang ditinggalkan, segala pesan dan kebaikan yang
telah ummi berikan menjadi sesuatu yang abadi untuk diteruskan perjuangannya.
0 komentar:
Posting Komentar