Jumat, 25 Agustus 2017

MILEA (Suara Dari Dilan)




Berawal dari teman sebangku saat SMP yang tiba-tiba ngechat, “Udah baca novel Dilan belum?” waktu itu novelnya lagi hits banget kayaknya, sampai kalo gak salah udah beberapa yg upload resume nya disini, eh. Sampai akhirnya teman saya kirimin ebook-nya tanpa diminta langsung 3 sekaligus. Hmmm. Niat banget sih dia, tapi kapan-kapan saya pasti baca sih. Beberapa bulan kemudian, akhirnya saya iseng baca buku yg pertama. Dan benar aja, saya baca sampai gak pindah dari tempat duduk kecuali buat pipis, karena saya bacanya udah malem abis isya kayaknya. Setelah malam itu saya bertekad buat baca 2 buku lanjutannya besoknya, yaitu hari sabtu dan minggu.

Buku yg ingin saya resume ini buku yang ketiga, buku yang paling bikin saya penasaran karena diambil dari sudut pandang laki-laki, yaitu Dilan itu sendiri. Untuk yang belum baca bukunya, cerita ini dimulai pada tahun 1990 dimana Dilan, anak kelas 2 Fisika di sebuah SMA sekaligus panglima tempur sebuah geng motor di Bandung yang jatuh cinta pada si cantik Milea, anak kelas 2 Biologi yang merupakan pindahan dari Jakarta. Di buku Dilan #1 (Dia adalah Dilanku Tahun 1990) diceritakan bagaimana pendekatan Dilan ke Milea hingga akhirnya berpacaran dengan segala drama yang menurut saya gak dibuat buat, saya pikir penulis bener-bener bisa membuat kisah sederhana dua remaja SMA ini seperti asli begitu adanya. Sedangkan buku Dilan #2 (Dia adalah Dilanku Tahun 1991) merupakan cerita lanjutan saat mereka pacaran hingga sangat disayangkan berpisah dan menjalani hidupnya masing-masing. Kedua buku tersebut mengambil sudut pandang aku, dari Milea, yang mulai menuliskannya 20 tahun kemudian.

Awalnya kukira, apakah Pidi Baiq itu Milea? Soalnya di buku ini dijelaskan kalo Milea yang lagi nulis, hehe. Tapi kok di sampul buku nama penulisnya Pidi Baiq. Setauku Pidi Baiq kan laki-laki. Oiya, kalau kalian pernah ke Bandung, dibawah jembatan Asia Afrika ada quote Pidi Baiq yang ditulis disana. Saya sempet berharap nemu quote itu di buku ini tapi ga ketemu. Hehe. Lanjut ke buku Milea, buku ini menjawab rasa penasaran pembaca tentang bagaimana perasaan Dilan sebenarnya terhadap Milea dan kisah cinta mereka. Penulis benar-benar apik dalam merangkai kalimat-kalimat yang bisa menggambarkan suasana Bandung kala itu, Bandung yang jalanannya masih sepi, pohon-pohon rindang nan asri disepanjangan jalan, dan Dago tanpa ada kemacetan sedikitpun!

Di novel ini Dilan tidak menceritakan secara utuh bagaimana kisahnya dengan Milea, karena di buku sebelumnya Milea sudah menjelaskan detail kisah mereka. Namun, secara khusus Dilan menjelaskan siapa dirinya dan latar belakang keluarganya, juga mengungkapkan apa-apa saja yang menurut Dilan perlu diketahui pembaca, tentang apa-apa saja yang saat itu ada dipikiran seorang remaja SMA yang bisa dikatakan belum dapat berfikir matang dan bijaksana tentang apa yang terjadi di kehidupannya. Menurut saya, buku ini ringan karena tidak perlu mikir buat mengerti seperti apa menjadi Dilan. Oiya, Dilan jago nulis puisi, jadi bertebaran puisi-puisi yang ditulis Dilan tentang apapun, terkhusus tentang Melia sih. Dalam beberapa pandangan saya setuju dengan Dilan bahwa tentu saja ia tidak suka dikekang, itu hidupnya sendiri, dan cara Milea untuk membuat Dilan berubah menjadi anak baik yang taat peraturan dan keluar dari geng motor supaya memikirkan masa depannya (karena sebenarnya Dilan ini pintar) mungkin tidak harus dengan mengancam ‘putus’ (red. mutusin Dilan). Tapi namanya juga masih sama-sama belum dewasa, jadi ya gitu deh. 

Di buku ini, Dilan menjelaskan bahwa belakangan ia akhirnya tidak aktif lagi di geng motor karena mulai sibuk dengan perkuliahannya dan grup band nya, sedikit banyak itu bisa membuatnya melupakan rasa rindunya pada Milea. Sebenarnya masih ada peluang bagi mereka untuk kembali berhubungan saat itu, tepatnya sebelum Milea pindah ke Jakarta, namun karena Milea yakin Dilan sudah punya pacar, begitupun Dilan yakin Melia sudah bersama pacar barunya, padahal dua-duanya masih sendiri dan saling rindu maka akhirnya tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk bersama. Setidaknya saat itu. Hingga akhirnya ketika mereka bertemu lagi di Jakarta, bukan pertemuan disengaja, akhirnya mereka mengetahui bahwa masing-masing sudah memiliki pendamping. 

Jika di buku Dilan #2 (Dia adalah Dilanku Tahun 1991), Melia pernah menulis seperti ini;
“Dilan, kalau dulu aku berkata bahwa aku mencintai dirimu maka kukira itu adalah sebuah pernyataan yang sudah cukup lengkap dan berlaku tidak hanya sampai di hari itu, melainkan juga di hari ini dan untuk selama-lamanya. Karena sekarang aku mungkin bukan aku yang dulu, waktu membawaku pergi, tetapi perasaan tetap sama, bersifat menjalar, hingga ke depan! “

Maka di buku Milea (Suara dari Dilan), Dilan menutup tulisannya dengan;
“Rasa sedih jika ada, itu harus berbatasuntuk member peluang munculnya harapan pada hari-hari berikutnya, mengejar impian dan meraih kebahagiaan bersama seseorang yang dapat menghabiskan sisa hidup kita dengannya. Dan sekarang, yang tetap di dalam diriku adalah kenangan, disanalah kamu selalu. Terima kasih, Lia. Terima kasih dulu kau pernah mau.“

Kalau saya mau terima kasih nya ke Pidi Baiq yang sudah menuliskan kisah mereka dengan sangat apik, juga terima kasih ke teman saya hehe, saya jadi ingat jaman-jaman SMP suka banget baca novel genre begini. Dan itu udah lebih dari 10 tahun yang lalu ya. Jadi berasa nostalgia juga. Oiya, sebelum bikin resume ini saya iseng googling nama ‘Milea Adnan Hussain’ dan ternyata orangnya beneran ada. Cantik! Dia teman dekat Pidi Baiq, dan ini adalah kisahnya. Lalu seperti apa Dilan?


Judul Buku : MILEA (Suara Dari Dilan)
Nama Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Books
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : 360 halaman

Bandar Lampung, 14 Agustus 2017
Mustika Rizky Amalia

0 komentar: