Jumat, 13 Oktober 2017

BOMB


Persaingan Demi Senjata Paling Mematikan Di Dunia

Kita sudah belajar apa itu Perang Dunia II di pelajaran sejarah di sekolah. Meski harus diakui pelajaran Sejarah kita, memang terjebak dalam angka dan menghafal semata. Sebagai pengingat, dalam perang itu, Amerika Serikat-Inggris Raya-Uni Soviet (sekarang Rusia) memimpin pasukan sekutu melawan Pasukan Fasis; Jerman-Jepang-Italia. Dan sambil mengenang perjuangan Indonesia saat itu, saya benar-benar bersemangat membaca buku ini.

Buku bergenre Non-Fiksi Populer ini betulan lezat sebab diceritakan seperti Novel thriller. Cara yang hebat untuk orang-orang yang menganggap sejarah itu membosankan. Saya bahkan bisa lebih paham kondisi perang dunia dan segala macamnya, dari buku ini. Soalnya, membaca buku ini rasanya tuh persis saat kamu lagi nonton film dokumenter, atau bahkan yang lebih santai—buku ini persis saat kita lagi duduk, buka channel TV, terus nonton tayangan behind the scene dari sebuah film yang lagi mau tayang di Bioskop. Ada banyak tokoh yang terlibat, berkomentar, berkisah, bahkan bersaksi yang tentu saja tetap memerhatikan alur/plot. Kita akan menemukan dialog dalam buku ini yang tidak akan kita temukan di buku Non-Fiksi biasanya.

Contohnya : 

Gold menikmati percakapan-percakapan seperti ini dan bahkan merasa nyaman untuk mengemukakan kekhawatirannya tentang Uni Soviet, termasuk perjanjian Stalin dan Hitler.

“Apa-apaan itu?” tanya Gold
“Dengar bodoh,” kata Sam sambil tertawa, “yang Uni Soviet butuhkan lebih dari apapun di dunia saat ini adalah waktu, waktu yang sangat berharga.” Stalin sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menepatinya, kata Sam, tapi perjanjian itu memberikan Soviet waktu untuk membangun kekuatan militer. “Dan jika saatnya tiba, kamu lihat saja, kami akan menyapu bersih Jerman dan Hitler seperti yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.” (hal. 44 )

Buku ini dibuka dengan dunia yang tercengang akibat hasil eksperimen baru yang dilakukan Otto Hahn, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman; sebuah neutron dapat membelah atom Uranium menjadi dua. Yang akhirnya diberi nama Fisi Uranium.

Pada tahun 1938, atom bisa pecah itu sangat mustahil, pengetahuan saat itu hanya sebatas bahwa semua yang ada di semesta ini tersusun dari partikel-partikel kecil bernama atom, dan dari atom itu ada partikel yang lebih kecil lagi; nukleus, proton-neutron, elektron, dan inti pusat. Sebatas itu. Dan jika atom bisa terbelah, pertanyaannya;

(1) Energi besar macam apa yang mampu membelah atom? Dalam kasus ini atom uranium
(2) Jika memang atom uranium bisa terbelah, atom-atom tersebut akan melepaskan energi saat terbelah dua. Jadi, berapa banyak energi yang dilepaskan?

Jika dihitung-hitung, energi yang terlepas itu hanya cukup untuk membuat sebutir pasir mengentak. Masalahnya, atom berukuran sangat kecil melebihi sebutir pasir. Dan dengan 238 proton dan neutron, Uranium adalah atom terbesar di alam (dan tentu saja ukurannya tetap luar biasa kecil). Satu ons Uranium memiliki sekitar 100.000.000.000.000.000.000 atom. Otomatis, jika kita memiliki setidaknya 25 kg Uranium dan dapat membuat semua atom Uranium itu membelah dan melepaskan energi secara bersamaan, kita akan memiliki senjata penghancur masal. Mengerikan ya?

Itulah yang dirasakan semua ilmuwan pada masa itu. Berita besar itu menyebar cepat dibawa angin, berbagai journal menyiarkan penemuan baru itu. Membuat Neils Bohr, Otto Frisch dan sederetan ilmuwan pada masa itu heboh, bersemangat sekaligus frustasi. Albert Einsten bahkan mengirim surat ke Franklin D. Roosevelt (Presiden Amerika) yang berisikan kecemasan luar biasa mengingat penemuan itu dilakukan oleh ilmuwan Jerman, dan kemungkinan besar Hitler (yang sedang rakus-rakusnya memperluas wilayah) memanfaatkan itu sebagai senjata mereka. Bom atom, senjata pemusnah paling berbahaya yang pernah dibuat. Dugaan mereka benar.

Jerman sudah menghentikan penjualan Uranium dari tambang-tambang Cekoslovakia, wilayah yang diambil alih mereka. Jerman juga membangun pabrik air berat (bahan membuat bom atom) di Norwegia. Dan mendadak, semua artikel, jurnal, makalah atau surat kabar yang membahas mengenai percobaan fisi Uranium menghilang begitu saja. Tak ada lagi bahasan. Dalam hal ini, Georgi Flerov (Fisikawan Soviet) berkomentar, “Keheningan ini bukanlah karena ketiadaannya penelitian. Dengan kata lain, hukum kerahasiaan telah diterapkan dan ini merupakan bukti terbaik akan adanya penelitian besar-besaran yang sedang dilakukan di luar negeri.” (hal. 59-60)

Dari sini, pembaca dibawa ke perasaan waswas setiap orang bahwa Jerman akan membangun bom atom yang bisa digunakan Hitler dalam menaklukan dunia. Pembaca juga dibawa untuk menelusuri perjuangan negara-negara (Jerman, Amerika, Inggris, Uni Soviet) yang berlomba membuat bom atom lebih dulu. Sabotase, operasi intelijen, pembunuhan dan segala intrik-taktik dikerahkan demi menjadi pemenang.

Buku ini seru sekali. Saya menangkap kalau semua orang diceritakan terpaksa membuat bom atom. Dan selain perjuangan ilmuwan, kita juga bisa ikut merasakan perjuangan Kelompok Pemberontak Norwegia yang berjuang untuk meledakkan pabrik Air berat milik Jerman. Mereka menyusup, mengintai dengan senjata pemberian Inggris dan juga senjata terkahir; Pil kematian. Karena jika mereka sampai tertangkap, lebih baik makan pil itu daripada harus disiksa di kamp konsentrasi.

Selain itu, ada beberapa poin yang membuat saya berpikir tentang;

1. Amerika. Diceritakan, negara ini melakukan segala cara demi menghentikan upaya Jerman membuat bom Atom, dari yang paling intelek (mengumpulkan semua ilmuwan Amerika untuk membuat Bom) sampai yang paling kotor;  rencana menculik pemimpin proyek Bom Atom Jerman.

2. Inggris. Saya mendapat kesan kalau negara ini lumayan anteng dan mendingan ketimbang Amerika dalam hal persaingan membuat bom. Sayangnya mereka ceroboh karena KGB (badan intelijen Uni Soviet) berhasil mendapatkan informasi rahasia negara mereka dengan sangat lancar.

“Kami berdua merasa sangat ngeri akan bahayanya tidak melakukan apapun. Bagaimana jika musuh berhasil membuat bom atom sebelum kami?” (Winston Churcill, hal. 70)

3. Uni Soviet. Yang lebih fokus mencuri informasi cara membuat bom daripada berpikir sendiri. Wilayah mereka yang terus diserang Jerman, membuat Uni Soviet begitu terdesak dan tak punya waktu selain pakai cara pintas, mengirim intelijen ke Inggris dan Amerika untuk mencari tahu informasi lebih banyak tentang cara pembuatan bom. Bagi Soviet, mereka memang bersekutu dengan Amerika, tapi itu karena mereka punya musuh yang sama. Bukan karena mereka berteman. Amerika memang membantu Soviet dalam menghadapi Jerman, dalam segi senjata. Bukan hal lain. Tapi Soviet tahu, kalau Amerika tidak menolong atas dasar ketulusan. Amerika hanya ingin melihat Jerman kalah. Tapi tanpa harus repot-repot menyerang, sebut saja main bersih. (ya, begitulah Amerika.)

Terhadap kasus ini, Soviet punya prinsip,

“Saat kamu tahu bahwa kamu sedang dimanfaatkan, kamu memiliki hak untuk menjadi cerdas.” ujar Alexander Feklisov (Anggota Intelijen Soviet, hal. 48) 

4. Jepang. Tidak diceritakan banyak, tetapi cukup jelas keinginan Jepang untuk membangun Kekaisaran di Asia. Dan kemarahan mereka saat Amerika menghentikan ekspor minyak untuk menekan Jepang menghentikan laju pasukan mereka lebih jauh. Hal itu justru membuat Jepang menghajar Amerika lewat kiriman Bom di Pearl Harbor (pangkalan militer Amerika)

5. Jerman, yang sibuk mempropagandakan motto “Jerman Yang Lebih Hebat” demi membangun kekaisaran di Eropa. Yang harus diakui gentlenya, Jerman sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap saingannya dalam membuat bom. Mereka hanya membuat bom dalam diam,  justru negara lain yang heboh dan terus mengganggu aktivitas penelitian Jerman. (terlepas dari rakusnya Hitler saat itu)

6. Norwegia. Mau tidak mau patuh pada Jerman, tapi mereka tentu saja punya pejuang yang memberontak pada NAZI.

30 April 1945, Adolf Hitler bunuh diri karena kekalahan-kekalahan Jerman selama perang Dunia II.  Rupanya Jerman gagal membuat bom. Mereka menyerah. Pembuatan bom mereka berhenti begitu saja  sebab pemicu awal mereka (Air berat) sudah ludes dimusnahkan negara oposisi. Di satu sisi, Uni Soviet belum juga berhasil membuat bom. Tapi Amerika yang sudah setengah jalan, memilih tetap melanjutkan pembuatan bom dengan alasan masih berperang dengan Jepang.

Dan pada akhirnya, kita sama-sama tahu. Negara mana yang membuat bom atom pertama kali, dan kepada siapa bom itu mereka jatuhkan. Amerika. Dan, saya tertegun saat membaca salah satu paragraf yang menyatakan perasaan ngeri para Ilmuwan saat bom itu ditunjukkan ke wajah dunia.

Serupa novel thriller, ada beberapa bagian di buku ini yang membuat saya punya banyak ekspresi saat membaca; tersenyum, sedih dan miris. Semua itu tak lepas dari penulis yang pandai sekali mengemas dan mengumpulkan potongan-potongan data dan kesaksian semua orang yang terlibat pada masa itu menjadi tulisan yang keren, punya alur/plot dan mudah dipahami. Kita sudah tahu soal sejarah Perang Dunia II, tapi keunggulannya, buku ini mengungkap hal lain selama perang. Akan ada banyak hal yang kita ketahui saat membaca buku ini. Dan tentu saja tak perlu menghafal karena ini mirip saat duduk bareng teman dan ngobrol soal novel yang baru kelr dibaca. Mengalir begitu saja.

Ada beberapa typo di buku ini, dan karena ini bukan Novel betulan yang tokohnya terbatas, agak sulit bagi saya mengingat orang-orang yang diceritakan di dalam buku. Dalam suatu bab bisa saja membahas si A dari Amerika, lalu beranjak ke B dari Soviet, lalu ke C, D, E, F, G sampai saya harus bolak-balik lembar buku karena kelupaan, “Lah ini siapa ya tadi?”. soalnya banyak banget orang-orangnya.

Meskipun begitu, tenang saja. Mereka yang disebut sangat banyak ini tetap memiliki benang merah yang terhubung—yakni bom atom. Selain itu, saya jadi tahu siapa saja dalang pembuat bom atom dari tiap negara, saya juga banyak menemukan kata-kata inspiratif dan belajar istilah-istilah keren dalam dunia spionase, fisika, penelitian dll di buku ini. Penulis juga memasukkan dokumentasi foto-foto wajah asli setiap tokoh sehingga saya langsung terbayang. Membaca lanjut buku ini semakin membuat saya berpikir banyak hal. Salah satunya; betapa dahsyatnya perang itu, betapa dahsyatnya sebuah ambisi. Penulis mengakhiri buku ini sampai pada meletusnya perang dunia II, perasaan-perasaan tertekan para ilmuwan yang terus dipaksa pemerintah untuk membuat bom, dan juga renungan yang alangkah baiknya jika teman-teman dapat membaca buku ini sendiri. Dan menemukannya sendiri.

Terakhir, terlepas dari keegoisan  mereka, saya salut pada keteguhan hati orang-orang di buku ini. Termasuk kepada Hitler. Dalam sebuah pertemuan dengan para Jenderalnya, Hitler pernah berkata,
“Saat memulai perang, yang penting bukanlah yang benar, tetapi kemenangan. Tutup hati kalian dari belas kasihan! Bersikaplah brutal! Orang yang lebih kuat adalah yang benar!” (hal. 31)
Hitler tahu kalau sebenarnya orang yang paling kuat itu yang benar, makanya dia memilih bersikap seperti setan gila agar bisa menang. Hitler tidak pernah peduli jika dianggap sebagai pihak yang bersalah dalam peperangan ini. Dia percaya diri dengan kejahatannya. Itu membuat saya merenung, kalau orang zalim saja bisa percaya diri dengan perbuatan jahatnya, kenapa kita kadang minder dengan perbuatan baik?

Judul Buku       : BOMB
Penulis             : Steve Sheinkin
Tebal Halaman : 346 Halaman
Penerbit           : Noura Books
Peresume         : Ika 

0 komentar: