Jumat, 13 Oktober 2017

Semusim dan semusim lagi



Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
(Surat Kertas Hijau. Sitor Situmorang, 1953)

Novel yang terinspirasi dari puisi... Baiklah. Kali pertama lihat buku ini serius penasaran banget. Kenapa covernya ikan? Ikan mas koki yang sedang duduk sangat kontras dengan judulnya yang puitis; “Semusim dan, semusim lagi.” terus pas dibalik, niat saya ingin baca blurb-nya tapi cuma ada puisi-nya Sitor Situmorang yang berjudul, “Surat Kertas Hijau.” yang ternyata, “Semusim, dan Semusim Lagi” adalah kutipan dari bait ketiga puisi Sitor Situmorang tersebut. Dan ternyata, ini keren. Dari sebait puisi jadi novel. Kreatif. Dan, benar-benar tidak ada satupun bocoran dari isi novel ini. Jadi, saya beli saja.

Maka, ketika saya membaca buku ini semua pertanyaan saya terjawab. Kenapa Ikan. Kenapa Semusim, dan semusim lagi. Kenapa hijau. Kenapa unik begini. Karena tokohnya pun unik sekali.

Jadi, penulis memulai kisahnya saat “Aku” menerima dua surat. Surat pertama dari universitas tempat ia ingin melanjutkan pendidikan, dan surat kedua tanpa nama dan alamat pengirim, dan tidak ditulis tangan tapi diketik rapi. Ketika “Aku” membuka surat itu, ternyata isinya surat dari seseorang yang mengaku ayah si Aku yang mengajaknya bertemu di kota S. Si Ayah meminta Aku untuk memghubungi temannya yang bernama depan J.J sebagai satu-satunya perantara. Bagi saya, surat itu kayak surat bos ke bawahan daripada surat seorang ayah yang sudah lama tidak bertemu dengan anaknya. Kaku, dingin dan formal.

Di mulai dengan kata; Anak, sudah tujuh belas tahun umurmu sekarang dan aku tidak berani berharap kau masih ingat padaku. dst

Diakhiri dengan kalimat, Kunjungi aku di kota S. Dengan Cinta, Ayah.

Lalu saya mengernyit soal inisial S. Benar-benar ditulis S saja. Bukan Surabaya, Subang, Semarang, Singapura dan lain-lain.

Saya merasa novel ini agak ‘menakutkan’ dengan gaya penceritaannya yang intens, serius, eksploratif dan mencekam. Dengan memakai sudut pandang pertama, Penulis pinter banget menggambarkan bagaimana si Aku dengan cara si Aku itu sendiri. Saya sudah kesengsem sejak BAB pertama. Bagi saya tokoh-tokoh di buku ini freak semua. Tokoh “Aku” yang cerewet, banyak omong,  melantur kemana-mana kalau monolog, selalu suka makan biskuit Ritz, dan suka dengan suara decit kursi karena katanya itu seperti suara tikus mencicit saat digorok (aneh kan dia), lalu tentang Ibunya yang berprofesi sebagai dokter bedah otak yang selalu sibuk. Ibunya aneh juga. Dia menonton TV tapi suaranya di mute (nonton tanpa ada suara apa bagusnya coba?) terus Ibunya tanpa sebab apa-apa berteriak histeris lalu berhenti sendiri dan pergi masuk kamar. Ditambah lagi ayahnya si “Aku” yang selama ini hilang, secara misterius ngirim surat dan ngajak ketemuan si “Aku” di kota S tapi pakai perantara temannya. Aneh mereka semua.

Penulisnya juga sengaja menampilkan novel ini seperti pantomim dan misterius. Jadi setiap ada sesi yang seharusnya penulis mencantumkan nama tokoh si “Aku”, misalnya :

“Dona!” pekik Ibuku sambil menyebut namaku.

Mestinya kan gitu. Tapi si penulis (mbak Dwi) malah memilih untuk nulis novel ini kayak gini;

“......! (namaku)” Ibuku memekik, sambil menyebut namaku.

Saya geleng-geleng kepala. Maka, sejak awal hingga ending cerita, saya nggak pernah tahu siapa nama “Aku”. Entah apa maksud penulis melakukan itu. Apakah Aku itu bisa saja mewakili kita semua para pembaca, bahwa setiap kita bisa seperti itu. Apa memang tokoh itu memang ada namanya hanya saja penulis memilih mensensor namanya. yang jelas, buku ini out of the box. Bagus. Wajar juara 1 lomba DKJ 2012.

Selain itu, lewat buku ini. Saya jadi banyak tahu segala judul buku yang mesti dibaca lantaran si Aku sangat suka membaca buku. Saya bahkan baru tahu kalau ternyata Indonesia pernah merepresi pria gondrong gara-gara si Aku yang ngoceh sana-sini.

Membaca buku ini benar-benar saya dapat banyak list buku dari si Aku. Antara lain ; The Stranger, The Bell Jar, The Sun Also Rises, Kafka on the Shore, The Art of Loving, Fateless, Olenka. War and Peace, Of Mice and Men. Nine Stories, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, A House for Mr. Biswas, Go Down, Moses. Rumah Kaca, Breakfast at Tiffany’s. The Solitaire Mystery. Snow Country. Tortila Flat. Yang Terempas dan Yang Putus. Invicible Cities, Einstein’s Dreams. (Nah, kamu sendiri, dari buku-buku ini sudah baca yang mana? haha)

Meskipun ada beberapa reviewer yang bilang kalau penulis buku ini terkesan pamer karena banyaknya list buku yang dia masukkan di novel ini, dan banyaknya ocehan-ocehan yang dia ungkapkan, toh saya biasa saja. Soalnya, buat saya buku yang bagus selalu ngasih informasi baru untuk pembaca. Saya jadi dapet informasi lagi. dan... meskipun bagus, selalu ada minusnya. Kadang saking suka melanturnya sifat si “Aku” aku kadang bosan sama omongan dia.  Terkesan alurnya jadi lambat banget. Soalnya lima halaman bisa habis untuk ocehan dia saja. Ocehan itu bisa tentang masa kecil dia, pengalaman dia, dan apapun. Dan, saya tidak rekomendasi novel ini dibaca sama anak kecil atau remaja meskipun tokohnya remaja. Ya karena novel ini termasuk roman, ada cinta-cintanya dan bumbu-bumbunya yang pasti akan membuat saya sembunyikan buku ini kalau keponakan saya datang.

Tapi untuk keseluruhan cerita, buku ini menggambarkan remaja “anak rumahan” yang belum tau apa-apa sekali dan keterkejutan jiwanya ketika harus berada di dunia luar. Sebuah representatif yang bagus untuk anak yang kesepian, nggak punya sosok orangtua yang memedulikannya. Di ending cerita, saya sangat apresiasi sekali. Saya sampai nangis karena akhirnya penulis memberi ending yang, katakanlah, bijaksana.

Buku ini bagus. Mencuri perhatian sejak di awal, walau agak ngeselin di tengah-tengah, tapi berakhir dengan ‘adil’. Adil karena ada banyak sekali yang “Aku” alami mulai dari pergi sendirian ke kota asing, jatuh cinta, patah hati, dan melakukan hal-hal di luar batas kewajaran dalam perjalanan bertemu ayahnya. Jadi, apakah “Aku” bisa bertemu dengan ayahnya? Atau ayahnya adalah sosok rekayasa? Atau ayahnya itu tidak ada sama sekali? Silakan membaca sendiri ya.

Judul Buku      : Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis             : Andina Dwifatma
Tebal Halaman: 232 Halaman
Penerbit           : GPU

Peresume         : Ika

1 komentar:

Shofiyati Nur Karimah mengatakan...

Wah.. bikin penasaran euy