Minggu, 14 Mei 2017

Kimya Sang Putri Rumi

Kimya Sang Putri Rumi

Kimya, ya itu namaku. Bahkan sebelum aku lahir namaku telah jauh jauh hari disiapkan. Tepatnya oleh seorang pengembara yang akan melakukan perjalanan ke Damaskus. Menurut Evdokia ibuku, ia seolah mengetahui anak yang dikandung. Bagai seorang peramal ia mengatakan “bayi ini akan tumbuh menjadi anak perempuan. Namanya Kimya. Masa depan gemilang menantinya” h. 24. Evdokia dan Faroukh babaku hanya saling pandang.


Ibuku seorang Kristiani taat sedang babaku seorang muallaf yang rajin menjalankan rukun islam walau ia selalu absen mendengar khutbah sang Imam di mesjid tepatnya pelataran gereja. Meski berada di dua keyakinan beda aku tumbuh baik. Kami tinggal di desa tepat di lereng gunung nun jauh dari hiruk pikuk kota dan cahaya.

Masa hidupku adalah masa dimana tulisan dianggap kuno, aneh layak purba. Tapi tidak denganku, pertama kali aku mengenal tulisan lewat seorang pendeta atau pastur yakni bahasa Yunani. Gejolak kekuasaan menyelimuti wilayah timur, Eropa dan timur tengah—jika dialokasikan pandangan saat ini. Seperti kaum barbar Frank yang hendak masuk Palestina. Sultan Alauddin Keykobad adalah pemimpin Konya pada masanya berkisar tahun 1239 M. Bahauddin Walad, siapa ia? Adalah baba dari Jalaluddin Rumi. Tak ada sangkut paut dengan baba Jalal justru dengan Jalal lah aku, Kimya, mengenal sosok (itu) yang masyhur dengan nama Maulana. Melalui mimpi aku mengenal Maulana walau kami tak sekalipun bertemu. Tapi nama itu pernah dibicarakan oleh Ahmed. Orang yang tinggal di Gua. Aku dan Maulana bertemu dalam cerita.

Pater Chrisostom, inilah ‘malapetaka’ ku yang menyebrangi singgasana langit. Bukan bukan meluhuri kuasaNya melainkan menapaki jalan menujuNya. Semua berasal dari bahasa, dari kata yang tak aku mengerti namun membuat hati sejuk, sesejuk senyum pagi di bukit cinta sang alam. Doost, apa itu doost? Ahmed mengajarkan kata itu kepadaku. Asal katanya dari Persia. Dia berasal dari Konya yang memutuskan hidup di pedalaman hutan jauh dari kota dan dekat dengan desaku. Mendengar kata itu rasanya taka sing bagiku namun sejatinya aku baru kali ini mendengarnya. “doost berarti kekasih, yang kucintai, yang kurindukan” katanya menekankan.

Konstantinopel ibarat kerajaan super mewah dengan ornament yang memikat sahaja. Keberadaannya tak ditakluk nalar bagai imajinasi yang terdesain hebat di gurun (dunia) fana. Pada masa nahkodanya terjadi perang salib IV yang digawangi dua kutub gereja, gereja timur dan gereja latin. Dengan satu keyakinan saja sudah terjebak angkara murka apalagi jika beda keyakinan. Itu gambar kuasa, padahal dunia tak pernah milik seorang maupun siapa kecuali ia adalah budak dunia. Bagai beban yang tak tertahan dipundak hingga sesak pada jiwa, merana di hati dan susah di raga. Ini benar kisahku, Kimya, bagian sejarah walau semesta tak mencatat tapi memori tetap lestari di benak raga bumi.

Ada banyak bahasa yang dipakai dunia, setahuku setelah mendengar dari Ahmed yakni Arab, Persia, Yunani dan Islam dengan bahasa Turkoman. Venesia, Saxon, Frank sedang tiga bahasa itu ada di barat. Diriku berikut warga desa menggunakan bahasa turkoman yang asal bahasa dipakai yaitu yunani. Seiring perkembangan islam bahasa yunani seperti terkelupas. “Rasa heran mengapa begitu banyak bahasa yang dipakai manusia?”kataku, “Apa yang kita ketahui akan kehendakNya? Walau banyak jalan menujuNya bahkan tak terbatas. Apabila kau bias melaluinya, setiap orang akan menyadari  bahwa tujuannya selalu sama” terang Ahmed, “jadi, semua akan berbicara bahasa yang sama nantinya?, tapi bahasa apa yang dipakai?” Tanya Kimya mengalun. “kau tahu, ku piker saat itu kita tak perlu lagi bercakap-cakap. Kesunyian adalah bahasa kita bersama” tuntas Ahmed. H. 77

Daratan Anatolia dan Taurus, dua wilayah yang dibidik dua imperium besar Bizantium dan Persia, sedang di sisi lain kaum (barbar) Mongol siapsiap menerkam kekuasaan. Seberapa genting keadaan itu? Aku tak tahu pasti hanya menerawang seberapa bertahan aku ini sebagai Kimya di masanya. Wasiat terakhir Pater sebelum meninggal di sebrang tetangga desa diperuntukkan khusus buatku menuliskan suster Andrea dari Biara Santo Peter, Konya. Isi surat itu aku tahu berbunyi demikian setelah aku menanyakan kepada Ahmed yang asyik dengan rumah gua nya, sendiri di lereng gunung. Sekonyong-konyong rasa bahagiaku menggelembung ke angkasa yang disambut langit ceria. Semua itu tiada lain agar aku dapat belajar lebih banyak. Walau dalam pandangan keluarga maupun warga desa aku kategori anak perempuan aneh. Karena asyik dengan duniaku. Begitu kata mereka yang memahami dan memang aku pun merasa tak paham seperti halnya mereka. Tentang keasyikanku.

Masalah Kimya sekarang sudah menjadi pembicaraan masyarakat desa yang seolah ikut andil dalam memutuskan kepergiannya ke Konya h.96-97. Hal demikian sama sekali tidak mengganggu keputusanku untuk pergi ke Konya guna menuntut ilmu walau dalam pandangan warga hal itu tidak akan bias mendatangkan makanan. Semua itu aku makan bulatbulat agar tidak mengecoh tekad dalam benak dan pikiran ini.

Aku berlabuh di Kose Dagh, tahun 1243 M/641 H., Kimya jatuh di usia 11 tahun. Aku tinggal dengan Maulana families. Mereka hangat saat menerimaku sebagai anggota keluarga. Banyak hal menjadi ‘sesuatu’ yang bermakna selama tinggal di sana. Walau ‘sesuatu’ itu menggelantung di pikiran karena aku tak tahu bicara tentang apa sesuatu itu.

Kerra mendengar dengan jelas apa yang dipesankan oleh suaminya Maulana Jalaluddin Rumi, “ini Syamsuddin sahabat karib jiwaku, kau harus memperlakukannya sebagai hal paling berharga dari diriku.”h.145. Pesan tersebut coba aku cerna walau kadang bersinggungan dengan hasrat si empu pesan. Tapi biarlah mungkin suatu saat jawaban akan menghampiri kebingunganku saat ini. Tutur Kimya. Berkhayal tentang Konya, tentang madrasah—sekolah, tentang belajar dan lain hal di sini? Semua itu hanya terjadi dalam baying saja. Menurutnya—Maulana, aku adalah murid terbaiknya padahal sejak tiba dan bertemu dengan beliau di Konya, penampakan-penampakan akan rutinitas belajar telah Nampak di pelupuk mata sejatinya tapi kenyataan menginginkan lain belum pernah aku—Kimya menginjakkan kaki sekali saja di madrasah dan menuntut ilmu seperti muridnya yang lain. Namun Justru yang keluar dari mulutnya bahwa aku adalah murid terbaiknya? Bagaimana hal itu bias demikian? Bagaimana hal itu bias aku terima begitu saja selain daripada memasak menjadi rutinitasku yang baru bersama Kerra dan anak bungsu mereka (Kerra dengan Jalal) yakni Alim? Walaupun memang aku tidak meniadakan kalau di samping itu selagi kami, aku dengan Maulana, bersama di rumah selalu ia sempatkan melantunkan puisi bait demi bait yang seperti pesan hidup. Begitulah yang dapat aku cerna. Atau di saat kami berdua pergi ke luar ia selalu mengisahkan tentang kehidupan paripurna dari tokoh terbaik dan aku terima hal demikian itu, terasa aneh memang namun membuatku nyaman.

Maulana seperti juga Faroukh? Faroukh adalah babaku, Maulana pun iya hanya rasarasanya ia lebih, teman, sahabat, guru, orang baik/sholeh, arif/bijak, dan tentram kala berada di sisinya. Jelmaan dari makhluk sucikah ia? Hem, entahlah bagiku ia itu alarm yang meraihku dengan sajaksajak cintaNya yang rupawan.

 “Jadi kau bahagia rupanya,”senyumnya seakan berkata “dan hatiku mengembang bahagia karena kebahagiaanmu”h.145. “anugerah Allah kadang sangat sulit dihargai manusia. Namun, begitulah, anugerah adalah anugerah.”h.147. kata-kata itu seperti menari di atas pikiran ini. Tak tahu apa maknanya tapi hati tersanjung dibuatnya. Katakata Kerra, Maulana dan sekarang Syam teman karib sang guru.
“Tabriz adalah mesjid mesjid yang membiru lelangit yang cerah terang, sedangkan Konya adalah kota cahaya. Mawarmawar kota Tabriz kecil dan berwarna kuning pucat dan hatinya berdarah-darah. Belum ada mawar seperti itu di Konya. Tetapi suatu hari nanti, mawar seperti itu akan tumbuh dan berkembang”h.152. Itu yang pernah Syam katakan saat perjumpaan kami di dapur dengan keadaan diriku yang berjibaku di dunia cita rasa. Sungguh, aku tak mengerti dengan katakatanya, hanya anggukan kosong saat aku merespon ucapannya. Lagilagi aku dibuat mabuk kepayang dengan berbagai kalimat yang membuatku takjub. Ya Allah inikah pelajaran berharga itu? Hingga aku mengulang katakata itu dalam ingatan, tetap saja aku tak karuan dibuatnya, tak mengerti.

 “Hati ingin menerima semuanya dengan lapang dada. Tidak bias hanya mengingini sisi kue yang kita sukai. Hati menginginkan semuanya, apa yang dipandang baik atau buruk, apa yang dianggap bahagia atau pun yang kita sangka sebagai penderitaan, dan hati tidak mengenal imbalan maupun hukuman. Bisakah kau membayangkannya?”sahut Sadruddin. h.160. Perkataannya menjadi hiasan obat mujarrab bagiku disaat aku menginginkan sosoknya, sosok suami yang setia disisi. Ya Syam ia adalah suamiku, tak berapa lama setelah ia kembali dari Damaskus dalam diam—saat pergi—yang membuat hati Maulana rapuh, kesepian karena teman sang jiwa pergi tanpa pesan. Untuk me-normalkan keberadaannya di Konya, maksudku tidak beranjak pergi lagi maka hubungan/ikatan dua keluarga di satukan walau ia—Syam—tidak tahu dimana keluarganya berada. Aku menikah sesaat setelah dating tandatanda baligh, atas kemauanku, tanpa paksaan. Kerra yang menyampaikan pesan Maulana kepadaku apakah aku bersedia jika dinikahkan dengan Syam.

 “Maulana telah memasuki dunia tanpa dimensi. Dan, bila dikehendaki Allah siapapun yang menyintainya akan turut memasukinya. Dunia yang tak kau kenal anakku. Harta karun terpendam di jalan itu dan bila Allah berkehendak, suatu saat harta itu akan menghampirimu. Tetapi ingat, kepedihan harus dijalin dengan benang-benang cinta dan kesabaran. Jangan biarkan kepedihan itu meracunimu. Sebuah karpet yang indah tidak terjalin dalam waktu sehari. Kau baru berada di permulaan.”h.161. Sadruddin menjelaskan kepada Ahmed salah satu murid Maulana yang merasa gurunya telah kehilangan pendirian setelah keberadaan Syam meresahkan muridmurid Maulana yang lain. Mereka (Syam dan Maulana terutama) seakan lupa dengan keberadaan para muridnya yang haus dengan kearifannya saat belajar tentang makna kebesaranNya. Sadruddin adalah salah satu teman Maulana yang memiliki tingkat kearifan sama dengannya.

Maulana sering menegaskan bahwa cinta adalah sungai kehidupan abadi. Cinta ibu kepada suami dan anak adalah sebuah sungai dan sungai itu akan membawa kita semua menuju lautan yangs ama. h.166. pesan itu seperti nyanyian yang melenakkan sang jiwa. Hem, tutur bahasa yang agung.
Orang-orang ramai memperbincangkan dan menghakimi tentang apapun yang pada dasarnya tidak mereka ketahui. h.175. Begitulah ketusku dalam hati saat pergi kepasar untuk membeli berbagai keperluan kantor (dapur). Mereka seperti iba kala melihatku, yang katanya, aku tidak bahagia atas pernikahanku dengan Syam. Memang apa bahagia itu? Menurutku aku bahagia saat ia menghampiriku dan bercakap-cakap (walau ia sendiri yang seolah berpesan tentang makna hidup yakni tentang entitas Tuhan, sedang aku diam terhanyut dalam pelukan cintanya). Aku hanya ingin menikmati cinta, walau sepi kian menjalari. Dan ia Syam, dalam selasela kebersamaan kami ia menyisipkan pesan bahwa cintaku tidak boleh melebihi cinta kepadaNya dan ia menegaskan bahwa dirinya hanyalah debu dalam lautan fana, sekedar menjalani titah. Lalu cinta, apa itu cinta? Saat bersama dengan ia maka cinta itu ada? Atau saat dalam kesendirian dimana kesenyapan dan kesunyian itu melanda, yang memaparkan entitas Tuhan dalam pandangan rasa, raga dan roh itulah sebenarbenar cinta? Katakata itu seperti meledek batinnya, ia mual, ingin sekali mengenyahkannya namun ia tak kuasa dan menyerah dalam nada tangis yang mengguncang langit. Aku hanya ingin merasakan cinta, itu saja. Pekiknya dalam tangis.

”Sinar matahari bias saja disamarkan oleh gumpalan awan, tapi cahaya sang surya tetap menyinari permukaan bumi. Sang mawar bias saja bersembunyi dari pandangan mata, tapi sang angin akan menyebarkan keharumannya. Tidak tahukah kau, hati bias saja merasakan apapun, tapi sang jiwa tidak pernah berhenti bercakap-cakap” h.181-182. Inilah pesan balasan Syam kepada Maulana ketika pergi dalam diam.

”Aku tahu Kimya. Kenangan masa lalu adalah tukang sihir licik yang sangat tangguh. Jika kau tidak hati-hati, dia akan membujukmu untuk kembali ke masa lalu, dia akan mereguk air murni kehidupanmu sendiri. Lantas, kau akan mendapati dirimu begitu hampa ditemani kabut mimpi yang melenakkan.”h.195.
Kegembiraannya saat Pater dating dan mengajarinya baca tulis huruf Yunani; gelora keingintahuannya, saat pertama kali melihat huruf Persia, mengeja doost yang ditulis Ahmed di tanah berdebu. h.221.
”Ketika hatimu terluka parah jangan, hanya ada tiga aturan main: jangan mengenyahkan kepedihan itu, jangan pernah mencoba untuk mengerti, dan jangan tenggelam dalam kepedihan itu. Buatlah dirimu berserah diri seperti sebatang pohon muda yang terperangkap dalam badai. Biarkan badai itu menghantammu. Jangan pernah menentangnya dan jangan pula membantah keberadaannya—bagaimana mungkin kita bias menafikan angin dan hujan?—dan jangan pernah menyesalinya”h.245.

 “Syam adalah tuan dari takdirnya sendiri”h.253. Manusia tidak lebih dari noda debu yang saling bergesekan, tentu saja ada saatnya hal itu membuat kita tak nyaman. H.256. Kehendak Tuhan itu untuk dijalankan bukan dipertanyakan. Ada masanya saat kedamaian dan kehidupan seperti dua aliran sungai yang mengalir berdampingan menuju lautan yang sama. h.266-267. Pekerjaan itu hamper rampung sedang aku tidak melakukan apapun. ini hanyalah permulaan.h.268-269.

Suarasuara cinta yang menari dalam hati, padahal diri terperangkap dalam diam, lelah, letih, lesu dan tak berdaya untuk mengecap berberapa diantara semua suara. Mawar yang berdarah-darah, cahaya yang tetap bersinar, sebatang pohon muda, doost, masa lalu, cinta, mungkinkah semua itu adalah permulaan dari sebuah jalan yang kan menuntunku dalam diam? Hati yang selalu berdegup kencang itu kini perlahan lemah dan lepas dari tali temali (urat). Tabib berkata kalau jantungku memang tidak baik, harus banyak istirahat. Sudah berapa lama aku berbaring? Aku pun tak ingat pasti. Hanya lilinlilin yang berbeda ukuran itu menyiratkan cahaya yang sama dan aku merasa hangat dibuatnya. Tentang desa, Evdokia, Faroukh, Syam, Kerra, Maulana, Ahmed, Pater dan banyak yang lainnya hati ini milik kalian. Dengan wajah tersenyum, mata indah yang tertutup kelopak mata ia tidur selamanya. Akulah Kimya Sang Putri Rumi.

Judul                            : Kimya Sang Putri Rumi
Penulis                         : Muriel Maufroy
Penerbit, th. Terbit       : mizan, cetakan ke-2 2008
Hal                              : 272 hal.
ISBN                          : 979-433-481-2

Isaimamiqi



0 komentar: