Jumat, 25 November 2016

MENCARI SURGA DALAM KELUARGA



MENCARI SURGA DALAM KELUARGA



Membaca buku ini kita seakan diingatkan kembali tentang bagaimana seharusnya membangun rumah tangga. Lebih tepat lagi ini dibaca oleh yang akan berumah tangga. Namun belum terlambat pula untuk yang sudah berkeluarga. Buku ini berisi catatan si penulis dalam mengarungi rumah tangga yang sudah berusia 20 tahun lebih. Sebuah rentang waktu yang memang panjang, namun usia rumah tangga juga tanpa batas.
Buku ini terdiri dari 10 catatan. Namun kesemuanya bisa dibagi dalam dua catatan, sebelum menikah dan sesudah menikah. Membacanya bisa dimulai dari mana saja kita mau. Kesemuanya memiliki motivasi di dalamnya.
Pernikahan sejatinya bukan hanya ikatan menyatukan dua sosok berlainan jenis dalam sebuah keluarga. Namun pernikahan berarti penyatuan visi, misi, perasaan, dan gerak langkah. Bahkan pernikahan merupakan sebuah langkah membangun peradaban. Keluarga merupakan bagian kecil dari sebuah negara. Menyiapkan keluarga menjadi sebuah lingkup interaksi yang harmonis akan menciptakan negara yang kokoh. Negara yang rukun tersusun dari keluarga yang rukun pula.
Membangun sebuah keluarga ibarat membangun sebuah rumah. Fondasi keluarga menentukan kekokohan keluarga. Untuk membuat rumah bambu mungkin diperlukan fondasi yang sederhana saja. Namun untuk membangun gedung besar dan bertingkat diperlukan fondasi yang kokoh. Fondasi terbuat dari bahan yang berkualitas dan pilihan. Fondasi yang mampu bertahan dari segala hal yang dapat merusak atau merobohkan bangunan itu.
Menikah juga bukan untuk waktu yang sebentar. Pernikahan bukan pula peristiwa coba-coba atau sekedar menyalurkan hasrat kemanusiaan. Pernikahan adalah amanat illahi, maka ada tanggung jawab kita terhadap pasangan hidup hingga generasi baru keturunan yang lahir dari pernikahan itu. Itu sebabnya, akad dalam ijab kabul menjadi sakral karena mengandung tanggungjawab disebaliknya.
Menikah bukan pula seperti memakai sepatu. Mudah berganti kapan saja tergantung selera. Ketika sudah bosan dengan satu jenis sepatu, maka ia akan membuang sepatu itu dengan alasan sudah kuno. Ketika sudah tidak suka dengan satu model sepatu, ia akan mengganti dengan sepatu yang lebih menarik. Ketika pernikahan dipahami seperti membeli sepatu maka kejadiannya tidak jauh berbeda. Maka banyak kita lihat orang-orang yang menggelar pesta pernikahan secara besar-besaran, biaya mahal dan mengundang banyak orang, namun usia pernikahannya tidak bertahan lama. Terutama yang terjadi di kalangan artis dan pejabat. Kerap kali layar kaca memberitakan kasus nikah-cerai mereka. Namun tidak menampik kejadian ini terjadi di kalangan bawah menengah ke bawah pula.
Membangun sebuah keluarga adalah ibadah. Maka beribadah harus penuh kesungguhan, tidak boleh memandang remeh dan kecil. Pernikahan diatur oleh agama dan negara. Maka pernikahan tidak boleh dianggap sekedar selera. Ketika seseorang memutuskan menikah maka dia tengah melaksanakan misi ketuhanan, sedang menunaikan risalah kenabian, dan berupaya menjalankan tugas kemanusiaan.
Jika menikah dilandasi karena materi, maka tidak bertahan lama. Harta bisa habis, usaha bisa bangkrut, dan jabatan bisa lengser. Jika memilih pasangan hidup berdasarkan fisik, maka tidak bertahan lama. Cantik bisa memudar. Usia tidak muda selamanya. Jika membangun keluarga didasarkan popularitas, maka tidak bertahan lama. Tokoh dan artis terus bermunculan. Hari ini sedang naik daun, besok akan muncul orang lain yang lebih ngetop. Akan selalu muncul pembanding yang lebih tinggi.
Keluarga bahagia merupakan dambaan semua manusia. Namun ternyata tidak semua orang yang mau menempuh konsekwensinya. Menciptakan keluarga bahagia bukan tanpa masalah dan tantangan. Riak-riak yang mengganggu keluarga diantaranya kebosanan, kehambaran, dan perselingkungan. Jika sudah semakin akut, bisa mengakibatkan perceraian.
Saat masih lajang, banyak orang yang ingin segera menikah. Masa lajang penuh dengan godaan dan masalah. Namun, bukan berarti semua masalah terselesaikan dengan menikah. Menikah bukan seperti slogan sebuah lembaga pegadaian ‘menyelesaikan masalah tanpa masalah’. Menikah adalah proses menyelesaikan satu masalah untuk menghadapi masalah berikutnya yang mungkin lebih besar. Menyatukan dua orang dengan karakter, sifat, dan kultur yang berbeda merupakan sebuah tantangan. Apalagi jika keduanya berangkat dari suku, daerah, dan adat yang berbeda.
Jadikan ibadah sebagai motivasi membangun keluarga. Menjadikan Allah SWT sebagai harapan untuk memberikan kebahagiaan, ketenangan, kekuatan, ketenteraman dalam hidup berkeluarga.
Tulis kekurangan Pasangan di Atas Pasir Pantai
Ada seorang wanita yang setiap kali menulis di atas pasir ketika suaminya membuat hatinya terluka. Demikian dia meluapkan suasana hatinya. Ombak pantai selalu membuat tulisannya terhapus. Pada hari berikutnya dia kembali dilukai oleh sang suami, kembali dia menuju ke pantai dan meluapkan perasaannya dengan menuliskannya di atas pasir. “Hari ini suamiku membuat luka hatiku. Dia memarahiku tanpa sebab”.
Dia juga menulis di atas lempeng batu setiap suaminya membuatnya bahagia. “Hatiku berbunga-bunga. Suamiku telah membahagiakanku. Ia bersikap romantis kepadaku”tulisnya. Lempeng batu yang dipahat membuat tulisan bertahan lama. Tulisan itu tidak mudah hilang karena angin, panas, atau hujan. Setiap kali dia ke pantai, dia menemukan tulisan di lempeng batu. Namun tidak menemukan tulisan di atas pasir.
Begitulah. Setiap pasangan kita bisa membuat kita terluka atau bahagia. Tuliskan kekurangan dan sifat negatifnya pada pasir pantas dan biarkan ombak menghapusnya. Namun pahatkan setiap kebaikan dan sisi positif pasangan kita pada lempeng batu, dan biarkan dia menjadi abadi kenangan indah tak terlupakan.
Pembagian Peran Keluarga
Prinsipnya, pembagian peran antara suami dan istri harus dilakukan dengan adil, tidak boleh menzalimi siapa pun dan tentu saja sesuai dengan ketentuan agama. Pembagian peran dalam keluarga hendaknya dilandasi saling memahami. Pertama, kita semua sibuk dengan tugas dan amanah masing-masing. Bahkan mungkin tidak hanya satu dua amanah saja yang kita emban. Seorang suami bisa bekerja pada sebuah instansi, aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, organisasi tertentu, mengikuti klub olahraga, pengurus yayasan, dan sebagainya. Begitu juga isteri. Tidak hanya satu dua amanah saja. Kedua, waktu yang kita miliki sangat terbatas. Rasanya tidak cukup 24 jam untuk mengurusi semua amanah. Sehari semalam tidak cukup menyelesaikan semua pekerjaan kita. Satu kegiatan sambung menyambung seolah tiada habis. Ketiga, kita semua memiliki keterbatasan. Tidak ada manusia yang sempurna. Suami bukanlah superman yang serba hebat. Isteri bukan superwomen yang serba sempurna. Maka, pembagian peran menjadi salah satu cara mengatasi keterbatasan itu. Suami dan isteri hendaknya saling saling melengkapi.
Kematangan usia bukan jaminan kelanggengan keluarga. Ada yang menikah di usia muda namun berhasil menjaga kelanggengan rumah tangga. Ada pula yang menikah di usia yang sudah matang namun tidak berhasil menjaga keluarga dari keretakan.
Maka, niat menikah menjadi sangat penting. Menjadi landasan penyelesaian ketika masalah datang. Jika diniatkan ibadah, serewel apa pun istri, sang suami tetap berusaha sabar. Tetap berada dalam koridor ibadah.
Menikah ibarat minum kopi, begitu kata petuah bijak. Kadang terasa manis dengan takaran pas, kadang juga terasa pahit jika takaran kopi berlebih, atau terlalu manis jika kebanyakan gula. Manis dan pahit silih berganti. Jika ingin manis terus maka minumlah sirup. Tidak ada pilihan lain kecuali rasa manis.
Jangan Pelit Memuji
Penting sekali membiasakan memuji istri. Wanita pada dasarnya suka dipuji. Wanita sangat peduli dengan ekspresi verbal. Pujian bisa dilakukan terhadap hal-hal yang sederhana. Misalnya suami mengucapkan pujian atas masakan yang disajikan, kebersihan rumah, dan pakaian yang bersih. Wanita juga memiliki keinginan untuk diperhatikan. Pujilah penampilannya, baikd alam keadaan selesai berdandan atau sedang tidak berdandan. Namun pujilah dengan jujur dan tidak berlebihan. Jangan sampai justru istri merasa nyaman dengan pujian orang lain. Kita bisa menjadi juara dengan banyak memuji istri.
Kata pujian yang sederhana itu misalnya, “Tentu engkau sangat lelah menyiapkan sarapan pagi ini, namun engkau tetap tampak ceria. Apa sih rahasianya?”
“Aku senang sekali melihat engkau pandai mendidik anak-anak kita”
“Terima kasih, telah membuatkan teh untukku yang sangat enak”
cantik atau sederhananya.
Menjaga Komunikasi
Salah satu hal yang dapat merekatkan keharmonisan suami istri adalah dengan komunikasi efektif, yaitu komunikasi yang berjalan dua arah dengan menggunakan kalimat yang menyenangkan, disampaikan dengan lembut dan bijaksana. Memilih waktu dan tempat yang tepat juga sangat menentukan keberhasilan komunikasi. Suami dan istri sering-sering mengobrol. Tentang apa saja. Bahkan untuk mengungkapkan hal-hal yang sederhana. Milikilah jadwal tetap untuk saling berkomunikasi tanpa ada gangguan dari apa saja, misalnya gadget. Jangan rusak suasana bahagia kita dengan kehadiran gadget. Singkirkan gadget atau alat elektronik lainnya semisal televisi untuk menciptakan momen saling berbicara. Teknologi tidak akan mampu menuntaskan rindu. Tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan obrolan suami istri.
Memahami Perbedaan
Meskipun pada kenyataannya, perbedaan kadang menyebabkan perpecahan. Banyak kekurangan yang bersifat manusiawi namun memicu pertengkaran. Hanya karena kurang bisa mendengar dengan jelas membuat suami mengeluarkan kata-kata amarah dan caci maki. Hanya karena kurang maksimal dalam mengerjakan sesuatu membuat istri mengeluarkan kata-kata tidak proporsional dan melewati batas. Selalu saja ada titik singgung yang bisa memicu keretakan rumah tangga.
Tentunya antara suami dan istri ada perbedaan. Karena laki-laki dan perempuan kenyataannya berbeda. Jangan mempersoalkan perbedaan. Terimalah realitas perbedaan, dan cari solusinya. Perbedaan apa saja baik itu suku, bahasa, adat, kebiasaan, cara pandang, dan latar belakang pendidikan.


Judul buku        : wONDERful Family
Penulis              : Cahyadi takariawan
Penerbit            : Era Adicitra Intermedia
Tahun terbit       : 2012
Jumlah hal         : xxi + 246 halaman
Peresensi          : Supadilah

0 komentar: